Share

Part 6. Pov Haikal

Lelaki mana yang tak bahagia, jika memiliki tempat berlabuh lebih dari satu. Itulah yang kurasakan sekarang. 

Aku memiliki dua istri sejak tiga tahun terakhir. Ya, setelah aku menikahi Rania—seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta yang kukenal, lewat temanku, Kamal. 

Sampai sekarang aku tak mengerti, apa alasan Rania bersedia menikah dengan pria beristri sepertiku. 

Awalnya, aku tak begitu tertarik dengan Rania, perempuan dengan tinggi badan tak lebih dari 150 senti meter itu. Wajahnya pun terkesan biasa saja menurutku, karena Zana jauh lebih cantik dibandingkan Rania. Tapi sikap manja Rania akhirnya membuatku luluh. Sikap yang tak dimiliki Zana, istri pertamaku. 

 Zana seorang gadis cantik dengan kulit putih, berfostur tubuh ideal. Sungguh aku sangat beruntung memilikinya. Selain itu, Zana istri penurut, yang selalu melayaniku dengan baik. Bahkan tak pernah terdengar kata-kata kasar yang keluar dari bibir indahnya. 

Tak hanya itu, Zana bahkan dengan ikhlas merawat ibuku yang terkena stroke tiga tahun terakhir ini. Merawat penderita stroke bukanlah hal mudah. Namun, Zana melakukannya dengan baik. Tak sia-sia Ibu memperlakukan Zana bak ratu saat beliau masih sehat dulu, hingga aku merasa seperti anak angkat saat melihat keakraban mereka. Ternyata, Ibu melakukan semua itu pada orang yang tepat. 

Tak pernah kudengar Zana mengeluh, atau memintaku untuk mencarikan pembantu untuknya. Hanya saja,  Zana tak kunjung memiliki tanda-tanda ada manusia baru yang tumbuh di rahimnya. Itulah salah satu alasanku menikah dengan Rania, pastinya secara siri. 

Aku memiliki usaha sebagai pengepul hasil panen sawit dan karet, di beberapa kampung. Dengan pekerjaan tanpa terikat jam kerja, membuatku lebih mudah mengatur jadwal, kapan bersama Rania dan kapan harus pulang, tanpa harus terikat waktu. Ilman anak buah sekaligus kaki tanganku, siap menghandle pekerjaanku, saat jadwalku bersama Rania. 

Zana tak pernah curiga denganku, karena tak ada perubahan mencolok yang kutampilkan. Perasaanku tak jauh berbeda padanya, pun dengan nafkah lahir. Tak ada yang berkurang dari jatah belanjanya, karena Rania tak butuh uangku. Begitulah yang ia katakan saat berusaha menaklukkan hatiku dulu. Nyatanya memang benar, Rania hanya butuh nafkah batin dariku. 

wajar saja Rania tak meminta harta apapun padaku, karena secara materi Rania hidup berlebih. Terlihat dari rumah megah berlantai dua yang dihuni Rania di pinggir kota, bersama seorang pembantunya. Bukankah aku termasuk lelaki yang beruntuk, memiliki istri pertama dengan penuh cinta merawat keluargaku, dan istri kedua yang hidup mandiri tanpa menyusahkanku.

Belum genap sebulan menikah, Rania dinyatakan positif hamil. Aku sangat bahagia, karena akan segera memiliki anak, meski bukan dari Zana. Aku semakin yakin, kalau sebenarnya Zana memang mandul. 

Genap sembilan bulan menikah, Rania melahirkan Harry. Anak laki-laki yang tak mirip aku ataupun ibunya, Rania bilang, Harry lebih mirip adik lelakinya yang tengah kuliah di Bandung. Aku pun tak ambil pusing, yang penting aku sudah memiliki anak. 

Saat usia Harry baru empat bulan, Rania meminta hal tak tak biasa padaku. Rania memintaku untuk membawa Harry putra kami ke rumahku, agar Zana yang merawatnya, dengan alasan dirinya tak punya cukup waktu untuk merawat Harry. 

Ada rasa tak tega pada Zana. Istriku itu sudah terlalu lelah seharian mengurus keperluanku, dan merawat ibuku. Kini harus bertambah lagi harus mengurus Harry. 

Awalnya aku menolak keinginan Rania yang tak masuk akal, karena di rumahnya juga ada pembantu. Tapi perempuan itu mengancam, akan menitipkan Harry di panti asuhan. Ah, kurasa Rania sudah tak waras. Akhirnya aku menyetujui permintaannya itu. 

Aku membawa Harry ke rumahku bersama Ilman waktu itu. Ilman tahu persis kisahku dengan Rania, tapi ia sudah kuancam, aku akan membongkar rahasia besarnya, jika berani membongkar perselingkuhanku. 

"Kenapa gak bilang dulu sama Zana, Bang?"

Tanya Zana, saat aku pulang bersama Harry dan Ilman. Nampak wajahnya terlihat kurang bersahabat. Zana pasti merasa tak nyaman dengan keberadaan bayi mungil yang tengah kugendong.

"Ini anak sepupu temen Abang, Na. Ibunya meninggal saat melahirkannya," ucapku berbohong, dengan menampilkan wajah sendu. Kebohongan yang diajarkan Rania saat menyuruhku membawa Harry. 

Ya, Ranialah yang telah merancang semuanya dan aku hanya sebagai pelakon dari setiap rencananya.

Zana terdiam cukup lama, matanya terlihat berkabut. Sebenarnya, tak tega menyakiti perempuan sebaik Zana. Namun, apa boleh buat, dari pada Harry dititip di panti asuhan. 

"Tak perlu sedih, Na, semoga dengan ini, kita bisa benar-benar dikasih kepercayaan nantinya."

Aku berusaha meyakinkan istriku agar dia bersedia menerima Harry persis anak sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status