***
Brakk! Dengan tergesa Barra mendorong pintu apartemen dengan Hannah tidak sabar. Sedangkan, perempuan muda berusia setengah dari Barra itu sudah menggeliat tidak sabar di gendongannya. Sepasang tangan Hannah mengalung pada leher Barra yang kekar. Ia sibuk memberi penanda pada ceruk leher Barra.
“Apa kau yakin teman sekamarmu sedang tidak ada di rumah?”
Perempuan muda itu menjawab dengan erangan karena terlalu sibuk.
Barra tidak menahan diri lagi. Ia segera menghimpit punggung Hannah ke dinding terdekat. Dengan cekatan, ia sudah membuka resleting dress bodycon Hannah dan meloloskannya melewati kepala. Hanya tersisa lingerie seksi yang masih dikenakannya.
“Daddy.” Hannah menggunakan nama panggilan untuknya.
Mendadak Barra mematung dan kehilangan selera.
Ia teringat Lola putri kecilnya dan juga … Celine Artha.
Mengapa bayangan Celine harus ikut bergabung merusak kesenangan malam minggunya! Astaga!
Barra meletakkan kedua tangan kokohnya pada bahu polos Hannah.
“Sebaiknya, aku pergi. Ini bukan ide bagus, Hannah.”
Perempuan yang sedang berdiri hampir polos itu membelalakan mata. “Who is the f*cking Hannah, Om?” protesnya. “Namaku Ruby, bukan Hannah.”
“Ya, ya, whatever. Maaf sudah menyita waktumu, Nak. Om pamit pulang dulu,” ketus Barra sambil meraih kemeja flanelnya yang tadi sudah dilucuti oleh Ruby.
“Om, kita belum selesai. Belum juga mulai,” protes Ruby.
“I’m out, Ruby or Hannah, whatever your name is.” Barra sudah memutar knop pintu apartemen dan tidak peduli dengan rengekan gadis yang baru ditemuinya di klub semalam.
Sambil menyetir pulang, pikirannya kembali menerawang. Orang tuanya benar, keluarga kecilnya memang membutuhkan sosok Ibu untuk menemani tumbuh kembang Lola. Tapi, memilih istri tidak sama dengan memilih brokoli segar di supermarket. Kau tahu mana brokoli kualitas terbaik dan bisa membuang yang terlalu muda atau bahkan terlalu matang.
Lalu, urusan calon istri dan ibu untuk Lola? Barra membuka jendela dan memantik sebatang rokoknya. Berharap asap nikotin yang baru dihembusnya akan membawa terbang kegelisahannya sepanjang hari ini.
***
Sepanjang ingatannya, kejadian semalam adalah malam panjang bagi Barra. Ia menghabiskan sisa malamnya dengan menyesap berbatang-batang rokok seraya mengusir potongan imaji Celine dalam kepalanya.
Sayang, berpuluh puntung itu tidak bisa menghapus ingatan-ingatan Barra tentang Celine yang mendadak datang menyerburnya. Ingatan kabur. Ingatan manis. Ingatan buruk. Masa lalu.
Si*al! Barra mengumpat dalam hati sambil melewati meja penerima tamu. Demi keinginan ibunya, ia memutuskan menghadiri resepsi pernikahan anak salah satu sahabat dekat keluarga mereka.
Belum lima langkah kakinya masuk pada venue resepsi semi outdoor bertema rustic wedding dengan dominasi nuansa broken white yang dipenuhi dekorasi buket bunga-bunga kering senada.
“Halo, Barra! Apa kabar? Kau datang sendiri? Mana Lola dan kedua orang tuamu?” Tante Wyna menyalaminya dengan hangat.
“Maaf, Tante. Paa agak kurang enak badan, jadi saya wakilkan. Maa juga kirim salam.” Barra masih menggenggam tangan perempuan paruh baya itu. Tante Wyna dan Ibunya adalah sahabat lama. Bahkan keduanya, pernah punya ide menjodohkan Barra dan Ethel, putri bungsu Wyna.
“Iya. Tadi ibumu sempat hubungi Tante, katanya ayahmu kambuh lagi vertigonya. Semoga cepat pulih ya.”
“Iya, sama-sama, Tante. Sebentar ya, saya mau memberi ucapan selamat pada Ethel.”
“Kapan giliran kamu nih? Masa sudah disusul saja sama Ethel?” Tante Wyna menyodoknya dengan pertanyaan menohok soal jodoh. “Nanti Tante bantu carikan ya?”
Wah, gawat nih! Dia datang memenuhi resepsi pernikahan Ethel karena ibunya bersikeras agar ia menggantikan kehadirannya, bukan mencari jodoh dadakan! Barra memutar isi kepala agar dapat meloloskan diri dari jeratan gosip Tante Wyna.
“Nyonya Wyna, maaf saya ganggu sebentar…” Seorang petugas wedding organizer menghampiri tempat mereka berdiri.
Barra bernafas lega karena ia bisa pamit tanpa repot pada Tante Wyna. Ia bertemu dengan beberapa teman lama. Memang Barra dan Ethel satu sekolah sejak remaja. Lingkungan pertemanan mereka juga cenderung eksklusif karena latar belakang keluarga masing-masing yang mayoritas datang dari keluarga pengusaha. Barra sempat menyapa beberapa adik kelasnya yang satu angkatan dengan Ethel.
Sampai matanya beradu pandang dengan mangsa baru di hadapannya kini. Barra bersiap melempar kembali jurus mautnya.
Jika Jumat malamnya berakhir buruk karena gangguan atasan Ann, Sabtu malamnya gagal karena panggilan yang membuatnya gagal selera, bukan berarti ia tidak akan berhasil di Minggu sore ‘kan? Barra merapal mantra pada dirinya sendiri.***
IG: TabiCarra10
***Gaun merahnya tertiup pelan disambut langit sore. Kalau bukan bertugas menjadi salah satu pengiring pengantin wanita, ia tidak akan mungkin mau mengenakan gaun berani seperti ini. Jelas sudah tipe gaun yang cukup mengekspos lekuk tubuhnya, bukan bagian dari kepribadiannya. Tapi, karena Ethel adalah sepupunya, ia tidak bisa menolak permintaannya.Celine sempat bertukar kabar dengan beberapa kawan sekolahnya dulu. Bagaimanapun juga, bagi lingkungan terbatas seperti mereka ruang lingkup pertemanan biasanya juga akan sama. Mungkin kasus berbeda untuknya yang selama lima tahun terakhir memilih pergi dan mengasingkan diri.Tidak disangka ia harus memasang tampang ramah sepanjang hari, ketika hampir semua kawannya menanyakan kondisin
***Klik! Sejak kapan Maa bersikap panik menghadapi Lola yang sedang demam? Diberi ibuprofen dan membiarkan anak itu istirahat adalah obat mujarab.“Apa kita perlu melanjutkan kegiatan kita tadi di atas sofa nyaman itu, Sayang?”Terdengar suara perempuan bersama Barra.“Uhm.” Barra menjawab dengan decakan nikmat. Bibirnya sibuk mengecupi leher polos perempuan yang kini melekat pada dada lelaki itu.Rasa ingin tahu Celine membuatnya mendongakkan kepala sedikit. Mungkin inilah definisi mengintip sesungguhnya. Sepasang matanya kembali dikejutkan dengan Barra yang sedang melumat bibir gadis muda di hadapannya.Aduhhh, bagaimana ini kala
***Situasi lalu lintas tidak terlalu ramai pada Minggu petang seperti ini. Mobil Barra membelah jalanan utama dengan kecepatan cahaya. Entah apa yang membuatnya mendadak khawatir seperti ini.Drtt! Ponselnya kembali bergetar. Nama ayahnya tertera di nada panggil. Barra meraih headset dan menekan tombol jawab.“Ayah.”“Barra, kami sedang menuju IGD. Lola kini menggigil dan panasnya sudah lebih dari 40 derajat, kami khawatir. Rumah sakit Saint Vincent.”“Baik, aku menyusul kesana nanti. Ada yang harus aku lakukan dulu.”“Jangan lama-lama ya.” Ayah Barra berkata dengan cepat.
*** Celine tertidur di samping Lola sambil memegangi tangan kecil itu. Sisi wajah kanannya ia rebahkan di ranjang dengan posisi duduk yang tidak nyaman karena ketiduran dengan tidak sengaja. Matanya mengerjap dan melihat Lola yang terlelap. Tadi subuh anak kecil itu sempat bangun dan meminta air minum padanya. Celine melihat secercah riang dari tubuh mungil yang sedang meringis menahan sakit itu. “Queen Celine,” begitu Lola memanggilnya, “Perut Lola sakit lagi.” Celine menghubungi perawat dan mereka memberi penahan sakit ringan yang aman untuk anak kecil. Meski tidak bisa melenyapkan rasa sakit di perut Lola, setidaknya gadis itu dapat kembali beristirahat agar tidak kekurangan cairan. Ia memandang jam tangan kecil denga
*** Celine seolah menikmati waktunya mengurus Lola. Sama seperti saat ini, ia dengan telaten menyuapi bubur cair yang sudah disiapkan perawat untuk menu makan malam. Meski sepanjang hari tadi ia hanya baru sempat mengunyah bagel daging asap yang dibawakan Barra. Namun, setidaknya hatinya cukup lega melihat kondisi Lola yang jauh lebih baik. Keluhan perutnya sudah tidak ada dan suhu tubuh Lola juga sudah kembali normal. Celine bahkan sempat berbincang dengan dokter yang bertugas melakukan tindakan operasi pada Lola. Beberapa hari kedepan, Lola masih harus menginap di rumah sakit. Melihat ibu Barra yang mulai pucat karena penyakit yang dideritanya, Celine meminta mereka agar pulang untuk beristirahat dan mempercayakan Lola padanya hingga Barra kembali dari urusan pekerjaannya.
*** [Keesokan paginya.] “Celine, kau yakin tidak mau pulang? Sudah tiga hari kau mendadak pindah rumah dan menjadikan kamar rawat ini menjadi kamarmu sendiri?” Barra bertanya setelah membereskan alat makan siang mereka. Celine mengangkat bahu. “Lola, hanya butuh teman.” Ia lalu memalingkan wajah pada gadis kecil yang saat ini sedang fokus menonton Spongebob squarepants di televisi. Rona wajah Lola sudah kembali bersemu ceria. Suhu tubuh dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hasil operasi usus buntu menandakan hal positif. Sejak kedatangannya yang dramatis itu pula, Barra juga tidak pulang kerumah. Ayah Barra tadi pagi sempat mengunjungi dan membawakan peralatan mandi
*** Setelah pamit dan berpelukan dengan Lola yang digendong Barra di lobby rumah sakit, malam itu Celine memutuskan pulang dengan dijemput supir pribadinya. Badannya lelah tidak terkira. Ngilu di pergelangan kakinya juga berdenyut. Celine meraih pereda sakit dan meminumnya. Ia sudah kembali di kamar tidurnya yang nyaman. Rumah berlantai dua dengan pemandangan belakang menuju Danau Wallis peninggalan mendiang Alaric adalah salah satu yang sulit dilepaskannya. Terlalu banyak kenangan yang pernah dipupuk bersama mendiang suaminya. ‘Tentang bagaimana mereka akan membesarkan tiga atau empat anak mereka sambil bermain di hamparan rumput hijau halaman rumah. Tentang bagaimana Alaric berjanji akan membuatkan rumah pohon
*** ‘Jangan sampai lelaki ini berpikir bahwa dirinya sengaja menunggu kedatangannya. Si*al!’ Celine mengutuk kedatangan Barra seolah ia lupa bahwa rumah yang sedang dikunjunginya adalah rumah orang tua Barra. “Celine.” Theo menyapa Celine dan menganggukan kepalanya. “Om.” “Sayang, kau sudah mengundang Celine untuk acara berlayar besok?” Theo bertanya pada istrinya. Lenna mengangguk. “Sudah. Tapi, Celine sendiri masih bimbang. Mungkin kalau Barra yang mengajaknya, ia akan berubah pikiran.” Barra merasa terpojok dengan pernyataan ibunya sendiri. ‘Bah, siapa pula yang mau meng