Share

06. Lamunan Masa Lalu

***

“Ayah.” Lola berkata pelan sambil menyandarkan punggungnya di car seat bangku penumpang.

“Uhm.” Barra menjawabnya dengan ogah-ogahan. Isi kepalanya masih sibuk bersama bayangan Celine tadi di cafe.

“Ayah, terima kasih sudah mengajak Lola jalan-jalan hari ini. Bertemu Queen.”

“Queen?” Barra kini terlihat antusias dengan hal yang baru disampaikan Lola.

“Iya, Queen Celine. Ayah tahu tidak, Tante itu Putri juga loh.”

“Oh ya?” Barra bertanya balik pada putri semata wayangnya.

“Apa Ayah dulu sempat main ke kerajaan Queen di Hungaria?”

“Uhm.” Barra tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Lola dan imajinasi kecilnya. Ia tidak pernah membayangkan akan mengurus seorang anak sendiri.  Ia memilih diam ketika Lola menceritakan kembali apa yang sudah dilakukannya bersama Celine sambil menunggu Barra menyelesaikan rapatnya.

Apa kini, ia perlu mencari pengganti Aimee? Tapi, untuk apa? Semua kebutuhan biologisnya dipenuhi dengan mudah. Barra tinggal menekan nomor teman wanitanya dan mereka akan dengan sukarela menghampirinya tanpa pamrih. 

“Lola sayang Ayah.” Lola mengakhiri kisah dongeng yang diceritakan Celine dengan ucapan sayang pada ayahnya.

Barra menoleh pada putrinya yang kini terlelap di Car Seat yang dipasangnya di kursi penumpang. Ia menekan pengeras suara yang melantunkan musik santai untuk menemaninya menyetir di tengah kemacetan akhir pekan. 

Lamunannya kembali jatuh pada sosok Celine yang cukup mengalami perubahan fisik yang menonjol.

Rambut hitamnya tergerai indah bergelombang dan membingkai wajah mulus berbentuk hati. Bibirnya yang terlihat ranum seolah menggoda Barra untuk terus mengajaknya berbincang. Dress linen setali berwarna hijau pucuk yang digunakan Celine sangat cocok dengan kulitnya yang kini kecoklatan secara natural. Apa beberapa tahun terakhir, Celine menghabiskan banyak waktu di area pinggir pantai sambil berjemur sesuka hati?

Citttt! Barra menginjak rem dengan mendadak karena tidak sadar mobil di hadapannya juga berhenti. Hatinya bergejolak untuk menghentikan segala bentuk imajinasi tentang Celine Artha Wiradi Kusuma. Tentu saja, Barra tidak boleh lupa bahwa Celine masih milik mendiang suaminya, Alaric Kusuma.

***

“Oma! Opa! Lola kangeeeeeeen!” Putrinya berlarian memasuki pintu masuk rumah utama untuk mengejar kedua orang tua Barra.

Barra tersenyum kecil. Untuk apa mencari pengganti ibu untuk Lola, jika kedua orang tuanya sudah cukup bahagia direpotkan oleh kehadiran cucu pertama di keluarga mereka? Bahkan, orang tuanya selalu menawarkan agar Lola pindah saja ke rumah mereka dan diurus oleh ibunya. Ide yang selalu ditentang Barra karena tidak mau merepotkan, meski orang tuanya adalah sepasang lansia yang secara fisik terlihat bugar di kelompok usianya.

Mendengar cicit putrinya dari dapur mengenai kegiatannya hari ini, Barra tidak ambil pusing dan memilih merebahkan diri di kursi panjang yang terletak di ruang keluarga. Tidak terasa matanya yang berat membuatnya terlelap dan membawa secuil potret Celine dalam lelapnya.

***

“Makan malam sudah siap.” Terdengar suara ibunya berteriak dari lorong ruang meja makan.

Barra mengerjapkan mata dan meluruskan tubuhnya diatas sofa yang terbatas. Tidak terdengar gema suara kecil Lola di sudut manapun. Mungkin putrinya sudah tertidur karena kelelahan? Ia beranjak pelan menuju meja makan karena perutnya juga sudah meminta jatah makan malam.

Ayahnya sudah duduk manis di ujung meja makan, singgasana dimana ia akan selalu bertahta ketika menikmati santapan buatan istrinya. Ibunya sedang memberi instruksi pada asisten rumah tangga mereka agar tidak lupa membawa sisa menu makan malam ke atas meja.  Mereka duduk menikmati makan malam bertiga.

“Lola mana, Maa?”

“Lola makan malam duluan, mandi dan berpiyama. Hari ini katanya lelah sekali. Mungkin sudah lelap di kamarnya,” jelas ibunya sambil menyendok bistik ke atas piringnya, “Barra, tambah lagi bistik kesukaanmu.” 

Barra mengangguk dan melahap masakan rumah dengan setengah hati. Pikirannya mendadak kacau setelah pertemuannya dengan Celine tadi siang. Selama lima tahun terakhir, ia sudah menyiapkan pidato yang akan disampaikan pada perempuan itu sebagai bentuk rasa bersalahnya selama ini. Mereka bahkan belum pernah membahas kejadian kecelakaan itu sama sekali. 

Kenapa mulutnya mendadak kelu di hadapan Celine? Mana rasa percaya dirinya selama ini? Bukankah ia sudah mempersiapkan diri agar tidak rapuh di hadapan Celine? Barra mengunyah potongan bistik seolah karet gelang yang liat.

“Barra, sudah waktunya kau membuka diri untuk mengurusmu.”

“Aku bisa mengurus diriku sendiri, Paa.”

“Kalau begitu, untuk menemanimu membesarkan Lola. Sepuluh tahun lagi, gadis kecil itu akan menjadi remaja. Mengurus remaja membutuhkan lebih banyak perhatian dibanding bayi kecil.” Paa menasehati Barra dengan santai.

“Lola bisa mengurus dirinya sendiri nanti. Anak itu tidak terlalu merepotkan,” puji Barra tentang kemandirian Lola yang tidak pernah ditunjukkannya selama ini.

“Paa bukan berkata Lola tidak mandiri, Barra. Kami hanya peduli padamu dan Lola.” Ibunya kini satu suara dengan ayahnya.

Barra tidak membantah ucapan ibunya. Kehadiran seseorang memang akan menghangatkan rumahnya yang sepi sentuhan perempuan. Tapi, dimana ia akan mencari perempuan yang sesuai dengan kriterianya? Ia tidak akan menyerahkan perjalanan cintanya pada nasib dan berharap semua akan berakhir bahagia seperti saat ia menikahi Aimee. Barra berjanji pada dirinya sendiri.***

Add this book to your library! Love and Vote!

IG: TabiCarra10

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status