Share

Part 7. Pov Haikal

Zana terlihat mengangkat wajah, yang tadinya tertunduk. Tampak di bibirnya, senyum yang di paksakan. 

Tak butuh waktu lama, hanya beberapa hari saja Zana sudah bisa menerima Harry dengan baik. Zana merawat Harry tak ubahnya seperti anak sendiri.

Namun, ada kekhawatiran di hatiku. Semua bermula dua bulan lalu, saat aku dan Rania makan di sebuah restoran khas Bangka. Rania merangkul tanganku seperti biasa. Saat kami tengah bersama, perempuan itu memang selalu menempel padaku. Sikap manja itulah yang membuatku selalu merindukannya. Aku selalu merasa dibutuhkan saat bersama Rania. 

Tanpa kusadari seseorang mencengkram bagian atas kerah baju yang kugunakan. Aku berusaha memberontak, menarik paksa kerah baju bagian depan dengan kasar, agar tak tercekik. Rania sibuk mencengkram tangan lelaki itu, berusaha membebaskanku. 

Aku terbatuk-batuk setelah tangan itu terlepas. Spontan aku menoleh ke belakang, dengan emosi meluap. Pun dengan Rania. 

"Apa maksud semua ini?" 

Makian yang sempat ku persiapkan tadi, seakan tercekat di tenggorokan tak dapat keluar. Aku tak ubahnya seperti maling yang tertangkap pihak keamanan, dan bersiap diamuk massa. Bibirku kelu, diam seribu bahasa, dengan kepala tertunduk dalam. 

Bang Fikri dan seorang temannya menatapku tajam, seolah ingin menelanku hidup-hidup. 

"Jawab aku!"

Kali ini bentakanlah yang keluar dari bibir lelaki yang sangat menyayangi Zana itu.

"Kalian tak berhak memperlakukan suamiku seperti itu, dasar tak punya adab!" ucap Rania penuh emosi. Aku mencengkram pergelangan tangan Rania cukup kuat, memberi kode untuk menyuruhnya diam, hingga ia mengaduh kesakitan. 

Bukk! 

Tanpa kusadari, bogem mentah milik teman Bang Fikri mendarat tepat pada pipiku bagian bawah, hingga membuatku terjengkang. Darah segar mengalir dari sudut bibirku. Rania berusaha membantuku untuk bangkit. Semua mata yang hadir tertuju menatapku dan Rania.

Entah apa maksud lelaki itu? Bukankah aku tak ada urusan dengannya. Ingin rasanya kubalas tinjunya barusan, kalau saja tak ada Bang Fikri di hadapanku. 

"Apa? Suami? Pantas saja, perempuan murahan sepertimu, memang pantas untuk lelaki seperti dia," ucap lelaki itu. 

Aku bangkit dan berlutut kepada Bang Fikri agar tak mengatakan kejadian ini pada Zana. Aku mengatakan, kebersediaanku meninggalkan Rania saat itu juga. 

Setelah Bang Fikri pergi, aku berusaha meyakinkan Rania, bahwa itu hanya akal-akalanku saja. Tak mungkin juga, aku meninggalkan perempuan yang telah memberiku keturunan itu. 

Setelah kejadian itu, di hatiku ada rasa khawatir akan kehilangan Zana. Aku benar-benar tak ingin kehilangan perempuan sebaik Zana. Perempuan lembut, yang dengan tulus mengabdikan baktinya untukku. Namun, hari ini, Zana yang kukenal seakan telah pergi. 

"Cucu, Yah!" rengek Harry meminta susu padaku, aku yang tengah sibuk membuat mi rebus, untuk pengganjal perutku yang mulai keroncongan, menghentikan gerakan tanganku. 

Kutinggalkan mi yang masih berada di dalam panci dengan api yang sudah kukecilkan, beralih membuatkan susu untuk Harry. 

Aku menyodorkan sebotol susu untuk Harry, kemudian beralih melanjutkan pekerjaan semula. 

Setelah merasa perut kenyang, aku kembali mencoba menelpon Zana, tapi masih tak tersambung. Sepertinya, Zana sengaja mematikan ponselnya, agar tak mendapat telpon dariku. Padahal, aku hanya ingin bertanya, bagaimana caranya mengurus Ibu, karena aku sama sekali belum pernah melakukannya. 

Hari ini adalah hari terkacau dalam hidupku. Hingga jam sembilan pagi, Harry masih belum mandi, demikian juga dengan Ibu. Tentang rumah, jangan ditanya, rumah lebih mirip kapal pecah, dengan beraneka mainan milik Harry berhamburan memenuhi penjuru ruangan. 

Piring kotor memenuhi wastafel. Baju di mesin cuci membubung tinggi hingga meluber keluar. Zana memang biasanya mencuci dua hari sekali. 

Perasaan kacau membuat rasa Maluku hilang. Dengan memasang muka tebal, aku pergi meminta bantuan Kak lila untuk mengurus Ibu. 

"Tumben! Memangnya, Zana kemana, Kal?" tanya Kak Lila saat kuutarakan niatku. 

Mukaku memerah. Tiba-tiba perasaan bersalah pada Zana memenuhi kepalaku. Zana bahkan tak pernah meminta bantuan tetangga untuk mengurus tubuh renta Ibu dan bayi kecil Harry. Padahal, Ibu hanyalah mertua bagi Zana, sedangkan Harry hanyalah anak angkat. Tepatnya, putraku dan Rania. Jika sesekali Harry berada di rumah Kak Lila, itu bukan keinginan Zana, tapi Kak Lila yang meminta. 

Sedangkan aku, belum genap dua jam Zana pergi, aku sudah meminta bantuan orang lain untuk mengurus Ibu—ibuku sendiri. 

Kata-kata sinis yang keluar dari bibir Zana pagi tadi, kembali berputar di kepalaku. Apa maksud Zana berkata, jika dia menikah denganku bukan untuk dijadikan babu? Mungkinkan Zana sudah mengetahui semuanya? Apakah Zana sudah mengetahui bahwa Harry adalah anakku? 

Aku memang ingin punya anak, tapi aku tak ingin pisah dari Zana. Tiba-tiba kepalaku berdenyut nyeri, membayangkan Zana akan pergi dariku, dengan degup jantung yang berpacu kian cepat. 

Aku tak ingin kehilangan Zana. Apa pun yang terjadi, aku tak akan melepaskan Zana untuk pergi dariku. Tekadku. Jika bukan dia, siapa lagi yang akan merawat Ibu dan Harry? aku harus bisa membuatnya tetap bersamaku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
kurang ajar.... niatnya mpertahnkn itu...y ampun....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status