Share

Menikahi Sang Pendendam
Menikahi Sang Pendendam
Penulis: Tabina Carra

01. Introduce, Celine Artha

***

“Saya sepakat kita tetap di rencana semula. Pemotretan bisa dilakukan dua minggu lagi. Ann, jangan lupa konfirmasi ulang jadwal Chef Renata minggu depan. Saya tidak mentolerir keterlambatan jadwal seperti minggu ini.” Celine Artha duduk dengan tegak sambil mengaitkan sepuluh jarinya di atas notebook.

“Oke, saya akhiri rapat untuk siang ini.”

Bawahannya terlihat puas dengan ide-ide yang disampaikan Celine sebagai Managing Food Editor di Majalah TASTE dan baru menjabat dua minggu terakhir. Bahkan saking sibuknya melakukan perombakan divisi, Celine belum sempat membereskan isi rumah sejak kepindahannya kembali ke ibu kota. 

Lima tahun terakhir, Celine memilih kabur dan menerima pekerjaan sebagai food journalist salah satu majalah traveling ternama. Menjadi kontributor paruh waktu membuatnya  mengelilingi hampir setengah isi dunia untuk meliput semua jenis makanan dan gaya hidup masyarakat global. Ketika salah satu kolega kembali menawarkan pekerjaan impiannya di tanah air, Celine tidak pikir panjang untuk mengepak ransel dan kembali pulang.

***

Celine memutuskan untuk menyelesaikan sisa pekerjaan di ruang meeting. Tanpa sadar, waktu sudah menunjukkan menuju jam sembilan malam. Saat keluar dari ruang rapat, Celine dihadapkan dengan suasana kantor yang cukup temaram. Langkahnya melewati dua jajaran kubikel tanpa tergesa. Celine terbiasa bekerja sendiri. Kondisi temaram di kantor baru bukanlah hal menakutkan untuknya.

Tangan kirinya mendekap laptop dan beberapa laporan singkat hasil kerja anak buah. Jari kanan Celine meraih cuping telinga yang dirasakan gatal.

Plop! Tidak sengaja anting berliannya terjatuh menggelinding. Celine berjongkok untuk meraih antingnya. Dalam keremangan, ia harus meraba kemana benda berharganya terjatuh.

Sial! Itu bukan anting sembarangan karena mendiang suaminya yang menghadiahkan perhiasan mahal itu ketika Alaric melamarnya dalam makan malam romantis. Celine meletakkan bawaannya di lantai. Kepalanya menunduk sambil melirik kiri dan kanan, pipi mulusnya hampir saja menempel karpet kantor.

Sepasang matanya kemudian tertuju pada benda mini yang berkilau tepat dua setengah meter di ujung hidungnya. Kedua tangan Celine mengepal tanda kemenangan. Berlian itu berada di ambang pintu salah satu ruang asisten redakturnya, Ann.

Dengan hela nafas lega, Celine menuju ruangan Ann yang memang sudah gelap gulita. Tepat saat ia hendak menunduk dan mencapai berlian kesayangannya, Celine mendengar suara perempuan riuh mengaduh dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. 

Masing-masing asisten redaktur memang menempati ruang kerja yang lebih kecil dari miliknya. Untuk menjawab keingintahuannya, Celine berdiri mematung tepat di ambang pintu dengan masih mendekap laptop ke dada.

“Argh! Harder, Baby! Aku sudah tidak kuat. Argh!” Celine dapat mendengar rintihan Ann mengaduh. Keriuhan di hadapannya bahkan membuat Celine lupa tujuan awal ia mencapai ambang pintu ruangan Ann.

Plak! Terdengar tamparan pelan dari baliknya. Celine sudah tidak mempedulikan aktivitas panas didalam dan segera berjongkok untuk mencapai antingnya di bawah sepatu. 

Do you want more, Baby! Be my pleasure. Argh!” Geram lelaki itu membahana di dalam ruang kerja Ann.

Celine mendengar suara sepasang lelaki dan perempuan yang sedang mencapai nikmat dunia dengan suara yang dinilainya cukup familiar. Rasanya aku mengenal suara lelaki itu!

Celine menjatuhkan laptop dan sejumlah laporan dari dekapannya dan tidak sengaja mendorong pintu terbuka lebih lebar. Riuh gaduh yang ditimbulkan memecah keheningan di sepanjang lorong. Sudut matanya menangkap sosok tubuh polos Ann dengan rambut coklatnya yang sedang duduk diatas pangkuan seorang lelaki di hadapannya. 

Mata Celine tidak sengaja beradu dengan milik Ann yang kini bertumpu pada ambang pintu tempatnya berdiri. Biarpun dengan pencahayaan secukupnya, ia kadung yakin pipinya sudah bersemu merah. Celine cukup tahu diri untuk tidak kepo lebih jauh untuk mengedar pandang dengan sosok lelaki itu. Meski ia penasaran setengah mati dengan pemilik suara yang menurutnya akrab.

“Ibu Celine.” Ann memecah kecanggungan antara mereka. Ia sudah berdiri dan menutup setengah dada dengan blouse hitam miliknya. 

“Maaf. Maaf.” Celine otomatis meminta maaf dengan kikuk. Situasi memalukan ini baru pertama kali dihadapi dalam sejarah hidupnya. Jari Celine segera membereskan bawaan serupa maling yang sedang tertangkap tangan. 

Terdengar bunyi gesekan Ann yang segera beranjak dari posisi duduknya semula. Dengan sigap mengenakan baju dan merapikan diri. Dalam hitungan detik, Ann sudah berada di sisi Celine dan menyerahkan sisa kertas laporan yang berhamburan di lantai. Keduanya menolak bertatap dalam situasi canggung.

“Thanks.” Celine sudah berdiri dan dengan sisa harga diri segera berbalik dan ingin kabur dari hadapan dua sejoli itu. Mungkin saja, Ann dan kekasihnya memang memiliki fantasi liar  mengenai kegiatan ekstrakurikuler di bawah temaramnya lampu kantor. 

Entahlah! Celine bahkan melupakan alasan utama untuk mengambil anting berliannya yang terjatuh. Mukanya sebagai atasan harus segera diselamatkan dari situasi kikuk tadi. Sebelum pulang ia sudah berpesan pada office boy agar mengambilkan antingnya yang terjatuh di sekitaran pintu ruangan Ann. Celine sudah menjanjikan bonus menggiurkan bila OB berhasil menyimpan sisa antingnya.

Celine menuju ruang kerjanya. Mematikan monitor komputer dan membereskan berkas yang sudah diselesaikannya sepanjang minggu. Ia memutuskan untuk fokus membenahi perabot dan membongkar dus pindahan yang belum sempat dibukanya sama sekali. Minggu ini, Celine akan pergi ke pusat perbelanjaan dan membeli beberapa perlengkapan untuk rumah barunya.***

Add this book to your library! Love and Vote!

IG: TabiCarra10

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Marrygoldie
astaga kak panas nih badan
goodnovel comment avatar
prank_kuy
Oh no... opening udah bikin dadaku berdebar kencang. wkwkwkw...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status