Rambut pendekku masih basah, handuk pun belum berganti piyama saat dering ponselku terus menerus mengalunkan lagu All of Me. Berulang. Tampang pria berkemeja putih dengan rambut cepak berwarna hitam pekat terpampang di layarnya.
"Udah sampai, Bang?" tanyaku sambil menyisir.
Suara lembutnya menyambutku ceria.
"Sudah, Sayang. Baru aja. Ini masih antre bagasi," jawabnya dengan semangat.
Laki-laki itu memang sangat pengertian.
"Kangen."
"Besok Abang ke sana, jam makan siang."
Kalau sudah mendengar janji itu, hatiku langsung berdebar-debar. Terbayang akan wajah tampannya yang selalu membuaiku dengan senyum. Kata-kata lembutnya yang menenangkan. Semua itu benar-benar membuat hatiku luluh. Tidak ada bagian di dalamnya yang aman dari virus cintanya. Semuanya terjangkit.
"Oke."
"Emuach!"
Selalu seperti itu. Kadang, telingaku terasa memanas, bahkan bulu roma di tubuh ini berdiri seketika. Merinding. Bukan, itu bukan horor.
Keromantisannya yang membuatku merinding.
Otak ini selalu menjadi penuh akan dirinya.
"Nakal!" teriakku sambil menggigit bibir.
Dadaku sungguh tidak kuat menahan laju jantung yang seolah-olah mendadak liar. Liar karena mendengar suaranya yang basah. Dia benar-benar seperti candu bagiku.
Di ranjang kamar ini, aku terduduk masih dengan handuk putih sebatas dada sampai paha. Memandang lurus ke arah cermin besar di ruangan itu. Memainkan imaji yang semakin liar.
"Tapi suka, 'kan?" ledek suara itu lagi.
"Nggak... salah lagi!" Tawa kami berderai. Bahkan, sudut mataku meleleh.
"I love you... I miss you... all day long, Honey."
"I miss you too, Abang. Aku sungguh-sungguh merindukanmu. Rindu... setengah mati." Hening. Ada kehampaan yang tiba-tiba menjeda.
Aku seperti ditampar dengan keras oleh kenyataan. Dengan sepenuh kesadaran, aku menyerahkan hati dan jiwaku kepadanya. Akan tetapi, ada saat-saat aku mulai ragu akan cintanya. Cinta yang bahkan hampir setiap hari diucapkannya. Setiap beberapa jam.
Kehampaan itu menyeruak bukan tanpa alasan. Kami berhubungan sudah cukup lama. Akan tetapi, tidak pernah sekali pun kami seperti pasangan lain. Kami hanya menikmati kebersamaan di area tempat tinggal. Kadang di tempatnya, lebih sering di indekosku.
Menjadi anak rantau, kami sama-sama menyewa tempat tinggal. Bedanya, aku menyewa satu kamar indekos dengan fasilitas lengkap, sedangkan dia menyewa apartemen milik rekan bisnisnya. Apartemen tipe studio yang lumayan untuk dirinya yang simpel.
Ah, ya, kami kenal dalam sebuah pameran. Bukan, maksudku bukan pameran seni. Kami bahkan sama-sama buta akan seni.
"Jangan berlebihan seperti itu," katanya.
Astaga, bahkan aku seperti terkejut mendengarnya.
Tidak berlebihan katanya? Mana bisa aku tidak begitu berlebihan kalau dia sendiri membuat hal itu terjadi? Sungguh aneh.
"Abang memang pantas diberi lebih, kok."
Ada tawa di seberang sana. Tawa singkat yang disusul suara lain. Seperti suara benda beradu dengan lantai. Sekali, dua kali.
Mungkin dia sudah menemukan bagasinya.
"Udah dulu, ya, Sayang. Aku mau ke taksi." Sepertinya percakapan ini baru saja dimulai, tetapi ternyata harus terhenti.
Ya sudah, berhubung dia juga sepertinya repot, akhirnya aku mengiakan.
"Aku pergi sama teman-teman, ya, Sayang."
Aku pamit pergi ke kondangan bawahan.
Dia mengiakan. Dia cukup kenal dengan teman-teman dekatku dan juga beberapa bawahan. Di memang hangat ke semua orang.
***
"May, kamu Maya? Mayasari? Inget aku?"
"Hai, ini...." Sumpah aku kurang paham dia siapa. Ada bayangan wajah itu di masa lalu, tetapi samar.
Dia bergaun hitam dengan bahu putihnya yang terekspos sempurna membuat mata wanita lain melirik iri. Tak terkecuali denganku. Aku sangat ingin memiliki kulit seindah itu. Mulus, putih, dan bercahaya.
"Aku Lily. Masa lupa? Yang dulu pernah satu tim pas masih di Origlame."
Astaga!
"Ya, ampun, Bu! Mohon maaf, otak saya lemot. Maklum memori hampir penuh."
Ada tawa terdengar. Tawa seorang wanita yang meski terlihat anggun, tetapi tidak sungkan melebarkan mulut. Tawa dua orang yang akrab.
Kami berpelukan. Cium pipi kanan dan kiri. Saling memuji penampilan. Khas perempuan. Setelah itu, dia mengajakku ke sudut, tempat photo booth berada. Kami berfoto dengan dua pose berbeda.
"Btw, kita nggak beda jauh umumnya. Jangan panggil aku 'Bu'. Tua banget, astagaaa!"
"Ha ha ha, iya, maaf. Terus panggil apa?" tanyaku sungkan. Tidak enak jika salah lagi. Jadi, aku lebih baik bertanya langsung.
"Panggil Lily boleh, Jeng, boleh. Apa aja." Dia kali ini menyeretku ke kerumunan orang yang berbaris di tepi karpet merah.
"Panggil Cici, boleh?" tanyaku ragu.
Aku takut dia menganggapku rasis.
"Boleh," jawabnya sambil tersenyum.
"Oke, aku panggil Cici aja mulai sekarang."
Kami mengobrol lagi. Banyak. Dari tempat tinggal, perkejaan, sampai pasangan.
Aku bercerita tentang Lukman tentu saja.
Tidak, tidak semuanya kuceritakan.
Aku bukan tipe yang suka bercerita ke sembarang orang. Apalagi orang itu termasuk bukan teman dekat. Kepada teman dekat pun, aku menyaring.
Lampu ruangan itu mendadak mati.
Bukan, bukan pemadaman listrik dari pusat, melainkan acara malam itu akan segera dilakukan. Musik di sisi lain ruangan itu mulai diputar. Menggema.
"Eh, teman-teman kamu di mana tadi, May?"
Astaga, aku juga lupa tadi ke sini sama mereka. Mungkin sekarang mereka juga sudah lupa bahwa aku datang bersama mereka. Ini semua gara-gara wanita sipit di sampingku.
Dalam gelap, aku menoleh kanan-kiri.
"Mungkin di sebelah sana, Ci. Biar aja. Nanti juga ketemu lagi, kok, pasti." Aku masih berusaha menebar pandangan dalam gelap.
"Eh, sorry aku ke arah dekat pintu masuk dulu, ya. Suamiku terlambat. Dia barusan WA. Semoga nanti kita ketemu lagi."
"Iya, Ci. Nggak apa-apa. Silakan." Aku menyunggingkan senyum. Berharap perempuan itu melihatnya. Walau aku tidak yakin.
"Bye!"
***
"Bu, ngeliatin apa, sih? Kayak orang lihat setan, deh. Bu!" Atikah, salah satu bawahan yang cukup dekat denganku, mengoceh.
"Ah, eh, nggak, kok. Cuma lagi sedikit pusing." Siapa itu, kok, perawakannya mirip?
"Ya udah pulang duluan aja, yuk!" Dia mengajakku untuk meninggalkan acara. Padahal kepalaku sama sekali tidak pusing.
"Nggak usah. Nanti aja tunggu acara kelar." Aku hanya penasaran dengan sosok laki-laki yang baru saja pergi menuju toilet.
"Serius?"
"Ya."
Aku kembali menunggu sosok itu terlihat.
Akan tetapi, teman-temanku yang lain datang dengan beraneka makanan.
Piring mereka diisi penuh. Nasi, sayur, ayam, daging, semuanya. Aku geleng-geleng.
"Makan dulu, May! Keburu kehabisan." Sesama rekan kepala toko di Techno Grup, berisik menyuruhku mengambil makanan.
Mau tidak mau aku pergi juga.
Saat tanganku hampir menyentuh piring, sebuah suara menghentikannya.
"Ah, baik, Pak. Nanti saya cek ulang barangnya." Aku menoleh ke sumber suara.
Seorang laki-laki berkemeja putih tampak berada di belakang punggungku.
"May, ketemu lagi kita. Mau makan apa?" Ci Lily tersenyum semringah. Dia benar-benar cantik sempurna.
Aku yang tadi sedang mengawasi pria misterius, langsung mengalihkan perhatian.
Hari sudah siang. Matahari bahkan mulai tergelincir ke barat. Suasana toko komputer tempatku bekerja sedang penuh pelanggan."Bu, nggak jadi keluar makan siang?""Aduh, saya mau sebenarnya, tapi kalian bisa nggak? Repot nggak? Banyak pelanggan. Anak-anak marketing takut ketereran.""Udah, nggak apa-apa. Teman-teman bisa. Ibu pergi aja nggak apa-apa, beneran."Atikah lagi-lagi menjadi penolong kali ini."Saya titip toko, ya, Tik. Tengkyu banget." Kutepuk pelan pundaknya yang berseragam hitam itu. Kemudian, aku menuju ruang admin untuk berpamitan. Di sana, kubilang kepada gadis berkerudung yang sedang mengetik di laptop itu bahwa aku ingin pergi untuk makan siang."Ya, Bu. Silakan. Saya jamin uang aman."Ada senyum yang tercipta di bibir itu."Oke."Kuambil kunci mobil dinas yang diberikan perusahaan sebagai fasilit
Aku masih berkutat dengan laporan dari seluruh admin toko yang kupegang."Bu, saya duluan, ya. Udah malam." Sasti, admin toko Computer Shop—toko terbesar di Techno Group—pamit.Aku mengangguk dan melambaikan tangan."Hati-hati!""Ya, Bu. Ibu juga hati-hati, udah sepi." Sasti berkata sambil terkikik. Dia memang senang menakutiku dengan cara seperti itu."Kamu aja kalau pacaran nyari yang sepi."Dia tertawa lagi. Kemudian, ia melambaikan tangan dan keluar ruangan. Sekarang, aku sudah benar-benar sendiri.Hening.Detak jarum jam di dinding terdengar jelas.Kupingku bahkan mulai mendengar langkah."May, belum pulang? Udah sepi. Pulang!""Astaga, Aldi, kirain siapa, bikin kaget aja."Aku melempar gumpalan kertas sisa fotokopi identitas pelanggan yang memakai kartu kredit. Tepat kena jidatn
Pak Agus memanggilku ke kantor pusat.Demi nama baik toko, karyawan, dan juga namaku, akhirnya kuputuskan untuk mengganti uang kekurangan setoran. Hanya 200 ribu rupiah memang. Semoga ke depannya tidak ada lagi kejadian semacam ini."May, itu kenapa bisa ada kehilangan uang?"Pak Agus mulai menginterogasiku.Jujur saja aku bingung menjawabnya."Adminku itu biasanya nggak gini, Pak."Jangan kaget kalau kugunakan sebutan 'aku' saat berbicara dengan kepala bagian keuangan ini. Ya, hubunganku dan dia sangat baik. Saking baik dan dekatnya, jarang terdengar 'saya', alih-alih 'aku' di hampir seluruh pembicaraanku dengannya. Kecuali, di rapat resmi."Ya, terus ini salah siapa? Uang setoran kurang. Nggak mungkin kebetulan."Aku memikirkan hal yang sama. Akan tetapi, mungkin berbeda tersangka. Jujur saja aku justru curiga kepada petugas yang mengambil setor
What would I do without your smart mouthDrawing me in, and you kicking me outGot my head spinning, no kidding, I can't pin you downWhat's going on in that beautiful mindI'm on your magical mystery rideAnd I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alrightMy head's underwaterBut I'm breathing fineYou're crazy and I'm out of my mindCause all of meLoves all of youLove your curves and all your edgesAll your perfect imperfectionsGive your all to meI'll give my all to youYou're my end and my beginningEven when I lose I'm winningHow many times do I have to tell youEven when you're crying you're beautiful tooThe world is beating you down, I'm around through every
Jam pulang kerja memang aku selalu terakhir."May, pulang, yuk, udah malam, nih!""Duluan aja, Al, aku masih lama kayaknya.""Kamu kenapa, sih, selalu forsir tenaga begitu? Sayang badan kenapa?" Aldi memulai ceramahnya."Julid banget, sih, Al. Aku udah biasa." Aku butuh uang, jadi wajar saja memforsir tenaga untuk mendapatkannya. Ya, selama aku mampu.Aldi yang sedari tadi duduk di salah satu kursi tamu, di ruang depan terlihat mengeluarkan ponsel. Dia sepertinya mulai asyik dengan benda itu. Bahkan, kakinya diselonjorkan di atas meja."Aku tunggu di sini sampai kamu selesai.""Nggak usah. Aku bisa sendiri. Lagian kamu kayak nggak punya kerjaan aja, sih.""Jam kerjaku udah selesai setengah jam lalu, May! Hidup itu dinikmati. Sekali-kali."Aku memajukan bibir menanggapi pembicaraannya."Ya udah, pulang, yuk
Hari ini memang jadwalku libur."May, aku di depan, buka pintu donk!"Suara itu tidak asing di telingaku.Aku yang baru saja mandi bergegas mengambil handuk dan melilitkannya ke badan. Mengintip sebentar lewat balik gorden, memastikan pendengarku tidak salah. Benar saja, dia di sana.Bukan langsung membuka pintu, aku justru tergesa memakai pakaian sekenanya.Sebuah gaun katun motif bunga berwarna cerah melekat di tubuhku. Kuhampiri pintu dan membukanya. Dia masih di sana. Menatapku dengan tatapan yang entah. Aku mempersilakannya masuk."Kamu masih marah sama aku, May?" tanyanya."Marah atau nggak bukannya nggak penting?""Kenapa gitu, sih, May? Cuma hal sepele." Dia menatapku intens. Mungkin kecewa atau apa, aku kurang peduli."Udahlah nggak penting juga dibahas.""Nggak penting gimana? Kamu marah." Dia ta
Siang ini suasana toko kembali sepi. Anak-anak marketing beberapa ada yang menyebar brosur di pinggir jalan raya yang dari tempatku duduk dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan, aku menyibukkan diri dengan laporan harian. Mengecek lapran stok di seluruh toko, agar dapat memantau ketersediaan barang.Baru saja beberapa menit mulai, aku dikejutkan oleh telepon dari Pak Agus."May, gimana hasil pemeriksaan CCTV tokomu?""Astaga, Pak! Mohon maaf banget, aku malah lupa ngecek. Ya ampun aku pikun."Ada desahan berat yang kudengar dari Pak Agus di seberang sana. Aku jadi merasa bersalah. Padahal sebenarnya itu aku yang berkepentingan."Ya udah kalau kamu udah nggak perlu nggak usah. Yang penting sekarang udah nggak ada kehilangan lagi," katanya kemudian. Akan tetapi, aku justru jadi penasaran. Segera kudekati monitor yang tersambung ke perangkat CCTV, kemudian mengecek rekaman di tanggal
Jam tutup toko sudah berlalu setengah jam lalu. Akan tetapi, aku masih berdiam diri di dalam ruangan kaca ini. Mengecek rekaman CCTV."May, pulang, yuk! Udah malam, nih, May."Aku terlonjak saat suara itu tiba-tiba menyusup telinga. Suara yang sangat kukenal. Apalagi, akhir-akhir ini dia sering sekali menggangguku."Aldi suka ngagetin mulu, nih, sebel, tau!"Aku merajuk dan melemparkan kertas bekas nota yang tadi kuremas-remas tanpa sengaja saat mengecek rekaman CCTV toko. Kena. Sukurin! Dia memang kebiasaan menyelonong begitu saja tanpa rasa bersalah. Ditegur pun tidak mempan. Malah seolah-olah tidak mendengar apa yang kuutarakan. Bahkan, berkali-kali kepalanya terkena lemparan kertas yang berukuran sebesar bola kasti. Tetap saja dia tak mengacuhkan."Lagi ngecek apaan, sih, serius amat, May?""Aku lagi pengen tau kerja anak-anak aja."