Share

07. Hilang Selera Sabtu Malam

***

Brakk! Dengan tergesa Barra mendorong pintu apartemen dengan Hannah tidak sabar. Sedangkan, perempuan muda berusia setengah dari Barra itu sudah menggeliat tidak sabar di gendongannya. Sepasang tangan Hannah mengalung pada leher Barra yang kekar. Ia sibuk memberi penanda pada ceruk leher Barra.

“Apa kau yakin teman sekamarmu sedang tidak ada di rumah?”

Perempuan muda itu menjawab dengan erangan karena terlalu sibuk.

Barra tidak menahan diri lagi. Ia segera menghimpit punggung Hannah ke dinding terdekat. Dengan cekatan, ia sudah membuka resleting dress bodycon Hannah dan meloloskannya melewati kepala. Hanya tersisa lingerie seksi yang masih dikenakannya.

Daddy.” Hannah menggunakan nama panggilan untuknya.

Mendadak Barra mematung dan kehilangan selera.

Ia teringat Lola putri kecilnya dan juga … Celine Artha.

Mengapa bayangan Celine harus ikut bergabung merusak kesenangan malam minggunya! Astaga!

Barra meletakkan kedua tangan kokohnya pada bahu polos Hannah.

“Sebaiknya, aku pergi. Ini bukan ide bagus, Hannah.”

Perempuan yang sedang berdiri hampir polos itu membelalakan mata. “Who is the f*cking Hannah, Om?” protesnya. “Namaku Ruby, bukan Hannah.”

“Ya, ya, whatever. Maaf sudah menyita waktumu, Nak. Om pamit pulang dulu,” ketus Barra sambil meraih kemeja flanelnya yang tadi sudah dilucuti oleh Ruby.

“Om, kita belum selesai. Belum juga mulai,” protes Ruby.

I’m out, Ruby or Hannah, whatever your name is.” Barra sudah memutar knop pintu apartemen dan tidak peduli dengan rengekan gadis yang baru ditemuinya di klub semalam.

Sambil menyetir pulang, pikirannya kembali menerawang. Orang tuanya benar, keluarga kecilnya memang membutuhkan sosok Ibu untuk menemani tumbuh kembang Lola. Tapi, memilih istri tidak sama dengan memilih brokoli segar di supermarket. Kau tahu mana brokoli kualitas terbaik dan bisa membuang yang terlalu muda atau bahkan terlalu matang. 

Lalu, urusan calon istri dan ibu untuk Lola? Barra membuka jendela dan memantik sebatang rokoknya. Berharap asap nikotin yang baru dihembusnya akan membawa terbang kegelisahannya sepanjang hari ini.

***

Sepanjang ingatannya, kejadian semalam adalah malam panjang bagi Barra. Ia menghabiskan sisa malamnya dengan menyesap berbatang-batang rokok seraya mengusir potongan imaji Celine dalam kepalanya.

Sayang, berpuluh puntung itu tidak bisa menghapus ingatan-ingatan Barra tentang Celine yang mendadak datang menyerburnya. Ingatan kabur. Ingatan manis. Ingatan buruk. Masa lalu.

Si*al! Barra mengumpat dalam hati sambil melewati meja penerima tamu. Demi keinginan ibunya, ia memutuskan menghadiri resepsi pernikahan anak salah satu sahabat dekat keluarga mereka.

Belum lima langkah kakinya masuk pada venue resepsi semi outdoor bertema rustic wedding dengan dominasi nuansa broken white yang dipenuhi dekorasi buket bunga-bunga kering senada.

“Halo, Barra! Apa kabar? Kau datang sendiri? Mana Lola dan kedua orang tuamu?” Tante Wyna menyalaminya dengan hangat.

“Maaf, Tante. Paa agak kurang enak badan, jadi saya wakilkan. Maa juga kirim salam.” Barra masih menggenggam tangan perempuan paruh baya itu. Tante Wyna dan Ibunya adalah sahabat lama. Bahkan keduanya, pernah punya ide menjodohkan Barra dan Ethel, putri bungsu Wyna.

“Iya. Tadi ibumu sempat hubungi Tante, katanya ayahmu kambuh lagi vertigonya. Semoga cepat pulih ya.”

“Iya, sama-sama, Tante. Sebentar ya, saya mau memberi ucapan selamat pada Ethel.”

“Kapan giliran kamu nih? Masa sudah disusul saja sama Ethel?” Tante Wyna menyodoknya dengan pertanyaan menohok soal jodoh. “Nanti Tante bantu carikan ya?”

Wah, gawat nih! Dia datang memenuhi resepsi pernikahan Ethel karena ibunya bersikeras agar ia menggantikan kehadirannya, bukan mencari jodoh dadakan! Barra memutar isi kepala agar dapat meloloskan diri dari jeratan gosip Tante Wyna.

“Nyonya Wyna, maaf saya ganggu sebentar…” Seorang petugas wedding organizer menghampiri tempat mereka berdiri.

Barra bernafas lega karena ia bisa pamit tanpa repot pada Tante Wyna. Ia bertemu dengan beberapa teman lama. Memang Barra dan Ethel satu sekolah sejak remaja. Lingkungan pertemanan mereka juga cenderung eksklusif karena latar belakang keluarga masing-masing yang mayoritas datang dari keluarga pengusaha. Barra sempat menyapa beberapa adik kelasnya yang satu angkatan dengan Ethel.

Sampai matanya beradu pandang dengan mangsa baru di hadapannya kini. Barra bersiap melempar kembali jurus mautnya. 

Jika Jumat malamnya berakhir buruk karena gangguan atasan Ann, Sabtu malamnya gagal karena panggilan yang membuatnya gagal selera, bukan berarti ia tidak akan berhasil di Minggu sore ‘kan? Barra merapal mantra pada dirinya sendiri.***

Add this book to your library! Love and Vote!

IG: TabiCarra10

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status