Jika boleh aku mengeluh, maka sekaranglah saatnya. Aku betul-betul berada pada suasana tidak menyenangkan. Dalam pekerjaan, hubungan percintaan, bahkan kesehatan. Semua terganggu.
"May, buka pintunya! Aku di depan. May!"
"Tunggu!"
"Cepat buka pintunya, May!" Suara itu terdengar seperti milik Lukman. Mimpi apa dia hampir tengah malam begini datang?
Dengan malas, aku bangkit dari ranjang.
"Iya, sabar. Ini lagi jalan. Lagian tumben...."
Mataku terbelalak begitu pintu terbuka.
"Selamat malam, May. Ketemu lagi kita." Ci Lily tersenyum manis. Manis, tetapi menakutkan di mataku. Aku yakin,wajahku kini sepucat mayat.
Dia mengulurkan tangan kepadaku.
Aku dengan ragu menyambut tangan itu.
Secepat kilat dia menarikku kuat-kuat.
Tubuhku yang tidak ada persiapan, ikut tertarik dan menubruk Ci Lily. Ben
Aku dan Aldi, masing-masing sudah berpakaian. "Kamu masih butuh sesuatu nggak, May?" "Aku nggak butuh apa-apa lagi, Al." "Kalau begitu aku pulang sekarang." "Aku tau ini sedikit gila, tapi mau nggak kamu nginep sini?" tanyaku ragu. Aku melihat Aldi menatapku tidak percaya. Mungkin, dia bingung kenapa aku tiba-tiba memintanya menginap. Padahal, sedari tadi aku canggung berduaan dengannya di rumah indekos yang sempit ini. Entah, tetapi aku merasa tenang berada di dekatnya. Setelah sekian lama menatapku, dia menunduk. "Kamu nggak takut aku bakal kurang ajar?" "Memangnya kamu nggak jijik sama aku?" "Astaga, May! Tolong jangan ngomong begitu!" lirih Aldi yang sukses membuat hati ini serasa diremas. Ada sedikit asa, meski tetap didominasi luka. "Aku yakin kamu bukan cowok brengsek."
Seharian aku hanya menimbang-nimbang perasaan yang tidak jelas muaranya. "Bu, masih sakit, ya? Kenapa nggak istirahat?" tanya Sasti takut-takut. Aku ingin sekali mendampratnya. "Nggak usah sok manis di depan saya, Sas!" "Maksud Bu Maya apa? Saya nggak paham." Ada kilatan aneh di matanya. Sepertinya dia tahu sandiwara mereka terbongkar. "Sas, nggak usah pura-pura polos begitu!" Kali ini aku mendekatinya. Menatap tajam tepat ke mata sayu miliknya. Ada keresahan yang nyata kutangkap. Kubeberkan semua yang sudah kuketahui. Dia terbelalak. Sepertinya bingung mau menanggapi ceritaku yang tanpa koma. Entah, aku hanya ingin puas meluapkan kekesalan ini. "Bu, saya nggak bermaksud jahat sama Bu Maya. Tapi, saya nggak bisa juga mencegah apa yang diinginkan Aldi." Dia mulai menjelaskan. Dikatakannya, Aldi begitu geram saat me
Aku menemui Pak Agus lagi di kantor pusat. "Gini, May. Beberapa hari lalu, Pak Bos bilang kalau profit luar itu kacau. Beliau ingin gimana caranya profit rata." Aku tertegun mendengar kalimat itu. Bagaimana bisa profit luar ingin disamakan dengan toko induk? "Pak, kalau aku boleh jawab, secara letak toko pun udah beda. Nggak mungkin hasilnya sama. Lagian apa kurang profit utama dari Computer Shop?" "Aku cuma menyampaikan keinginan Bos." Keinginanan macam apa itu? Setelah sekian tahun, baru kali ini ada keinginan yang menurutku kurang masuk akal. Sangat jauh dari logika. Toko luar, sewa tempatnya pun beda harga dengan Computer Shop. Dari semua sisi, toko-toko luar dengan toko induk, atau minimal cabang yang di dalam pusat elektronik ini sudah beda segmentasi pasar. "Lalu apa yang harus kulakukan, Pak Agus?" Mau tidak mau, kutanyakan hal itu. Si Maya
Rambut pendekku masih basah, handuk pun belum berganti piyama saat dering ponselku terus menerus mengalunkan lagu All of Me. Berulang. Tampang pria berkemeja putih dengan rambut cepak berwarna hitam pekat terpampang di layarnya."Udah sampai, Bang?" tanyaku sambil menyisir.Suara lembutnya menyambutku ceria."Sudah, Sayang. Baru aja. Ini masih antre bagasi," jawabnya dengan semangat.Laki-laki itu memang sangat pengertian."Kangen.""Besok Abang ke sana, jam makan siang."Kalau sudah mendengar janji itu, hatiku langsung berdebar-debar. Terbayang akan wajah tampannya yang selalu membuaiku dengan senyum. Kata-kata lembutnya yang menenangkan. Semua itu benar-benar membuat hatiku luluh. Tidak ada bagian di dalamnya yang aman dari virus cintanya. Semuanya terjangkit."Oke.""Emuach!"Selalu seperti itu. Kadang,
Hari sudah siang. Matahari bahkan mulai tergelincir ke barat. Suasana toko komputer tempatku bekerja sedang penuh pelanggan."Bu, nggak jadi keluar makan siang?""Aduh, saya mau sebenarnya, tapi kalian bisa nggak? Repot nggak? Banyak pelanggan. Anak-anak marketing takut ketereran.""Udah, nggak apa-apa. Teman-teman bisa. Ibu pergi aja nggak apa-apa, beneran."Atikah lagi-lagi menjadi penolong kali ini."Saya titip toko, ya, Tik. Tengkyu banget." Kutepuk pelan pundaknya yang berseragam hitam itu. Kemudian, aku menuju ruang admin untuk berpamitan. Di sana, kubilang kepada gadis berkerudung yang sedang mengetik di laptop itu bahwa aku ingin pergi untuk makan siang."Ya, Bu. Silakan. Saya jamin uang aman."Ada senyum yang tercipta di bibir itu."Oke."Kuambil kunci mobil dinas yang diberikan perusahaan sebagai fasilit
Aku masih berkutat dengan laporan dari seluruh admin toko yang kupegang."Bu, saya duluan, ya. Udah malam." Sasti, admin toko Computer Shop—toko terbesar di Techno Group—pamit.Aku mengangguk dan melambaikan tangan."Hati-hati!""Ya, Bu. Ibu juga hati-hati, udah sepi." Sasti berkata sambil terkikik. Dia memang senang menakutiku dengan cara seperti itu."Kamu aja kalau pacaran nyari yang sepi."Dia tertawa lagi. Kemudian, ia melambaikan tangan dan keluar ruangan. Sekarang, aku sudah benar-benar sendiri.Hening.Detak jarum jam di dinding terdengar jelas.Kupingku bahkan mulai mendengar langkah."May, belum pulang? Udah sepi. Pulang!""Astaga, Aldi, kirain siapa, bikin kaget aja."Aku melempar gumpalan kertas sisa fotokopi identitas pelanggan yang memakai kartu kredit. Tepat kena jidatn
Pak Agus memanggilku ke kantor pusat.Demi nama baik toko, karyawan, dan juga namaku, akhirnya kuputuskan untuk mengganti uang kekurangan setoran. Hanya 200 ribu rupiah memang. Semoga ke depannya tidak ada lagi kejadian semacam ini."May, itu kenapa bisa ada kehilangan uang?"Pak Agus mulai menginterogasiku.Jujur saja aku bingung menjawabnya."Adminku itu biasanya nggak gini, Pak."Jangan kaget kalau kugunakan sebutan 'aku' saat berbicara dengan kepala bagian keuangan ini. Ya, hubunganku dan dia sangat baik. Saking baik dan dekatnya, jarang terdengar 'saya', alih-alih 'aku' di hampir seluruh pembicaraanku dengannya. Kecuali, di rapat resmi."Ya, terus ini salah siapa? Uang setoran kurang. Nggak mungkin kebetulan."Aku memikirkan hal yang sama. Akan tetapi, mungkin berbeda tersangka. Jujur saja aku justru curiga kepada petugas yang mengambil setor
What would I do without your smart mouthDrawing me in, and you kicking me outGot my head spinning, no kidding, I can't pin you downWhat's going on in that beautiful mindI'm on your magical mystery rideAnd I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alrightMy head's underwaterBut I'm breathing fineYou're crazy and I'm out of my mindCause all of meLoves all of youLove your curves and all your edgesAll your perfect imperfectionsGive your all to meI'll give my all to youYou're my end and my beginningEven when I lose I'm winningHow many times do I have to tell youEven when you're crying you're beautiful tooThe world is beating you down, I'm around through every