Menjadi Babysitter Anak Suamiku

Menjadi Babysitter Anak Suamiku

Oleh:  Rizka Fhaqot  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
5 Peringkat
168Bab
34.9KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Keluarga utuh disertai kehadiran buah hati adalah impian semua pasangan. Pun dengan Zana dan Haikal. Pasangan suami istri itu sudah sejak lama merindukan celoteh manja dari bibir mungil seorang bayi sebagai buah dari pernikahan mereka. Lebih dari dua tahun menikah, Zana tak kunjung hamil, membuat Haikal memilih rahim lain untuk menghadirkan buah hati untuknya.  Memasuki tahun ketiga pernikahan, Haikal. Membawa bayi laki-laki untuk Zana yang ia sebut anak angkat. Tak ada gurat kecewa pada wajah tulus perempuan cantik itu, meski ia harus merawat bayi berusia dua bulan, sekaligus ibu mertuanya yang sakit parah.  Hingga, pada siang itu, saat sebuah foto hingga rekaman video yang memperlihatkan kemesraan sang suami dengan wanita lain. Zana merasa kedua tungkainya melemah, menyisakan tubuh yang bergetar disebabkan sebuah pengkhianatan. Tak sampai di situ, anak yang ia rawat dengan penuh kasih sejak bayi itu tak lain adalah buah dari pengkhianatan suaminya. 

Lihat lebih banyak
Menjadi Babysitter Anak Suamiku Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Yanti Keke
bagus ceritanya.... mngharukan... smoga sukses sll y Thor....
2022-09-02 23:38:28
1
user avatar
Rizka Fhaqot
makasih temen-temen yang udah mampir di cerbungku ...
2022-08-12 04:06:37
1
user avatar
ET. Widyastuti
lanjut kak. semangat
2022-08-09 13:59:35
1
user avatar
Astika Buana
semangat, Kak ceritanya bagus
2022-07-25 21:50:40
1
user avatar
Tifa Nurfa
keren kak, ... semangat berkarya ...
2022-07-25 20:34:15
1
168 Bab
Bab 1. Awal Prahara
"Nya, minyum!"Lirih suara perempuan ringkih itu berbicara khas penderita stroke, lidahnya kesulitan melafadzkan huruf sesuai tempatnya. Namun, aku cukup tahu apa yang beliau katakan. Ya, perempuan itu tengah memintaku untuk mengambilkan minum untuknya. Bergegas aku mendekat. Tangan yang semula sibuk mengupas kentang persiapan memasak sayur sup untuk makan siang nanti, kugeletakkan begitu saja. Kuulurkan segelas air beserta sedotan panjang, untuk mempermudah saat ia meminumnya. "Minum yang banyak, Bu! Supaya ginjal Ibu selalu sehat!" ucapku menyemangati. Ibu memaksakan bibir kakunya untuk tersenyum, mata kuyunya menatap berbinar ke arahku. "Makasih, Nya." Ucapan keluar dari bibir kaku itu. Kata-kata yang puluhan kali diucapkannya dalam sehari, dan ditujukan untukku. Aku menjawabnya dengan senyuman dan usapan lembut di tangan keriputnya. Perempuan itu bernama Muslimah—ibu dari suamiku—Bang Haikal. Ibu meminum hingga habis setengahnya. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku semula, s
Baca selengkapnya
Bab 2. Bukti Kuat
Aku masih sibuk membersihkan kotoran Ibu, saat Bang Haikal pulang kerja. Ibu baru saja buang air besar di popok yang belum genap dua jam kupakaikan. Tak ada rasa benci sedikit pun di hatiku untuk Ibu, meski putranya telah menoreh luka sangat dalam di hatiku. Dan tak ada yang berubah dari pelayanan ku untuk perempuan lembut itu. "Harry, di mana, Dik?"Pertanyaan pertama yang dilontarkan Bang Haikal, saat menghampiriku di dapur. Ibu memang kutempatkan di dapur saat siang hari, tujuanku agar mudah memenuhi keinginan Ibu, karena waktuku banyak kuhabiskan di dapur. Beliau akan kupindahkan ke kamarnya saat menjelang waktu tidur. "Di rumah Kak Lila, Bang!" ucapku tanpa menoleh. Kak Lila adalah tetangga samping rumah, juga merupakan keluarga jauh dari Ibu. Semenjak Harry bersama kami, Bang Haikal lebih ceria. Setiap pulang dari mana saja, Harry-lah yang pertama ditemuinya. Memang, sejak dua tahun menikah, Bang Haikal kerap menanyakan apakah ada tanda-tanda titipan itu datang, mungkin saki
Baca selengkapnya
Bab 3. Tentang Harry
[Apakah Zana masih belum tahu tentang kita, Sayang?][Kamu tenang saja, Zana perempuan penurut, dia bahkan tak pernah membuka ponselku. Zana juga mengurus Harry dengan sangat baik, persis seperti anak sendiri!][Benarkah? Oh, ya, Harry bagaimana kabarnya, Bang?"][Iya, Sayang! Harry sehat! Dia makin gemesin loh, sekarang udah mulai pinter ngomong.][Makasih, ya, udah ngerawat anak kita dengan baik.]Seluruh tubuhku terasa bergetar, kaki seakan tak kuat menopang bobot tubuh, hingga harus menyenderkannya di dinding kamar mandi agar tak ambruk. Jantung berpacu kian cepat, air mata menerobos kian deras, aku menangis dengan membekap kuat mulut agar tak bersuara. Ternyata aku hanya dimanfaatkan oleh suamiku sendiri. Lebih dari setengah jam sudah aku menangis, emosiku sulit untuk kukendalikan. Kuusap naik turun dengan kuat dada yang sesak oleh luka, berharap sedikit reda. Aku sudah tak kuat lagi untuk membaca semua tentang kelicikan mereka, yang telah memperbudakku selama ini. Segera kukir
Baca selengkapnya
Bab 4. Memeluk Ibu
Aku beranjak meraih kunci motor yang tergantung di pintu kamar, tanpa mempedulikan kalimat-kalimat permohonan yang keluar dari bibir manusia munafik itu. Namun, tangan kekar miliknya mencekal pergelangan tanganku. "Kau kenapa, sih, Dek? Ngobrol kalau Abang ada salah! Jangan asal pergi!" Ucapan Bang Haikal terdengar membentak. Aku mengibaskan tangannya kuat-kuat, tapi tetap aku kalah kuat. "Lepaskan! Aku juga ingin bebas! Aku menikah bukan untuk jadi babu tanpa gaji dan tak dihargai seperti ini!"Akhirnya kata-kata itu lolos begitu saja dari bibirku, tanpa mampu kutahan. Aku berucap dengan geraham mengeras menahan emosi, serta mata seakan ingin keluar. Hanya dengan melihat wajahnya saja amarahku mampu naik ke ubun-ubun. Nyali lelaki itu nampak ciut, dan melepaskan cekalan tangannya di pergelangan tanganku. Sepertinya Bang Haikal tak menyangka aku akan seberani ini padanya, muka yang tadinya emosi, sekarang terlihat menegang, aku tetap tak peduli. Aku cukup tahu, jika sikapku tak s
Baca selengkapnya
Bab 5. Bertemu Farah
Aku menatap Ibu dengan tatapan heran bercampur tanya, menunggu kalimat selanjutnya dari bibir perempuan yang sangat kuhormati itu. Namun, cukup lama Ibu hanya bergeming, hingga rasa tak sabar di hatiku menyeruak. "Maksud Ibu?"Ibu menatapku lama, dengan tatapan Iba. Tangannya kini sibuk meremas jemariku, seakan inginmentransfer kekuatan agar hatiku tetap kuat. "Dua bulan lalu, Fikri telah lebih dulu mengatakanhal yang sama pada Ibu," ucap Ibu dengan hati-hati. "Kenapa Ibu dan Bang Fikri menyembunyikannya dariku, Bu?" tanyaku sedikit kesal. Kami empat bersaudara. Bang Farhan anak pertama, Bang Hamka anak kedua, dan Bang Fikri terakhir sebelum aku. Kami semua sudah berkeluarga, kecuali Bang Fikri. Meski di usia yang sudah menginjak angka 31, Bang Fikri belum juga bertemu tulang rusuknya yang hilang. Kini, abangku itu tengah meneruskan pendidikan S2-nya yang sempat tertunda, sambil membuka usaha percetakan di kota Pangkalpinang, kota yang rencananya akan kukunjungi hari ini. "Kau ma
Baca selengkapnya
Part 6. Pov Haikal
Lelaki mana yang tak bahagia, jika memiliki tempat berlabuh lebih dari satu. Itulah yang kurasakan sekarang. Aku memiliki dua istri sejak tiga tahun terakhir. Ya, setelah aku menikahi Rania—seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta yang kukenal, lewat temanku, Kamal. Sampai sekarang aku tak mengerti, apa alasan Rania bersedia menikah dengan pria beristri sepertiku. Awalnya, aku tak begitu tertarik dengan Rania, perempuan dengan tinggi badan tak lebih dari 150 senti meter itu. Wajahnya pun terkesan biasa saja menurutku, karena Zana jauh lebih cantik dibandingkan Rania. Tapi sikap manja Rania akhirnya membuatku luluh. Sikap yang tak dimiliki Zana, istri pertamaku. Zana seorang gadis cantik dengan kulit putih, berfostur tubuh ideal. Sungguh aku sangat beruntung memilikinya. Selain itu, Zana istri penurut, yang selalu melayaniku dengan baik. Bahkan tak pernah terdengar kata-kata kasar yang keluar dari bibir indahnya. Tak hanya itu, Zana bahkan dengan ikhlas merawat ibuku yang ter
Baca selengkapnya
Part 7. Pov Haikal
Zana terlihat mengangkat wajah, yang tadinya tertunduk. Tampak di bibirnya, senyum yang di paksakan. Tak butuh waktu lama, hanya beberapa hari saja Zana sudah bisa menerima Harry dengan baik. Zana merawat Harry tak ubahnya seperti anak sendiri.Namun, ada kekhawatiran di hatiku. Semua bermula dua bulan lalu, saat aku dan Rania makan di sebuah restoran khas Bangka. Rania merangkul tanganku seperti biasa. Saat kami tengah bersama, perempuan itu memang selalu menempel padaku. Sikap manja itulah yang membuatku selalu merindukannya. Aku selalu merasa dibutuhkan saat bersama Rania. Tanpa kusadari seseorang mencengkram bagian atas kerah baju yang kugunakan. Aku berusaha memberontak, menarik paksa kerah baju bagian depan dengan kasar, agar tak tercekik. Rania sibuk mencengkram tangan lelaki itu, berusaha membebaskanku. Aku terbatuk-batuk setelah tangan itu terlepas. Spontan aku menoleh ke belakang, dengan emosi meluap. Pun dengan Rania. "Apa maksud semua ini?" Makian yang sempat ku persi
Baca selengkapnya
Part 8. Bantuan Farah
Pukul Setengah satu siang, setelah melakukan kewajiban seorang hamba, dan memenuhi hak perut untuk diisi. Aku mengikuti Farah, kemana ia akan membawaku hari ini. Kami mulai melaju di jalanan ramai, meski tak seramai ibu kota. Aku duduk di samping kursi kemudi, dengan debar hati tak karuan, memikirkan akan seperti apa takdir yang tengah menungguku di depan sana. Farah duduk di depan kemudi, melajukan kendaraan roda empat berwarna putih, yang ia beli dari hasil kerja kerasnya bulan lalu. "Kamu kenapa sih, Na? Gak usah tegang gitu, Na," ucap Farah berusaha mencairkan hatiku. "Entah lah, Fa."Aku mengedarkan pandangan, menyapu jalanan kota, memindai setiap yang kami lalui dengan tatapan kosong. Kepalaku terasa penuh sesak, hingga tak mampu lagi berpikir tentang hal-hal di sekelilingku. "Nih, minum dulu!" Farah menjulurkan tangan kirinya yang berisi sebotol air mineral kemasan, untukku. Sedang tangan kanannya memegang kemudian. Aku menerimanya, dan langsung meminumnya sedikit. "Makas
Baca selengkapnya
Part 9. Perempuan Angkuh
"Cukup banyak!""Kok bisa?""Aku udah bergerak satu langkah di depanmu, Na! Sekarang kau tinggal katakan, kita mau apa sekarang? Kau harus kuat, dan tak boleh cengeng, Na. Zana yang kukenal orangnya kuat, gak lembek!" ujar Farah terdengar seperti sindiran. Aku tersenyum kecut mendengar kata-kata terakhir Farah. Apakah diri ini benar-benar sudah berubah menjadi cengeng sekarang? "Apakah kita harus masuk, Fa?" Aku bertanya. "Tak harus sekarang, Na. Perempuan itu pun sedang tak ada di rumah jam segini."Belum sempat aku bertanya banyak hal ke Farah. Mataku membulat utuh, saat pandanganku tertuju pada seseorang yang sangat kukenal, baru saja keluar dari rumah yang sedari tadi jadi objek pembicaraan kami. Perempuan itu duduk di kursi teras yang menghadap taman, sebelah kanan rumah. Seperti menunggu seseorang. "Fa! Liat tuh!"Aku menunjuk ke arah yang sejak tadi menyita perhatianku. Farah mengikuti ke mana arah telunjukku terarah. Pandangan kami terhenti pada sosok yang sama. "Kua ken
Baca selengkapnya
Part 10. Bertemu Rania
Aku menarik bahu Sinta yang berada di genggamanku, memutar posisi tubuhnya untuk kembali menghadap ke arahku. Sinta tak menolak, entah karena apa, dia hanya menurut dengan semua perlakuanku. Kutatap Sinta dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sintia berusaha menghindar tatapanku. Ada yang tak biasa dengan tubuh gadis berstatus belum menikah itu. Perut Sinta seperti wanita yang tengah memasuki kehamilan usia tua.Aku mengangkat dagu Sinta, agar menatap tepat pada mataku, "Kamu ngapain di sini?" tanyaku dengan menatap tajam netra Sinta. "A—aku kerja di sini, Kak!" jawab Sinta terbata-bata. Aku tersenyum sinis mendengarnya, sambil melepas kasar pegangan tanganku pada dagu Sinta. Setelah melihat Sinta dengan wajah piasnya tadi, aku bisa menebak jika ada yang mereka tutupi dariku. Sedangkan Farah hanya bergeming, dengan posisi duduk santai di lantai teras menghadap ke arah kami. Sesekali mengecek posisi benda yang di pasangnya tdi, agar tetap dalam posisi tepat. "Jawab jujur pertanyaan
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status