Ponsel di tangan Kalila terlempar ke sembarang arah di atas ranjang berseprai motif geometris. Ia merebahkan badan, menatap langi-langit kamar dengan kepala penuh pertanyaan dan kemungkinan jawaban.
Segala ingatan tentang Haiyan adalah menyenangkan. Pria itu senior di Teater Semut Merah, tetapi bisa memperlakukan juniornya dengan baik. Dia tahu kapan harus bersikap tegas dan keras serta kapan menjadi teman sekaligus kawan nongkrong yang menyenangkan.
Haiyan memiliki senyum yang mengingatkan Kalila pada bunga matahari di halaman depan, cerah dan memberi kesan hangat. Ia juga punya tatapan teduh. Siapa pun yang melihatnya akan merasa diperhatikan dan diperlakukan spesial.
Sering, orang salah paham. Mereka menyangka menjadi bagian istimewa dalam semesta hidup Haiyan padahal hanya teman biasa. Untuk alasan itulah, Kalila selalu berusaha menindas debar di dada setiap kali bertemu Haiyan dan menganggapnya tidak lebih dari sekadar lawan main dalam pentas teater atau pembacaan puisi.
Lalu, ketika enam bulan lalu Haiyan mengajak bicara empat mata di salah satu restoran, Kalila tidak punya pikiran lain selain akan ditawari proyek pementasan akhir tahun, salah satu agenda rutin Semut Merah.
“Aku sudah di dalam. Di meja nomer 37.”
Kalila membaca pesan di ponselnya ketika sudah berada di depan restoran Orion di dekat perempatan Tugu. Hari sudah sore. Cahaya matahari meredup dan langit mulai berubah warna. Kebetulan Kalila baru saja selesai memotret di seputar Tugu sehingga tidak sulit baginya memenuhi undangan Haiyan.
Setelah merapikan jilbab, Kalila mengayunkan kaki menuju restoran. Suara Tulus bergema di telinga Kalila tatkala tubuhnya memasuki ruangan bernuansa etnik itu. Selarik senyum terbit di wajah Kalila saat menghidu aroma kopi panas. Ia selalu suka wangi kopi meski tidak terlalu menggemari minumannya.
Dilihatnya Haiyan sibuk dengan tablet di meja yang terletak agak menjorok ke dalam. Segera dipangkasnya jarak. Dia tidak punya banyak waktu karena Papa tidak pernah mengizinkannya pulan lewat jam tujuh kecuali akan dijemput.
“Maaf telat, Mas.” Kalila duduk di seberang meja. Diletakkannya ransel di lantai.
“Masih satu menit sebelum waktu janjian.” Pria berkulit putih dengan rambut sedikit bergelombang itu melihat arloji kemudian melengkungkan bibir saat bertemu pandang dengan Kalila.
“Ada project apa, Mas? Kok, tumben cuma ngajakin aku?”
Biasanya, Haiyan akan mengundang semua anggota Geng 20 untuk ketemu jika ada proyek pementasan teater. Bukan apa-apa, angkatan 20 adalah angkatan tertua yang tersisa di Teater Semut Merah. Itu pun anggotanya tinggal tujuh biji, termasuk Kalila.
“Ini nggak ada hubungannya dengan Semut Merah.” Haiyan mengusap rambut. Digesernya tablet ke samping. “Kita mesen makan dulu. Nggak seru ngobrol di resto tapi mulutnya nggak sambil ngunyah.” Pria itu tersenyum kikuk sembari melambaikan tangan pada pelayan berbaju adat Jawa.
“Jadi deg-degan, nih. Apa Mas Haiyan diundang baca puisi dan ngajakin aku buat tampil bareng?”
Kalila menatap Haiyan dengan mata berbinar. Mereka memang kerap tampil bersama. Kalila selalu mendapat tugas mengiringi Haiyan dengan petikan gitar. Terakhir mereka sempat perform di salah satu gelaran budaya di Kraton Yogyakarta. Reputasi Wisnu semakin memudahkan jalan Kalila untuk dikenal luas.
“Bukan juga.”
Raut muka Haiyan mendadak berubah serius. Kalila hanya melihat pria itu terlihat serius saat berada di dekat papanya atau ketika berlatih. Selintas tanya seketika hadir di kepala Kalila.
“Ini soal kita berdua.”
Ujung alis Kalila berkerut hingga hampir menyatu dengan tahi lalat yang bertengger manis di antara kedua alisnya. “Ada apa dengan kita, Mas? Aku ada salah?”
Haiyan menggeleng. Dibiarkannya sejenak pertanyaan Kalila tak menemukan jawab karena kedatangan pelayan mengantarkan pesanan mereka.
“Nggak ada yang salah sama kamu.” Haiyan mengaduk gelas mochachino latte di hadapannya.
“Jangan bikin aku mati penasaran, dong, Mas,” seru Kalila diikut tawa gugup Haiyan.
“Sebenarnya sudah lama aku pengen ngomong sama kamu.” Haiyan mencoba mengusir kikuk dengan menyesap minumannya.
Tangan Kalila mengaduk gelas, mencampur susu cokelat dan potongan almon dengan jus alpukat. Ditatapnya Haiyan dengan sorot mata bingung. Sejak kapan pria itu butuh waktu untuk bicara seolah otaknya begitu sulit merangkai kata sedangkan sebelumnya ia adalah salah satu orator terbaik di kampus?
Hmm, ngomongin perasaan ternyata lebih sulit daripada jelasin rumus kimia. Haiyan mengeluh dalam hati. Otaknya mendadak buntu dan rangkaian kalimat yang selama beberapa hari ini telah tersusun rapi tiba-tiba buyar seperti puzzle yang jatuh lalu potongannya berserakan di lantai.
Merasa tidak mampu memilih kata, Haiyan menyerah. Adegan romantis yang sempat terlintas di kepala buyar tanpa jejak. Diambilnya kotak beledu dan menyodorkannya pada Kalila.
“Aku ingin melamarmu. Maukah kamu jadi istriku?”
Ya, Tuhan, kenapa dua kalimat itu lebih susah dari Teori Relativitas Einstein?
Kalila bergeming. Seteguk jus alpukat berhenti di mulut. Dilihatnya Haiyan dengan sorot tak percaya. “Mas Haiyan nggak salah makan atau hang karena kebanyakan rumus, kan?”
Sebenarnya Kalila ingin bersorak, tetapi urung karena khawatir kena prank. Meski kata “ya” berdentum-dentum di kepala dan tidak sabar untuk meluncur dari mulut, Kalila ingat kalau Haiyan adalah pemain watak cukup andal. Bisa saja dia sedang mencoba berlatih untuk peran baru yang tidak diketahui Kalila. Perempuan itu merasa harus waspada.
“Aku serius.” Haiyan meraih tissue dan mengelap wajahnya. “Kita tidak akan menikah dalam waktu dekat. Kamu selesaikan dulu skripsimu sambil aku nabung. Rencananya, satu atau dua tahun lagi aku bilang ke Prof. Wisnu.” Pria itu mengembuskan napas lega. Akhirnya, apa yang tersusun di pikiran berhasil lolos dari bibir tanpa jejak nikotin miliknya.
“Kalau masih lama, kenapa ngomong sekarang?”
Sejak dulu, Kalila selalu berpikir kalau proses melamar dan menikah tidak akan terjeda lama, tidak lebih dari hitungan bulan. Menunggu hingga berbilang purnama? Kalila ragu sanggup melakukannya. Apalagi Wisnu sangat konservatif.
“Satu dua tahun tidak lama, La. Sekalian nanti aku bawa kamu ke luar negeri kalau beasiswaku tembus.”
“Jadi kita terikat ... tanpa status?”
Terikat tanpa status? Sebuah hubungan yang terdengar ganjil di telinga Haiyan, tetapi sepertinya memang paling cocok dengan apa yang terjadi dengan mereka.
“Hanya sementara. Sampai aku dapat restu Ayah dan punya cukup uang. Kamu tahu, keluargaku tidak akan membiarkan kita menikah sederhana.”
“Kalau gitu, Mas Haiyan bisa datang lagi setelah merasa mampu. Tidak perlu mengikatku dengan ini.” Kalila menjauhkan kotak beledu berbentuk love darinya.
“Aku nggak mau kehilangan kamu.” Haiyan menatap lekat perempuan yang selalu membuat dadanya berdenyar sejak pertama kali bertemu. Dia sudah menahan perasaannya sangat lama dan tidak ingin terlambat. Haiyan tahu bagaimana Prof. Wisnu. Sebelum Kalila dijodohkan dengan pria lain, ia harus mengikatnya lebih dulu.
“Tapi Papa tidak akan setuju dengan cara ini.”
“Jangan bilang Prof. Wisnu. Kesepakatan ini hanya kita berdua yang tahu.”
***
Kaivan tersenyum sinis. “Saya yakin Anda tidak ingin kehilangan Nona Miranti yang cantik. Tapi, saya hanya mau menukar nyawa Wisnu dengan gadis itu, bagaimana?” Kaivan berkata dengan tenang seolah pertukaran nyawa manusia tidak lebih dari tukar-menukar mainan. “Tentu saja saya akan menghabisinya setelah menikmati tubuhnya.” Kaivan menyeringa lalu tertawa. Ada yang menggelegak di tubuh Andromeda, tetapi ia berusaha menahan diri. Permainan sedang berada di puncak. Ia tidak akan terpancing. “Dan pastinya, bukan hanya saya yang akan menikmati tubuhnya. Orang-orang kepercayaan saya juga.” Kaivan melirik dua pengawal yang berdiri di dekat Andromeda. Lirikan yang kemudian dibalas dengan senyum menjijikkan. Andromeda terdiam sesaat. “Well, mau bagaimana lagi. Kalau memang itu syaratnya, saya setuju.” “Wow!” Kaivan bertepuk tangan. “Bravo! Jadi nyama Nona Miranti tak lebih berharga dari Wisnu?” Andromeda mengedikkan bahu. “Tolong bawa dia ke mari, Tuan. Saya ingin bertemu dengannya untuk
Bibir Andromeda melengkung lalu mendekati meja. Ia membungkuk lalu duduk bersila hingga tubuhnya dan Kaivan berada dalam satu garis lurus. Mulutnya masih terkatup rapat sementara otaknya sibuk menakar kekuatan Kaivan dan permainan yang mungkin disiapkannya. Baru saja tubuh Andromeda berada di atas tatami, dinding di samping kirinya tiba-tiba bergeser lalu dua lelaki tegap berjas dan berkacamata hitam keluar dari balik dinding dan berdiri dua meter di belakang Andromeda. “Saya kira kita akan bicara empat mata.” Tatap tajam Andromeda menerobos rongga mata Kaivan. “Rupanya Anda tak seberani yang saya kira. Anda tak lebih dari seekor kecoa.” Andromeda tersenyum meremehkan. Kai tertawa. “Ternyata benar kata orang, Anda polisi bermulut besar.” Pria itu berdecak. “Toh, Anda juga tidak datang sendiri, bukan?” Hiasan gantung di belakang Kaivan tiba-tiba tergulung. Dinding di belakangnya menjelma layar lebar yang memperlihatkan orang-orang Andromeda di sekitar rumah Kaivan. “Saya hitung, ada
“Kamu yakin negosiasi dengan Kaivan akan berhasil?” Farhan menatap lurus-lurus Andromeda. Seharian ini Farhan harus ikut Andromeda koordinasi terakhir dan simulasi beberapa rencana yang akan mereka lakukan dan itu membuat otak dan fisik Farhan sangat letih, lebih capek dari mengajar selama berjam-jam di depan kelas. Sorot mata pria itu meredup dan digelayuti kekhawatiran juga ketakutan. Musuh mereka bukan kaleng-kaleng, bukan penjahat kelas teri. Andromeda mengangguk yakin. Diseruputnya sisa kopi di dalam gelas. “Aku punya kartu As Kaivan dan Atmaveda grup. Dia tidak akan berkutik di depanku.” “Dia tidak sebodoh yang kamu kira, Da.” “Dia memang tidak bodoh. Tapi aku juga bukan polisi ingusan.” Andromeda menatap keluar jendela ruang kerjanya yang masih dibiarkan terbuka. Diambilnya pulpen dari kemeja kemudian memutar-mutarnya. “Aku pastikan, dia bertemu lawan sepadan.” Pandangan Andromeda kembali tertuju pada Farhan. “Kamu tidak perlu khawatir, Kawan. Semua sudah aku hitung.” Ia be
halo, hola, readers. Maaf baru update lagi. Kondisi kesehatan dan adanya projek lain membuat saya sedikit menunda waktu update. Semoga teman-teman masih bersedia mengikuti cerita ini. Salam hangat dari Farhan dan Kalila :-)***Pergi. Mendadak dada Kalila terasa sesak mendengar kata itu. Kepalanya tertunduk dan tangannya meremas tepi rok. Apa saat itu hampir tiba? Kenapa terburu-buru mengurus balik nama rumah dan mobil? Ia anak tunggal. Tidak akan terjadi konflik rebutan harta warisan dengan siapa pun. Tidak mungkin ia akan berebut dengan Farhan. Lagi pula, setahu Kalila harta Wisnu hanya rumah ini dan isinya. Pria itu lebih banyak bersedekah ketimbang menyimpan uang untuk diri dan keluarganya. Wisnu tidak pernah membeli sesuatu berlebih. Semua hanya seperlunya dan kalau benar-benar dibutuhkan. Wisnu tidak akan membeli barang baru jika yang lama masih bisa dipakai. Seandainya ia membeli barang baru, maka barang lama akan ia berikan pada orang lain. First in first out. Begitu prinsipn
Selepas salat Asar, Farhan melajukan Expander menuju makam. Tanah pekuburan itu sebenarnya terletak di belakang kompleks, tetapi untuk memasukinya harus memutar keluar dulu dari gerbang kompleks kemudian belok kiri memasuki jalan kampung di pertigaan pertama setelah pintu keluar kompleks. Makam itu digunakan oleh warga dua kompleks perumahan dan penduduk di pemukiman belakang kompleks sehingga pintu masuknya berada di depan jalan yang bisa dilewati warga dari ketiga wilayah itu. Sebelum ke makam, Kalila meminta Farhan ke florist yang letaknya lima ratus meter dari pertigaan di mana mereka akan berbelok. "Mama paling suka kalau aku ajak jalan sore-sore." Suara Wisnu terdengar renyah dan hangat. Bibirnya tidak henti menyunggingkan senyum seolah ia benar-benar akan bertemu sang istri yang telah lama terpisah jarak. Farhan menoleh, tersenyum kemudian kembali menatap jalanan. Ia bisa merasakan kegembiraan Wisnu. Andai bisa, dia pun akan mengunjungi makam Mamak dan Bapak sesering mungk
Ucapan Wisnu memaku tubuh Kalila. Seperti ada dua tangan yang tiba-tiba keluar dari lantai kemudian memegang erat kakinya sehingga tidak bisa melangkah. Main? Aku main? Dari mana Papa mendapat kata itu? Apakah Bang Farhan telah mengadu pada Papa dan menyebut main setiap kali aku keluar rumah? “Lila nggak pernah pergi main atau nongkrong, Pa.” Kalila menggeser sedikit tubuhnya kemudian duduk di kursi, agak jauh dari Wisnu. Ditatapnya paras sang papa dengan pandangan tak terima. Memang, kadang sepulang meliput, wawancara, atau mengambil foto, ia mampir ke kafe. Biasanya ia akan membuat janji dengan Miranti dan mereka akan mengobrol. Namun, bukan itu tujuan kepergiannya. Apalagi setelah menikah. Jangankan main, hanya ke kampus atau ke kosan Miranti saja Farhan sudah sangat rewel. “Syukurlah kalau kamu tidak melakukannya.” Wisnu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Ia tahu, Kalila masih ingin bebas. Ia khawatir Kalila melupakan kewajibannya sebagai istri karena terlalu asyik dengan Mir