Share

Bab 3

Aku masih berkutat dengan laporan dari seluruh admin toko yang kupegang.

"Bu, saya duluan, ya. Udah malam." Sasti, admin toko Computer Shop—toko terbesar di Techno Group—pamit.

Aku mengangguk dan melambaikan tangan.

"Hati-hati!"

"Ya, Bu. Ibu juga hati-hati, udah sepi." Sasti berkata sambil terkikik. Dia memang senang menakutiku dengan cara seperti itu.

"Kamu aja kalau pacaran nyari yang sepi."

Dia tertawa lagi. Kemudian, ia melambaikan tangan dan keluar ruangan. Sekarang, aku sudah benar-benar sendiri.

Hening.

Detak jarum jam di dinding terdengar jelas.

Kupingku bahkan mulai mendengar langkah.

"May, belum pulang? Udah sepi. Pulang!"

"Astaga, Aldi, kirain siapa, bikin kaget aja."

Aku melempar gumpalan kertas sisa fotokopi identitas pelanggan yang memakai kartu kredit. Tepat kena jidatnya. Sukurin!

"Aduh!"

"Emang enak? Makanya jangan suka ngagetin!" seruku gemas. Ia hampir saja kutambah dengan toyoran andai saja tidak menghindar.

Laki-laki berkaus putih dengan jaket kulit hitam di luarnya itu menimang-nimang kunci. Gemerincingnya membuat konsentrasiku pecah. Kali imi kuperingatkan dia dengan pandangan sinis.

Bukan Aldi namanya kalau cepat kalah.

"Pulang, yuk, udah malam! Keburu dikunciin satpam. Nggak lucu, 'kan kalau kita kejebak berduaan di sini?"

Dia menaik-turunkan alisnya yang tebal.

Astaga, pikiran macam apa itu? Dia memang ada-ada saja. Bahkan, jam baru menunjuk pukul 21.30. Itu artinya, satpam baru akan mengunci pintu setengah jam lagi. Tent terlebih dulu pasti akan dicek satu demi satu.

"Aduh, Aldi, please, deh, seneng amat ngerecokin!"

Dia memang menyebalkan. Akan tetapi, sebagai teman, aku cukup nyaman apabila mengobrol dengannya. Selain tampan, dia juga punya sifat lucu dan ramah ke semua orang. Mungkin itu juga hal yang membuat kariernya naik pesat. Dari posisi marketing, dia naik menjadi kepala toko hanya dalam waktu kurang dari setahun.

Berbeda denganku yang dari masuk sampai sekarang masih saja berkutat dengan toko-toko. Hanya jumlahnya saja yang bertambah. Tentu dengan gaji dan tanggung yang juga makin banyak. Namun, aku sangat bersyukur karena bisa dibilang selama aku bekerja di sini tidak ada masalah berarti. Paling hanya sedikit salah paham dengan beberapa marketing.

"Udah, yuk, pulang, ah! Nanti ada yang godain kamu, aku nggak rela." Ah, mulutnya itu menyebalkan sekali.

"Udah, pulang duluan aja sana! Aku masih ngelarin ini. Lihat laporanku numpuk!"

Memang benar, pekerjaanku menumpuk.

Memeriksa laporan dari tiga puluh toko bukanlah pekerjaan mudah. Meski sudah setiap hari kulakukan, tetap saja akan ada satu dua kendala yang membuat pekerjaan itu tidak kunjung selesai. Ada saja, kadang ada laporan profit yang kurang tepat perhitungannya. Kadang, ada yang menuliskan tipe barang tidak sesuai, hingga aku kesulitan saat memeriksa laporan stok. Itu sering terjadi dan beberapa kali terjadi drama.

"Ya udah kalau nggak mau pulang sekarang."

Aldi melangkah meninggalkanku. Dia sepertinya sedikit sebal. Terlihat dari raut wajahnya yang tampak keruh.

Selepas kepergian laki-laki itu, aku mendengar dering ponsel. Bukan lagu All of Me, itu artinya orang lain. Ya, ponselku memang sengaja kuset personal.

Lagu All of Me hanya untuk panggilan spesial.

"Halo, selamat malam, Pak Agus," sapaku.

Orang yang bernama Agus berbicara di seberang. Dia menanyakan tentang uang setoran yang kurang. Hah?

***

"Maaf, Bu, kemarin memang saya tidak menghitung ulang pas Pak Eko ambil."

Sasti menunduk. Wajahnya terlihat ketakutan. Memerah. Bibirnya digigiti.

"Tapi uang dari anak-anak marketing gimana?"

Aku mencoba menata napas yang sesak.

Memang, kehilangan hanya 200 ribu, tetapi tetap saja tidak boleh dianggap remeh.

Jika dibiarkan, bisa-bisa jadi rutinitas nantinya.

"Saya hitung satu-satu, Bu. Semua pas." Dia kali ini memberanikan diri menatapku.

Ada kejujuran kutemukan di sana. Lagi pula, selama Sasti bekerja di sini, keuangan tidak pernah bermasalah. Ah, lalu kenapa aku tidak mencurigai Pak Eko? Dia karyawa baru yang aku sendiri tidak kenal seperti apa wataknya.

"Bilang ke anak-anak marketing, nanti jangan pulang dulu. Kita harus mendapatkan titik terang segera. Paham?" Aku pergi meninggalkan ruangan kecil tempatku dan admin bekerja. Otakku masih terus menerka siapa kira-kira yang memulai permainan ini.

"Bu, Asus core i5 RAM 8GB harga berapa?"

"Modal 8650. Langganan apa bukan?" Otak yang masih bertanya-tanya ini dipaksa untuk mulai bekerja memasarkan produk.

Jadilah, amarah yang tadi hampir meledak, sekarang mulai terurai. Aku juga memberikan afirmasi kepada diri sendiri. Semoga dengan begitu, aura negatif menyingkir. Akan buruk hasilnya apabila kita menghadapi pelanggan dengan masih membawa energi negatif.

"Baru, Bu. Kayaknya agak gampang. Siap-siap!"

Anak marketing itu berlalu setelah memberi isyarat dengan mata bahwa toko akan mendapatkan profit besar.

Aku bersyukur bisa mengendalikan diri.

Lihat saja, pelanggan terus berdatangan!

Aku terus mengafirmasi otak.

Terbukti, setelah aku mulai mengafirmasi diri, otakku bekerja lebih cemerlang. Timbul ide-ide baru untuk mendorong penjualan. Salah satunya memberikan cash back untuk pembelian stok lama.

Tentu kita tidak memberitahu pelanggan bahwa itu stok lama. Justru sebisa mungkin, kita menampilkan hal sebaliknya ke mata calon pembeli. Kita buat kemasan semenarik mungkin. Menghias barang dengan melilitkan hiasan warna-warni seperti yang biasa ada pada acara natal adalah salah satu cara andalan toko ini.

Anak-anak marketing semangat melayani para calon pembeli, sedangkan, aku mulai sibuk menanyakan stok lama kepada Erik.

"Stok lama kita apa aja, Rik? Tolong kasih saya catatan tipe dan harga modal!" Iya, aku hanya perlu tipe dan harga modal.

"Siap!"

Anak lelaki usia 20-an itu bergegas mencari buku stok. Membacanya, kemudian mencatat di lembaran kertas. Aku mengawasinya.

Di luar, aku bisa melihat pembeli makin banyak. Ruangan ini memang transparan di bagian atas. Sedangkan, bawahnya terbuat dari kayu berpelitur.

"Bu, Asus core i5 RAM 8 GB-nya masih?"

Aku menyuruhnya menunggu dengan isyarat.

"Rik, Asus core i5 RAM 8GB masih ada?"

"Ada, Bu. Tinggal satu, tapi lagi dipinjam." Astaga. Produk laris itu dipinjam.

"Siapa?"

Erik memberi isyarat dengan dagu ke arah toko seberang. Toko One Computer. Ah, si Aldi. Berhubung butuh, aku harus mengambilnya.

Aku meninggalkan toko setelah bicara dengan anak marketing itu supaya menunggu.

Sayangnya, begitu aku di One Computer, barang itu sudah terjual. Aldi sedang bersiap ke tokoku untuk mengambil kardusnya. Aku belum beruntung.

"Bukain nota sama minta kardusnya, May!"

Mata laki-laki itu menatapku penuh kemenangan.

"Oke."

Terpaksa aku kembali ke toko untuk mengalihkan objek si pembeli. Aku berharap si pembeli termasuk yang gampang dirayu, sayangnya, itu tidak terjadi. Si pembeli bersikeras mencari tipe itu.

Jadilah kutanya Erik kembali kira-kira toko mana yang masih punya barangnya.

Setelah beberapa menit mengecek, akhirnya dia memberitahuku bahwa ada sisa satu di toko cabang luar kota.

"Suruh kasih DP aja, Bu. Besok saya yang ambil, deh, sebelum orangnya datang." Anak marketing ini memang termasuk baru, tetapi semangatnya luar biasa. Dia juga sudah paham alur. Alur yang biasa digunakan para seniornya untuk tetap mendapatkan pembeli. Yaitu dengan berusaha membelokkan keinginan pembeli atau terpaksa mencari barang di mana pun keberadaanya. Tentu opsi kedua harus bisa membuat si calin pembeli melakukan DP. Aku mengiakan dan justru membantunya berbicara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status