Share

Bab 2

Hari sudah siang. Matahari bahkan mulai tergelincir ke barat. Suasana toko komputer tempatku bekerja sedang penuh pelanggan.

"Bu, nggak jadi keluar makan siang?"

"Aduh, saya mau sebenarnya, tapi kalian bisa nggak? Repot nggak? Banyak pelanggan. Anak-anak marketing takut ketereran."

"Udah, nggak apa-apa. Teman-teman bisa. Ibu pergi aja nggak apa-apa, beneran."

Atikah lagi-lagi menjadi penolong kali ini.

"Saya titip toko, ya, Tik. Tengkyu banget." Kutepuk pelan pundaknya yang berseragam hitam itu. Kemudian, aku menuju ruang admin untuk berpamitan. Di sana, kubilang kepada gadis berkerudung yang sedang mengetik di laptop itu bahwa aku ingin pergi untuk makan siang.

"Ya, Bu. Silakan. Saya jamin uang aman."

Ada senyum yang tercipta di bibir itu.

"Oke."

Kuambil kunci mobil dinas yang diberikan perusahaan sebagai fasilitas.

"Mau ke mana, Bu? Makan siang?" Salah satu anak marketing menyapaku.

Aku menjawabnya dengan mengangguk.

"Hati-hati, Bu. Kalau ada apa-apa telepon aja. Nanti saya yang tolongin, Bu."

Anak marketing lain ikut menimpali.

Mereka memang cowok-cowok yang rajin sekali meledekku. Tampang mereka rata-rata good looking. Ya, maklum saja, bekerja di bagian pemasaran memang kadang dituntut cakap bukan hanya dalam sikap, tetapi juga penampilan. Aku pun begitu. Aku yang sebenarnya malas bersolek, kini mau tidak mau harus berdandan.

"Mau ke mana, May? Buru-buru amat." Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata Aldi. Dia adalah rekan baikku, meski kamu bekerja kepada orang yang berbeda. Setidaknya kami tidak bermusuhan.

Aku hanya tersenyum. Bukan bermaksud sombong, tetapi aku takut Lukman sudah menunggu. Benar saja, derinh ponsel terdengar.

"Ya, Bang. Ini aku baru mau keluar parkiran." Padahal aku baru sampai parkiran.

Sayangnya aku tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Bisa-bisa kupingku pengang mendengar omelannya. Dia sering banget mengataiku tidak tepat waktu.

"Jangan pakai lama, dong, Sayang!"

Benar saja. Sudah sedikit berbohong pun, masih kena omel. Dasar laki-laki! Untung sayang. Kalau tidak, sudah kubalas dia.

Mobil kulajukan perlahan menuju jalur keluar. Membayar ongkos parkir, kemudian tancap gas. Bukan sok atau apa, aku hanya ingin lekas sampai.

Sekian menit berkendara, sampailah aku di depan gerbang indekos. Ada sebuah mobil yang sangat kukenal tampak. Seseorang keluar dari dalamnya.

Ia mengenakan kemeja putih, seperti biasa.

"Bang," panggilku dengan sayang saat tubuh itu mendekat. Tangannya terentang. Aku menjatuhkan diri ke sana. Menghirup aroma maskulin itu.

Bau keringat samar bercampur segarnya citrus menguar sempurna. Meresap ke hidung, menuju otak. Dicerna secara sempurna.

"Kangen."

"Aku juga, Bang. Masuk, yuk! Kangen banget."

Kami melepaskan pelukan untuk masuk.

"Sini aku parkirin mobil kamu di dalam!"

"Nih!"

"Kamu masuk duluan! Mobilku biar di sana," katanya mantap. Tatapannya itu sungguh membuatku tak sabar.

Dia mengambil alih mobilku untuk diparkirkan di dalam area indekos. Sedangkan, mobil miliknya terparkir di tanah lapang tak jauh dari tempat tinggalku itu. Seperti biasanya.

"Kita makan apa siang ini, Bang?"

"Nasi padang sambal ijo. Kamu suka, 'kan?" Astaga, dia benar-benar seperti orang kecanduan. Iya aku tahu dia orang Sumatera yang sangat menyukai makanan itu. Akan tetapi, bukan berarti harus mengongsumsinya setiap hari, 'kan?

"Apa nggak ada menu lain, Bang?"

"Kamu suka, 'kan? Kalau suka nggak usah nolak." Begitu jawabannya yang membuatku seketika hilang selera makan.  Memang, sambal hijau aku suka sekali. Tapi, bukankah sesuatu yang berlebihan itu tidak baik?

"Aku suka, tapi ini udah berlebihan, Bang."

Aku cemberut. Tapi, tetap saja aku ke dapur untuk mengambil piring dan sendok. Tidak lupa menyeduh teh.

"Kalau suka, setiap hari pun nggak masalah."

Aku yang telanjur sebal hanya diam.

Kami mulai makan tanpa banyak bicara.

"Aku nggak bisa lama-lama, Bang."

Dia yang belum selesai makan tercekat.

Aku yang sudah selesai lebih dulu, segera menyeruput teh hangat. Menikmati aromanya dan merasakan kenyang di dalam perut. Sedangkan, mataku masih terus tertuju kepada lelaki yang duduk di hadapanku.

"Kamu nggak kangen sama Abang, hmmm?"

"Nggak."

Kangen sebenarnya, tetapi malas jadinya.

"Kok, gitu? Ngambek gara-gara nasi padang?" Iya, dia sepeka itu memang. Aku memajukan bibir, berharap mendapat rayuan.

"Ya abisnya Abang ngeselin banget."

Aku makin memajukan bibir.

"Ngeselin kenapa?" Dia sudah selesai makan. Teh di dahadapannya ditandaskan.

"Abang itu sebenarnya kenapa nggak pernah ajak aku makan menu lain gitu?"

Dia tersenyum. Duh, manis sekali. Kalau sudah begini, ambekanku luntur. Tidak bisa dibiarkan. Ini berbahaya. Bisa-bisa dia besok-besok begitu lagi. Aku bosan. Sumpah! Aku ingin juga seperti yang lain.

"Kamu tahu, bagiku, apabila sesuatu itu menyenangkan, membuatku nyaman, atau apa saja yang cocok di hati, maka nggak masalah kalau setiap hari aku menikmatinya. Paham?" Apa coba?

"Nggak!"

"Contohnya kamu. Aku sayang sama kamu. Aku mau setiap hatmri kita ketemu."

"Bohong!"

Dia berdecak. Mungkin kesal karena aku dianggapnya susah diajak kompromi. Atau ada sebab lain, aku tidak tahu.

"Buat apa aku bohong? Ini aja aku curi waktu. Demi apa? Demi ketemu kamu."

"Nikah aja kalau gitu. Beres. Gimana?"

"Nikah?"

Ada semburat merah di wajahnya.

"Kalau diajak nikah takut artinya bohong."

"Siapa yang takut? Aku cuma belum siap." Suaranya sedikit gelagapan. Benar dugaanku, dia memang berbohong. Dasar laki-laki!

"Nggak usah nyangkal. Aku paham, kok. Aku bukan siapa-siapa buat Abang."

"Bukan begitu. Tolong jangan salah paham!" Dia mencoba meraih tanganku.

"Udah, Bang! Aku mau balik ke toko. Rame."

"May...!"

Kalau sudah memanggil nama begitu, biasanya akan panjang. Aku malas. Benar-benar sedang malas mendengar ceramah.

Segera kurapikan piring.

"Bang, kerjaanku banyak. Tolong mengerti! Aku nggak lagi santai sekarang."

"Sebentar saja. Masa kamu tega? Bentar!"

"Ngapain?"

Dia mengekor saat aku menuju tempat pencucian piring. Saat piring, sendok, dan gelas itu pindah dari tangan, badannya menubrukku dari belakang. Hal itu sebenarnya sering.

"Aku kangen. Bentar aja, yuk!" Suaranya menggugah gairah lain dalam tubuh ini. Sedangkan, tangannya bahkan sudah tak lagi terkendali.

Sungguh, jika sudah seperti ini, makan amarah sebesar apa pun luntur.

"Bang, aku hanya butuh kepastian itu."

Lagi-lagi, aku mencoba mengutarakan apa yang mengganjal. Ingin dinikahi oleh pria yang kucintai. Dia yang saat ini sedang mencoba menerbangkan anganku ke awang-awang. Indah.

"Kita pasti menikah, Sayang. Segera. Ya?"

"Janji?"

Dia mengangguk. Kumis kasar yang sepertinya baru tumbuh itu menggesek leher, menimbulkan sensasi melayang. Lalu, kami pun terbang bersama. Mengepak dengan gairah. Mendaki awan. Indah.

Hanya indah. Semuanya indah. Hingga, tak ada lagi kalimat yang mampu untuk melukiskannya.

Hanya detak jantung dan debu napas kami yang mampu mengungkapkannya. Tak ada lagi yang lain. Sebab, kami hanya ingin menikmati kehangatan ini. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status