Hari sudah siang. Matahari bahkan mulai tergelincir ke barat. Suasana toko komputer tempatku bekerja sedang penuh pelanggan.
"Bu, nggak jadi keluar makan siang?"
"Aduh, saya mau sebenarnya, tapi kalian bisa nggak? Repot nggak? Banyak pelanggan. Anak-anak marketing takut ketereran."
"Udah, nggak apa-apa. Teman-teman bisa. Ibu pergi aja nggak apa-apa, beneran."
Atikah lagi-lagi menjadi penolong kali ini.
"Saya titip toko, ya, Tik. Tengkyu banget." Kutepuk pelan pundaknya yang berseragam hitam itu. Kemudian, aku menuju ruang admin untuk berpamitan. Di sana, kubilang kepada gadis berkerudung yang sedang mengetik di laptop itu bahwa aku ingin pergi untuk makan siang.
"Ya, Bu. Silakan. Saya jamin uang aman."
Ada senyum yang tercipta di bibir itu.
"Oke."
Kuambil kunci mobil dinas yang diberikan perusahaan sebagai fasilitas.
"Mau ke mana, Bu? Makan siang?" Salah satu anak marketing menyapaku.
Aku menjawabnya dengan mengangguk.
"Hati-hati, Bu. Kalau ada apa-apa telepon aja. Nanti saya yang tolongin, Bu."
Anak marketing lain ikut menimpali.
Mereka memang cowok-cowok yang rajin sekali meledekku. Tampang mereka rata-rata good looking. Ya, maklum saja, bekerja di bagian pemasaran memang kadang dituntut cakap bukan hanya dalam sikap, tetapi juga penampilan. Aku pun begitu. Aku yang sebenarnya malas bersolek, kini mau tidak mau harus berdandan.
"Mau ke mana, May? Buru-buru amat." Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata Aldi. Dia adalah rekan baikku, meski kamu bekerja kepada orang yang berbeda. Setidaknya kami tidak bermusuhan.
Aku hanya tersenyum. Bukan bermaksud sombong, tetapi aku takut Lukman sudah menunggu. Benar saja, derinh ponsel terdengar.
"Ya, Bang. Ini aku baru mau keluar parkiran." Padahal aku baru sampai parkiran.
Sayangnya aku tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Bisa-bisa kupingku pengang mendengar omelannya. Dia sering banget mengataiku tidak tepat waktu.
"Jangan pakai lama, dong, Sayang!"
Benar saja. Sudah sedikit berbohong pun, masih kena omel. Dasar laki-laki! Untung sayang. Kalau tidak, sudah kubalas dia.
Mobil kulajukan perlahan menuju jalur keluar. Membayar ongkos parkir, kemudian tancap gas. Bukan sok atau apa, aku hanya ingin lekas sampai.
Sekian menit berkendara, sampailah aku di depan gerbang indekos. Ada sebuah mobil yang sangat kukenal tampak. Seseorang keluar dari dalamnya.
Ia mengenakan kemeja putih, seperti biasa.
"Bang," panggilku dengan sayang saat tubuh itu mendekat. Tangannya terentang. Aku menjatuhkan diri ke sana. Menghirup aroma maskulin itu.
Bau keringat samar bercampur segarnya citrus menguar sempurna. Meresap ke hidung, menuju otak. Dicerna secara sempurna.
"Kangen."
"Aku juga, Bang. Masuk, yuk! Kangen banget."
Kami melepaskan pelukan untuk masuk.
"Sini aku parkirin mobil kamu di dalam!"
"Nih!"
"Kamu masuk duluan! Mobilku biar di sana," katanya mantap. Tatapannya itu sungguh membuatku tak sabar.
Dia mengambil alih mobilku untuk diparkirkan di dalam area indekos. Sedangkan, mobil miliknya terparkir di tanah lapang tak jauh dari tempat tinggalku itu. Seperti biasanya.
"Kita makan apa siang ini, Bang?"
"Nasi padang sambal ijo. Kamu suka, 'kan?" Astaga, dia benar-benar seperti orang kecanduan. Iya aku tahu dia orang Sumatera yang sangat menyukai makanan itu. Akan tetapi, bukan berarti harus mengongsumsinya setiap hari, 'kan?
"Apa nggak ada menu lain, Bang?"
"Kamu suka, 'kan? Kalau suka nggak usah nolak." Begitu jawabannya yang membuatku seketika hilang selera makan. Memang, sambal hijau aku suka sekali. Tapi, bukankah sesuatu yang berlebihan itu tidak baik?
"Aku suka, tapi ini udah berlebihan, Bang."
Aku cemberut. Tapi, tetap saja aku ke dapur untuk mengambil piring dan sendok. Tidak lupa menyeduh teh.
"Kalau suka, setiap hari pun nggak masalah."
Aku yang telanjur sebal hanya diam.
Kami mulai makan tanpa banyak bicara.
"Aku nggak bisa lama-lama, Bang."
Dia yang belum selesai makan tercekat.
Aku yang sudah selesai lebih dulu, segera menyeruput teh hangat. Menikmati aromanya dan merasakan kenyang di dalam perut. Sedangkan, mataku masih terus tertuju kepada lelaki yang duduk di hadapanku.
"Kamu nggak kangen sama Abang, hmmm?"
"Nggak."
Kangen sebenarnya, tetapi malas jadinya.
"Kok, gitu? Ngambek gara-gara nasi padang?" Iya, dia sepeka itu memang. Aku memajukan bibir, berharap mendapat rayuan.
"Ya abisnya Abang ngeselin banget."
Aku makin memajukan bibir.
"Ngeselin kenapa?" Dia sudah selesai makan. Teh di dahadapannya ditandaskan.
"Abang itu sebenarnya kenapa nggak pernah ajak aku makan menu lain gitu?"
Dia tersenyum. Duh, manis sekali. Kalau sudah begini, ambekanku luntur. Tidak bisa dibiarkan. Ini berbahaya. Bisa-bisa dia besok-besok begitu lagi. Aku bosan. Sumpah! Aku ingin juga seperti yang lain.
"Kamu tahu, bagiku, apabila sesuatu itu menyenangkan, membuatku nyaman, atau apa saja yang cocok di hati, maka nggak masalah kalau setiap hari aku menikmatinya. Paham?" Apa coba?
"Nggak!"
"Contohnya kamu. Aku sayang sama kamu. Aku mau setiap hatmri kita ketemu."
"Bohong!"
Dia berdecak. Mungkin kesal karena aku dianggapnya susah diajak kompromi. Atau ada sebab lain, aku tidak tahu.
"Buat apa aku bohong? Ini aja aku curi waktu. Demi apa? Demi ketemu kamu."
"Nikah aja kalau gitu. Beres. Gimana?"
"Nikah?"
Ada semburat merah di wajahnya.
"Kalau diajak nikah takut artinya bohong."
"Siapa yang takut? Aku cuma belum siap." Suaranya sedikit gelagapan. Benar dugaanku, dia memang berbohong. Dasar laki-laki!
"Nggak usah nyangkal. Aku paham, kok. Aku bukan siapa-siapa buat Abang."
"Bukan begitu. Tolong jangan salah paham!" Dia mencoba meraih tanganku.
"Udah, Bang! Aku mau balik ke toko. Rame."
"May...!"
Kalau sudah memanggil nama begitu, biasanya akan panjang. Aku malas. Benar-benar sedang malas mendengar ceramah.
Segera kurapikan piring.
"Bang, kerjaanku banyak. Tolong mengerti! Aku nggak lagi santai sekarang."
"Sebentar saja. Masa kamu tega? Bentar!"
"Ngapain?"
Dia mengekor saat aku menuju tempat pencucian piring. Saat piring, sendok, dan gelas itu pindah dari tangan, badannya menubrukku dari belakang. Hal itu sebenarnya sering.
"Aku kangen. Bentar aja, yuk!" Suaranya menggugah gairah lain dalam tubuh ini. Sedangkan, tangannya bahkan sudah tak lagi terkendali.
Sungguh, jika sudah seperti ini, makan amarah sebesar apa pun luntur.
"Bang, aku hanya butuh kepastian itu."
Lagi-lagi, aku mencoba mengutarakan apa yang mengganjal. Ingin dinikahi oleh pria yang kucintai. Dia yang saat ini sedang mencoba menerbangkan anganku ke awang-awang. Indah.
"Kita pasti menikah, Sayang. Segera. Ya?"
"Janji?"
Dia mengangguk. Kumis kasar yang sepertinya baru tumbuh itu menggesek leher, menimbulkan sensasi melayang. Lalu, kami pun terbang bersama. Mengepak dengan gairah. Mendaki awan. Indah.
Hanya indah. Semuanya indah. Hingga, tak ada lagi kalimat yang mampu untuk melukiskannya.
Hanya detak jantung dan debu napas kami yang mampu mengungkapkannya. Tak ada lagi yang lain. Sebab, kami hanya ingin menikmati kehangatan ini.
Aku masih berkutat dengan laporan dari seluruh admin toko yang kupegang."Bu, saya duluan, ya. Udah malam." Sasti, admin toko Computer Shop—toko terbesar di Techno Group—pamit.Aku mengangguk dan melambaikan tangan."Hati-hati!""Ya, Bu. Ibu juga hati-hati, udah sepi." Sasti berkata sambil terkikik. Dia memang senang menakutiku dengan cara seperti itu."Kamu aja kalau pacaran nyari yang sepi."Dia tertawa lagi. Kemudian, ia melambaikan tangan dan keluar ruangan. Sekarang, aku sudah benar-benar sendiri.Hening.Detak jarum jam di dinding terdengar jelas.Kupingku bahkan mulai mendengar langkah."May, belum pulang? Udah sepi. Pulang!""Astaga, Aldi, kirain siapa, bikin kaget aja."Aku melempar gumpalan kertas sisa fotokopi identitas pelanggan yang memakai kartu kredit. Tepat kena jidatn
Pak Agus memanggilku ke kantor pusat.Demi nama baik toko, karyawan, dan juga namaku, akhirnya kuputuskan untuk mengganti uang kekurangan setoran. Hanya 200 ribu rupiah memang. Semoga ke depannya tidak ada lagi kejadian semacam ini."May, itu kenapa bisa ada kehilangan uang?"Pak Agus mulai menginterogasiku.Jujur saja aku bingung menjawabnya."Adminku itu biasanya nggak gini, Pak."Jangan kaget kalau kugunakan sebutan 'aku' saat berbicara dengan kepala bagian keuangan ini. Ya, hubunganku dan dia sangat baik. Saking baik dan dekatnya, jarang terdengar 'saya', alih-alih 'aku' di hampir seluruh pembicaraanku dengannya. Kecuali, di rapat resmi."Ya, terus ini salah siapa? Uang setoran kurang. Nggak mungkin kebetulan."Aku memikirkan hal yang sama. Akan tetapi, mungkin berbeda tersangka. Jujur saja aku justru curiga kepada petugas yang mengambil setor
What would I do without your smart mouthDrawing me in, and you kicking me outGot my head spinning, no kidding, I can't pin you downWhat's going on in that beautiful mindI'm on your magical mystery rideAnd I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alrightMy head's underwaterBut I'm breathing fineYou're crazy and I'm out of my mindCause all of meLoves all of youLove your curves and all your edgesAll your perfect imperfectionsGive your all to meI'll give my all to youYou're my end and my beginningEven when I lose I'm winningHow many times do I have to tell youEven when you're crying you're beautiful tooThe world is beating you down, I'm around through every
Jam pulang kerja memang aku selalu terakhir."May, pulang, yuk, udah malam, nih!""Duluan aja, Al, aku masih lama kayaknya.""Kamu kenapa, sih, selalu forsir tenaga begitu? Sayang badan kenapa?" Aldi memulai ceramahnya."Julid banget, sih, Al. Aku udah biasa." Aku butuh uang, jadi wajar saja memforsir tenaga untuk mendapatkannya. Ya, selama aku mampu.Aldi yang sedari tadi duduk di salah satu kursi tamu, di ruang depan terlihat mengeluarkan ponsel. Dia sepertinya mulai asyik dengan benda itu. Bahkan, kakinya diselonjorkan di atas meja."Aku tunggu di sini sampai kamu selesai.""Nggak usah. Aku bisa sendiri. Lagian kamu kayak nggak punya kerjaan aja, sih.""Jam kerjaku udah selesai setengah jam lalu, May! Hidup itu dinikmati. Sekali-kali."Aku memajukan bibir menanggapi pembicaraannya."Ya udah, pulang, yuk
Hari ini memang jadwalku libur."May, aku di depan, buka pintu donk!"Suara itu tidak asing di telingaku.Aku yang baru saja mandi bergegas mengambil handuk dan melilitkannya ke badan. Mengintip sebentar lewat balik gorden, memastikan pendengarku tidak salah. Benar saja, dia di sana.Bukan langsung membuka pintu, aku justru tergesa memakai pakaian sekenanya.Sebuah gaun katun motif bunga berwarna cerah melekat di tubuhku. Kuhampiri pintu dan membukanya. Dia masih di sana. Menatapku dengan tatapan yang entah. Aku mempersilakannya masuk."Kamu masih marah sama aku, May?" tanyanya."Marah atau nggak bukannya nggak penting?""Kenapa gitu, sih, May? Cuma hal sepele." Dia menatapku intens. Mungkin kecewa atau apa, aku kurang peduli."Udahlah nggak penting juga dibahas.""Nggak penting gimana? Kamu marah." Dia ta
Siang ini suasana toko kembali sepi. Anak-anak marketing beberapa ada yang menyebar brosur di pinggir jalan raya yang dari tempatku duduk dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan, aku menyibukkan diri dengan laporan harian. Mengecek lapran stok di seluruh toko, agar dapat memantau ketersediaan barang.Baru saja beberapa menit mulai, aku dikejutkan oleh telepon dari Pak Agus."May, gimana hasil pemeriksaan CCTV tokomu?""Astaga, Pak! Mohon maaf banget, aku malah lupa ngecek. Ya ampun aku pikun."Ada desahan berat yang kudengar dari Pak Agus di seberang sana. Aku jadi merasa bersalah. Padahal sebenarnya itu aku yang berkepentingan."Ya udah kalau kamu udah nggak perlu nggak usah. Yang penting sekarang udah nggak ada kehilangan lagi," katanya kemudian. Akan tetapi, aku justru jadi penasaran. Segera kudekati monitor yang tersambung ke perangkat CCTV, kemudian mengecek rekaman di tanggal
Jam tutup toko sudah berlalu setengah jam lalu. Akan tetapi, aku masih berdiam diri di dalam ruangan kaca ini. Mengecek rekaman CCTV."May, pulang, yuk! Udah malam, nih, May."Aku terlonjak saat suara itu tiba-tiba menyusup telinga. Suara yang sangat kukenal. Apalagi, akhir-akhir ini dia sering sekali menggangguku."Aldi suka ngagetin mulu, nih, sebel, tau!"Aku merajuk dan melemparkan kertas bekas nota yang tadi kuremas-remas tanpa sengaja saat mengecek rekaman CCTV toko. Kena. Sukurin! Dia memang kebiasaan menyelonong begitu saja tanpa rasa bersalah. Ditegur pun tidak mempan. Malah seolah-olah tidak mendengar apa yang kuutarakan. Bahkan, berkali-kali kepalanya terkena lemparan kertas yang berukuran sebesar bola kasti. Tetap saja dia tak mengacuhkan."Lagi ngecek apaan, sih, serius amat, May?""Aku lagi pengen tau kerja anak-anak aja."
Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn