“Jadi ada berita panas apa sampai-sampai aku bakal pingsan kalau denger?” seru Kalila tak sabar ketika Miranti meneleponnya lagi.
Seingat Kalila, ia belum pernah pingsan karena mendengar sebuah berita. Namun, ia pernah hilang kesadaran saat menjadi pemimpin upacara sewaktu SD. Saking gembiranya ditunjuk sebagai pemimpin upacara, Kalila susah tidur dan tidak sempat sarapan keesokan harinya. Di bawah sengatan matahari waktu dhuha, Kalila roboh ketika upacara baru setengah jalan.
“Kamu, kan, jurnalis. Masa iya, nggak denger gosip panas hari ini?” Nada bicara Mira seolah ia adalah manusia paling tahu berita ter-update.
“Aku nggak ngampus hari ini. Nggak ke markas juga.”
“Aku juga nggak ngampus, tapi tetep, dong, update berita.” Miranti tertawa penuh kemenangan.
Sesaat Kalila menghela napas, antara kesal dan penasaran. Perempuan penggemar warna maroon itu ingin mengakhiri pembicaraan, pura-pura tidak butuh, tetapi jiwa keponya meronta. Akhinya Kalila memilih bertahan, mencoba mengulur kesabaran demi mendapat info gosip yang katanya paling panas itu.
“Coba kamu tebak, deh, La. Kalau berhasil, aku traktir makan di Sky High Resto. Aku rela merogoh kocek sampai dasar dompet.” Mira terkekeh.
Restoran Sky High memang sedang nge-hits meski harganya selangit. Kalau Miranti nekat menjanjikan hadiah sebesar itu, bisa dipastikan Kalila tidak akan berhasil. “Korupsi dana ospek terbukti?” Meski tak yakin, Kalila mencoba menebak. Lumayan, iseng-iseng berhadiah.
“Bukan, tahu!” Miranti tertawa puas.
“Diskusi calon presiden dibatalkan?” Sempat ada rumor di kampus kalau rencana Badan Eksekutif Mahasiswa dan Senat Mahasiswa mengundang calon presiden dan wakil presiden dibatalan karena ada salah satu kandidat yang menolak hadir. Dia menganggap diskusi yang digagas mahasiswa tidak netral.
“Astaga!” Miranti berseru gemas. “Bisa nggak, sih, pikiran kamu nggak cuma diisi berita-berita berat kayak gitu?” Ia berdecak. “Lagian, itu berita sudah basi banget. Kamu sendiri yang nulis artikelnya. Gimana, sih?”
Sunyi sesaat. Kalila menggaruk kepala, menyibak ingatan. Sepertinya, tiket makan gratis di Sky High Resto akan lenyap.
“Satu kesempatan lagi. Kalau gagal, tawaran makan gratis hangus.”
“Selingkuhan Mr. X muncul di kampus.” Kalila berujar asal. Ia tidak mendapati isu lain yang lebih panas ketimbang tiga berita itu, terutama perselingkuhan salah satu orang berpengaruh di kampus yang sempat membuat geger. Sampai-sampai, Sri Sultan meminta rektorat segera memberhentikan dengan tidak hormat karena telah merusak nama baik universitas.
“Ya, ampun, itu kejadian dua hari lalu, Nona. Basi, tahu!”
“Ya, terus apa, dong?” Kalila mengempaskan pantat ke atas ranjang. Dasar ratu drama, cuma mau ngomongin gosip aja berbelit.
“Ehm, siap-siap, ya. Tarik napas dulu, terus embuskan perlahan.”
“Kalau kamu lagi sama ibu hamil mau melahirkan ngapain nelepon aku?” Kalila mulai hilang kesabaran.
“Simpen energi kamu. Jangan ngamuk dulu.”
“Ya, Allah, come on, Mir.” Kesabaran Kalila sudah di dengkul. Diraihnya bantal lalu dilempar ke arah pintu kamar.
“Gini, La.” Nada bicara Miranti berubah serius.
Kalila menunggu sembari menahan kesal di hati. Lama-lama kupingnya panas, bukan karena gosip, tetapi karena terlalu lama nunggu.
“Barusan banget aku dari kosan Gea. Dia bilang kalau ....” Hening sejenak. Miranti mencoba memilih kata paling pas, tetapi tidak ketemu. “Barusan banget Gea ngomong kalau Mas Haiyan melamar dia dan bentar lagi mereka bakal tunangan terus nikah.”
Kalila tercenung. Kabar itu seperti petasan yang meletus lalu membuat telinganya tuli dan jantungnya berhenti berdetak selama sekian detik karena kaget. Mira pasti bohong. Gea pasti halu. Nggak mungkin Mas Haiyan melamar orang lain. Mas Haiyan sudah berjanji akan menikahiku. Kalila mulai gelisah. Bayangan Haiyan dan Gea bergantian mengisi rongga kepala. Tapi, Mira nggak pernah bohong. Hati Kalila makin rusuh, kepalanya ribut.
Lantas, Kalila seperti tersedot ke mesin waktu, terlempar ke masa enam bulan lalu. Sepucuk surat dari Haiyan dan ucapan pria itu masih menetap di ingatan. Kenapa tiba-tiba Mas Haiyan justru melamar Gea? Untuk apa dia memintaku menunggu kalau akhirnya begini?
“Padahal kalau nggak salah, dulu kamu pernah cerita kalau Mas Haiyan mau melamar kamu. Kok, tiba-tiba pindah ke Gea? Apa dia mau poligami? Jadi lamar dua orang sekaligus? Jangan-jangan, setelah ini dia melamar aku?” Miranti terus nyerocos sementara Kalila membiarkannya tanpa tanggapan. “Jadi dia akan menikahi tiga perempuan sekaligus. Ya, ampun, nggak nyangka, ya, Mas Haiyan ternyata modelan begitu.”
Tangan Kalila gemetar. Otaknya mendadak kosong. Blank. Seperti komputer yang terkena virus lalu mati. Haiyan, Gea, dua nama itu terus berdengung di telinga lalu mengisi kepalanya hingga terasa sakit dan nyeri.
“La, kamu masih di bumi, kan? Kamu belum bunuh diri, kan? Tolong jangan bunuh diri dulu. Kamu masih ada utang ngajakin aku jalan ke Ijen buat cobain kopi di sana. Please, La. Pikirkan baik-baik sebelum bunuh diri.”
Kalila mengusap setitik air yang sempat jatuh dari mata. “Thanks infonya, Mir.”
“Kamu ini lagi di mana? Di rumah, kan? Aku ke sana sekarang, ya.” Mira berseru khawatir. Kalau Kalila menjawab dengan kalimat pendek dan lebih banyak diam, itu artinya sahabatnya sangat terpuruk.
“Nggak usah, Mir. Semoga Gea cuma nge-prank kamu.” Tubuh Kalila melorot ke lantai. Disandarkannya punggung pada ranjang sembari menahan tangis. Dalam hati ia masih mencoba menganggap kalau berita itu hanya kabar bohong.
“Ehm, maaf banget ya, La, kalau berita ini bikin kamu nggak baik-baik saja.” Ada sesal dalam suara Miranti. ‘Tapi aku yakin Gea nggak nge-prank. Kamu tahu, kan, Gea tidak punya bakat iseng. Dia terlalu polos untuk menjadikan lamar-melamar ini sebagai lelucon.”
Kalila menghirup oksigen banyak-banyak, mencoba melonggarkan dada yang terasa sesak. Soal Gea, ia sependapat dengan Miranti. Namun, kalau dia ingin menikah, kenapa harus dengan Haiyan. Tanpa konferensi pers, semua anggota teater Semut Merah, termasuk Gea, sudah tahu kalau ia memiliki hubungan khusus dengan Haiyan. Kenapa Gea masih menerima Haiyan? Kalila benar-benar tidak habis pikir.
“La, aku ke rumah kamu sekarang, ya.”
“Nggak usah, Mir. Makasih sudah kasih tahu aku, Mir.” Kalila hilang kata.
“Nggak bisa. Aku ke rumah kamu, ya. Kamu punya bahu buat nyender dan dada seluas samudera buat nampung keluh kesahmu.” Miranti mencoba berkelakar.
Kalila tersenyum getir. “Makasih, Mir. But, you know, aku pengen sendiri dulu.”
“Hemm, oke, deh. Kabari aku kalau kamu butuh teman jalan biar sejenak bisa kabur dari kenyataan.”
Kali ini Kalila tertawa, menutupi luka hati yang terus meneteskan darah. Setelah menjawab salam Miranti, ia mengakhiri panggilan dan melempar ponsel ke ranjang.
Kalila menghela napas. Ia sedang tidak butuh teman. ia justru butuh penjelasan Haiyan, kenapa bisa ia yang dulu dilamar justru tunangan sama Gea. Haiyan harus menjelaskan, kenapa semua berubah tanpa konfirmasi, tanpa permisi.
***
Ponsel di tangan Kalila terlempar ke sembarang arah di atas ranjang berseprai motif geometris. Ia merebahkan badan, menatap langi-langit kamar dengan kepala penuh pertanyaan dan kemungkinan jawaban. Segala ingatan tentang Haiyan adalah menyenangkan. Pria itu senior di Teater Semut Merah, tetapi bisa memperlakukan juniornya dengan baik. Dia tahu kapan harus bersikap tegas dan keras serta kapan menjadi teman sekaligus kawan nongkrong yang menyenangkan. Haiyan memiliki senyum yang mengingatkan Kalila pada bunga matahari di halaman depan, cerah dan memberi kesan hangat. Ia juga punya tatapan teduh. Siapa pun yang melihatnya akan merasa diperhatikan dan diperlakukan spesial. Sering, orang salah paham. Mereka menyangka menjadi bagian istimewa dalam semesta hidup Haiyan padahal hanya teman biasa. Untuk alasan itulah, Kalila selalu berusaha menindas debar di dada setiap kali bertemu Haiyan dan menganggapnya tidak lebih dari sekadar lawan main dalam pentas teater atau pembacaan puisi. Lalu
“Aku tidak mungkin menyembunyikan hal sebesar ini dari Papa,” keluh Kalila. Seketika paras gadis itu semuram langit sore yang mengelam karena matahari nyaris bersembunyi di batas cakrawala. Tangannya masih sibuk mengaduk gelas padahal sejak tadi isinya telah tercampur sempurna. Sementara itu, kedua matanya menatap bingung Haiyan. Kolaborasi Chanyeol dan Winter menyanyikan Yours yang memenuhi restauran tidak mampu mengusir gelisah di hati Kalila. Permintaan pria itu seperti ajakan kawin lari bagi Kalila. Dua puluh dua tahun lebih menginjakkan kaki di bumi, Kalila tidak pernah menyembunyikan apa pun dari papanya. Bahkan hanya bersitegang dengan Miranti atau tertinggal bus Trans Jogja bisa jadi bahan obrolan di meja makan atau saat duduk-duduk berdua. Kalila hampir tidak pernah melewatkan kesehariannya dari penglihatan dan telinga sang papa. Lalu, bagaimana mungkin ia bisa bermain petak umpet untuk urusan sebesar ini? “Kamu pasti tahu gimana papamu.” Haiyan memecah sunyi. “Prof. Wisn
"Sumpah, La, aku dengar sendiri Gea ngomong kalau Mas Haiyan ngelamar dia. Telingaku masih normal, La." Miranti berseru gusar dalam telepon setelah Kalila mengirim screenshot pesan Haiyan. "Kalau nggak percaya, kamu tanya langsung, deh, Gea."Ide bagus. Kalila membatin. Kalau Haiyan susah dihubungi, ia bisa bertanya pada Gea. Tapi nanti, tidak sekarang. Aku harus dapat penjelasan dari Mas Haiyan dulu, bukan Gea."Aku kejar Mas Haiyan dulu, deh. Coba dia ngomong apa.""Coba nanti aku korek-korek lagi Gea. Mana tahu kemarin dia halu setelah nonton drakor." Miranti terkekeh."Dih. Awas kalau sampai kamu salah kasih info, Mir.""Iya, iya. Aku bakal tanggung jawab. Kamu bakal aku traktir di Sky High kalau sampai telingaku geser dan salah denger."Sayangnya, sampai satu bulan berlalu, Haiyan tetap saja tidak bersedia bertemu. Dia selalu punya cara untuk menghindar, mulai dari masih di luar kota, menemani mamanya berobat dan terapi, ketemu klien dan mahasiswa. Kalila mulai curiga. Pria itu b
Wisnu diam sejenak, menatap putrinya lurus-lurus. Ada bahagia sekaligus khawatir yang bergumul di dada. Bahagia karena Wisnu tahu akan menitipkan putrinya pada orang yang tepat. Jadi, jika sewaktu-waktu dia pergi, Kalila akan meneruskan hidup dengan laki-laki yang ia percaya berperangai baik. Di sisi lain Wisnu khawatir karena ia tahu sifat Kalila. Ia takut gadisnya justru menjadi beban Farhan."Papa bilang apa ke Bang Farhan?" Kalila mengulang pertanyaan karena Wisnu tidak segera menjawab. Meski bisa menebak, Kalila ingin memastikan. Siapa tahu sang papa berubah pikiran dan urung menjodohkannya dengan Farhan.Wisnu menyingkirkan setiap lintasan buruk yang sempat mampir dan menyesaki kepala. Bukankah Tuhan mengikuti prasangka hamba-Nya? Sebaiknya aku memelihara prasangka baik. Wisnu meneguhkan hati. Ada doa yang diucapkan diam-diam berbarengan masuknya udara ke rongga paru-parunya saat ia menghela napas sebelum memberi jawab. "Papa terima lamaran dia dan papa juga bilang kalau kamu se
Kalila tidak merasa senang mendengar ucapan Haiyan. Ia justru kasihan dan tidak enak hati pada Gea yang masih berdiri tidak jauh di belakang Haiyan. Ia dan Gea selama ini berteman meski tidak cukup dekat. Sebagai sesama perempuan, Kalila bisa merasakan sakitnya dipermainkan. Sialnya, mereka jadi korban laki-laki yang sama.Di samping Miranti, Gea menatap Haiyan dengan mulut terbuka dan bibir bergetar. Ada luka menganga pada manik hazel yang terlihat seperti dilapisi air bening. "Kamu tega banget ngomong gitu, Mas!"Mata-mata manusia di halaman markas Semut Merah kini tertuju pada Haiyan, Gea, dan Kalila. Bahkan jika pohon dan bunga-bunga bisa bicara, mereka pasti sedang menggunjing naskah drama yang menjelma kisah nyata.Tubuh Haiyan membeku. Pekikan Gea melemparnya dalam situasi sangat sulit. Ia memacu otak mencari jalan keluar dari persimpangan rasa, tetapi gagal. Simpul-simpul saraf di kepalanya mendadak mogok. Akhirnya, dia berbalik dan menatap Gea dengan wajah memucat."Aku …." S
Di atas bongkahan batu besar Haiyan berdiri. Bola matanya tertuju ke arah tanah luas yang sedang dikeruk untuk diubah menjadi waduk, tetapi kepalanya dipenuhi wajah sang papa, Gea, dan Kalila.Angin menerbangkan debu-debu, sebagiannya menampar wajah berkulit putih milik Haiyan yang tertutup masker. Udara diisi suara mesin pengeruk yang bekerja nyaris dua empat jam demi mengejar target waktu.Tanah ini dulu desa dengan area persawahan yang sangat subur. Haiyan tidak tahu, kenapa pemerintah memilih tempat ini untuk diubah menjadi waduk. Meski waduk itu akan menjadi penyuplai listrik, tetapi mengubah tanah produktif jelas sebuah tindakan gegabah. Satu hal yang ditentang habis-habisan pula oleh Wisnu dan mengakibatkan perdebatan sengit di antara Wisnu dan Haiyan."Tidak seharusnya kamu menerima proyek yang ternyata hanya menjadi alat pembunuh massal." Raut muka Wisnu tetap datar saat bicara, tetapi suaranya terdengar dingin dan penuh tekanan."Justru proyek itu akan menyelamatkan jutaan m
Ada yang berdentum sangat keras di dada Haiyan usai mengucapkan keinginannya. Kali pertama sepanjang 24 tahun kehidupannya bersama keluarga Baskoro ia berkata tidak. Meski Haiyan tidak tahu, akan sampai di mana perlawanannya. Sejak menjadi bagian dari keluarga Baskoro, Haiyan adalah si bungsu penurut. Ia tidak pernah memprotes keputusan-keputusan orangtuanya. Bagi Haiyan, selain Tuhan, Baskoro dan Prameswari adalah penentu jalan takdirnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Haiyan menurut ketika ia harus ikut program akselerasi hingga sekolah dasar sampai menengah selesai dalam sembilan tahun disusul tiga setengah tahun kuliah di kampus tertua di Indonesia. Setelahnya, ia menghabiskan delapan tahun di negeri panser. Semua atas perintah papanya. Begitu pula dengan jurusan yang dipilih, ia hanya menjalankan pilihan Baskoro. Lalu hari ini, dengan nyali yang tak lebih besar dari seekor nyamuk, ia memberanikan diri berkata tidak, melawan manusia yang telah mengangkat derajatnya dari
Sendiri, Haiyan meneruskan makan. Ia tidak akan pernah membuang makanan. Ia tahu, begitu keras usaha manusia untuk mengenyangkan perut. Jadi, meski seleranya sudah menguap, ia berusaha memakan semua yang ada di piring. Haiyan masih mengunyah potongan buncis saat mendengar suara langkah kaki mendekati ruang makan. Lalu, wajah lelah mamanya muncul dari balik ruang tengah. "Kenapa makan sendiri, Hai? Ke mana Papa?" Ekor mata perempuan berusia 50 tahun itu melirik piring Baskoro. "Papa buru-buru tadi, Ma. Jadi duluan. Mama mau diambilkan makan? Pasti hari ini capek banget." Haiyan menarik kursi di sampingnya agar mamanya bisa duduk dengan mudah. "Minum saja, Hai. Mama ingin minum teh hangat." "Tunggu sebentar, Ma." Haiyan ke dapur, meminta pelayan membuatkan secangkir teh hangat untuk Prameswari. Pelayan sudah tahu teh seperti apa yang diinginkan tuannya. "Mama sudah menghubungi toko emas terbaik di kota ini. Mereka akan segera meneleponmu. Kamu bisa pilih salah satu cincin terb