Pukul Setengah satu siang, setelah melakukan kewajiban seorang hamba, dan memenuhi hak perut untuk diisi. Aku mengikuti Farah, kemana ia akan membawaku hari ini.
Kami mulai melaju di jalanan ramai, meski tak seramai ibu kota. Aku duduk di samping kursi kemudi, dengan debar hati tak karuan, memikirkan akan seperti apa takdir yang tengah menungguku di depan sana. Farah duduk di depan kemudi, melajukan kendaraan roda empat berwarna putih, yang ia beli dari hasil kerja kerasnya bulan lalu. "Kamu kenapa sih, Na? Gak usah tegang gitu, Na," ucap Farah berusaha mencairkan hatiku. "Entah lah, Fa."Aku mengedarkan pandangan, menyapu jalanan kota, memindai setiap yang kami lalui dengan tatapan kosong. Kepalaku terasa penuh sesak, hingga tak mampu lagi berpikir tentang hal-hal di sekelilingku. "Nih, minum dulu!" Farah menjulurkan tangan kirinya yang berisi sebotol air mineral kemasan, untukku. Sedang tangan kanannya memegang kemudian. Aku menerimanya, dan langsung meminumnya sedikit. "Makasih untuk kesediaanmu, Fa! ucapku sambil menoleh ke arah Farah dengan mata sendu. Farah membalasnya dengan anggukan. Matanya menatap lurus ke depan, berusaha berkonsentrasi pada jalanan aspal di hadapannya. Namun, tetap berusaha menenangkan hatiku melalui kata-katanya. "Kau tak perlu berlebihan, Na, aku menganggapmu tak beda seperti saudara sendiri. Dan aku ingin sampai kapan pun semuanya tetap tak ada yang berubah di antara kita." Farah tersenyum begitu manis sambil melirik sekilas ke arahku. Aku pun membalasnya dengan hal serupa. Setelah itu kami terdiam lama, sibuk dalam pikiran masing-masing. Mobil yang dikemudikan Farah memasuki kawasan pinggiran kota, meninggalkan jalanan lebar dengan deretan toko-toko besar maupun kecil memagarinya. "Kita mau kemana sih, Fa?" tanyaku memecah bisu di antara kami. Farah memelankan laju mobil, saat memasuki jalan yang lebih sempit, menatap sekilas ke arahku yang tengah menatapnya penuh tanya. "Kau akan tahu nanti! Kumpulkan saja bukti-bukti, mungkin itu akan kau butuhkan nanti," ucapnya kemudian. Ponsel dalam tas mini milikku kembali berdering. Kurogoh kantong tas yang sejak tadi berada di pangkuanku. Menatap malas pada layar setelah membaca nama penelpon. Kumatikan panggilan telponnya, kemudian menonaktifkan ponselku kembali. "Kenapa gak diangkat, Na?" tanya Farah, yang hanya kujawab dengan tarikan napas panjang. Mobil itu melaju semakin pelan, tak lama kemudian melipir ke halaman luas sebuah rumah tanpa pagar. Tepat di bawah pohon mangga yang tumbuh subur di hadapannya, Farah memarkirkan mobilnya. "Rumah siapa ini, Fa? Ini kayaknya rumah kosong, deh. Mau ngapain, sih?" Rasa penasaran membuatki tak mampu membendung deretan pertanyaanku barusan. "Sstttt!" Farah meletakkan telunjuknya di bibirku. "Diem, Na!" ucap Farah, dengan makna perintah. "Coba liat, Na, rumah itu!" Farah menunjuk sebuah rumah mewah berlantai dua, yang berdiri beberapa puluh meter dari tempat kami berada, dan berada di sebelah kanan jalan. Rumah dengan konsep minimalis itu terlihat mewah, dengan warna dinding di cat dengan warna silver. Halaman luas membentang di depannya beralaskan rerumputan hijau, yang tumbuh dengan rapi."Itulah rumah Rania, Na!" ujar Farah sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah rumah itu. Bayangan perempuan itu tengah bermesraan dengan Bang Haikal menari-nari di kepalaku, membuat emosiku kembali menguar. Di rumah itulah rupanya, mereka melakukan hal-hal yang kini telah menghancurkan hatiku. Mata kembali memanas, menahan sesak yang kembali menyiksa. Apakah karena perempuan itu kaya, lantas Bang Haikal mencampakkanku, dengan cara yang luar biasa sakit ini. Aku benar-benar merasa tak dihargai sekarang. "Kau tau semuanya, Fa?" Selidikku dengan menadahkan kepala, berusaha untuk tak menangis."Cukup banyak!""Kok bisa?""Aku udah bergerak satu langkah di depanmu, Na! Sekarang kau tinggal katakan, kita mau apa sekarang? Kau harus kuat, dan tak boleh cengeng, Na. Zana yang kukenal orangnya kuat, gak lembek!" ujar Farah terdengar seperti sindiran. Aku tersenyum kecut mendengar kata-kata terakhir Farah. Apakah diri ini benar-benar sudah berubah menjadi cengeng sekarang? "Apakah kita harus masuk, Fa?" Aku bertanya. "Tak harus sekarang, Na. Perempuan itu pun sedang tak ada di rumah jam segini."Belum sempat aku bertanya banyak hal ke Farah. Mataku membulat utuh, saat pandanganku tertuju pada seseorang yang sangat kukenal, baru saja keluar dari rumah yang sedari tadi jadi objek pembicaraan kami. Perempuan itu duduk di kursi teras yang menghadap taman, sebelah kanan rumah. Seperti menunggu seseorang. "Fa! Liat tuh!"Aku menunjuk ke arah yang sejak tadi menyita perhatianku. Farah mengikuti ke mana arah telunjukku terarah. Pandangan kami terhenti pada sosok yang sama. "Kua ken
Aku menarik bahu Sinta yang berada di genggamanku, memutar posisi tubuhnya untuk kembali menghadap ke arahku. Sinta tak menolak, entah karena apa, dia hanya menurut dengan semua perlakuanku. Kutatap Sinta dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sintia berusaha menghindar tatapanku. Ada yang tak biasa dengan tubuh gadis berstatus belum menikah itu. Perut Sinta seperti wanita yang tengah memasuki kehamilan usia tua.Aku mengangkat dagu Sinta, agar menatap tepat pada mataku, "Kamu ngapain di sini?" tanyaku dengan menatap tajam netra Sinta. "A—aku kerja di sini, Kak!" jawab Sinta terbata-bata. Aku tersenyum sinis mendengarnya, sambil melepas kasar pegangan tanganku pada dagu Sinta. Setelah melihat Sinta dengan wajah piasnya tadi, aku bisa menebak jika ada yang mereka tutupi dariku. Sedangkan Farah hanya bergeming, dengan posisi duduk santai di lantai teras menghadap ke arah kami. Sesekali mengecek posisi benda yang di pasangnya tdi, agar tetap dalam posisi tepat. "Jawab jujur pertanyaan
Aku melirik sinis ke arahnya. Perempuan itu seakan tak memiliki rasa bersalah sedikit pun saat melihatku. Farah terlihat mengepal tangannya, dengan deru napas naik turun"Iya, Bu! Coba Ibu lebih cepat datang, pasti aku gak bakal kena maki-maki dari tadi, huh!" adu Sinta pada Rania yang kini sudah duduk di kursi teras, yang tadi didudukinya. Rania mengangkat satu kaki dan menimpakan pada kaki lainnya, menyender punggungnya pada sandaran kursi. Wajahku serasa tebakar, mendengar ucapan Sinta barusan. Bisa-bisanya perempuan dengan wajah polosnya tadi kini bak ular berbisa. Emosi di kepalaku kian meletup-letup. Jika bukan sebagai tamu, maka sudah kupastikan tanganku ini akan mendarat di bibir perempuan licik itu. Plak! Plak! "Auu!" teriak Sinta kesakitan. Tangannya spontan mengusap pipi yang mulai tampak kemerahan. Aku tersentak, lalu menoleh ke arah Farah. Dua kali tamparan mendarat dengan sempurna di kedua pipi Sinta. Entah kapan Farah bangkit dari duduk santainya. Kini mata sahabatk
Mentari sudah semakin condong ke arah barat, sebentar lagi waktu ashar akan menyapa. Di dapur rumah orang tuanya, Haikal berjalan mondar-mandir dengan tangan menggenggam ponsel miliknya. Wajahnya tampak gusar, menanti Sang istri yang tak kunjung pulang. Beberapa kali menelpon pun hasilnya masih sama, Sang operatorlah yang menjawab sambungan telponnya. Pesan yang ia kirimkan sejak siang tadi masih centang satu, pertanda belum masuk Dari pagi tadi, Harry sudah dititipkannya di rumah Kak Lila, hingga sekarang belum dijemputnya. Beberapa kali terlihat Haikal mengusap wajahnya dengan kasar. Jika bukan karena ibunya, mungkin Haikal tak akan segusar ini menunggu kepulangan Zana. Ya, perempuan renta itu masih belum makan hingga sore ini. Beberapa kali ibunya hanya membasahi kerongkongannya dengan air putih saja.Haikal begitu khawatir dengan ulah Sang Ibu. Beberapa kali membujuk pun tak ada hasil. Beberapa kali Haikal melihat ibunya, perempuan itu tengah menyeka air mata dengan tangan kiri
Aku kembali menatap Farah dengan tatapan tak paham, sembari mengayunkan langkah berjalan beriringan dengannya. "Jangan khawatir, setelah sampai rumahku nanti, akan kuceritakan semuanya!" ujar Farah setelah duduk di kursi belakang kemudi, membuat bibirku berhenti melempar tanya. Mobil yang Farah kendarai, kembali melaju di jalanan aspal. Selang beberapa menit suara adzan terdengar bersahutan, dari satu masjid ke masjid lainnya di tengah kota tempat di mana kami berada. "Fa, kita berhenti di masjid di depan saja, ya?" ucapku dengan telunjuk terangkat, menunjuk ke arah sebuah masjid dengan menara yang sudah nampak dari sini. "Siap!" jawab Farah singkat dengan tangan dalam posisi 'hormat'. Tak lama setelahnya, mobil sudah terparkir sempurna di depan bangunan masjid besar yang didominasi warna hijau di tengah kota. Kuhirup dalam-dalam aroma ketenangan, setelah tubuh ini berada di dalam masjid, seusai berwudhu. Kali ini, aku ingin menunaikan kewajibanku di masjid. Meluahkan segala luka
Mataku membulat utuh, dengan mulut menganga lebar. Rasa tak percaya dengan apa yang kulihat. Ternyata Pak Hartono yang disebut-sebut Farah tadi adalah suami Tante Nadia—tantenya Farah. Beberapa foto hingga video yang memperlihatkan keintiman dua orang berbeda jenis, dan terpaut usia yang cukup jauh. Ya, Om Hartono sudah berusia lebih dari setengah abad, sedangkan Rania lebih muda dariku. "Asli, Fa. Gil*! Demi apa coba, dalam waktu bersamaan menjalin hubungan dengan dua lelaki beristti." Berkali-kali kugelengkan kepala dengan dahi berkerut. Rasa tak habis pikir, jika di dunia ini ada perempuan separah Rania. Aku sampai merinding melihat Rania yang dengan santainya, menggelendot di bahu Om Hartono, lelaki yang hampir seumuran ayahku. "Kok, bisa punya rasa ya, Fa?" Aku bertanya kurang yakin dengan apa yang kulihat. "Demi uang, Na, semuanya bisa terjadi," ucap Farah terdengar santai. Aku mengangguk pelan, mengiyakan jawaban Farah barusan. Om Hartono memang seorang pengusaha di bidan
"Aku ingin pulang saja, Fa!" ucapku, seraya bergegas berdiri. "Ke mana? Tadi, katanya lelah?" "Ke rumah mertuaku saja."Farah terlihat mengerutkan dahinya, lalu menghembuskan napas panjang dari mulutnya. "Ibu membutuhkan aku, Fa! Aku tak tega membiarkannya bersedih terlalu lama." Tak terasa mataku mengembun. Kebencianku kepada Bang Haikal semakin menggunung. Karena ulahnya, lah, Ibu jadi begini. "Apakah kau masih akan bertahan dengan lukamu, Na? Haikal bukanlah orang yang tepat untuk kau perjuangkan!" tanya Farah tak bersemangat. Kuraih pundah Farah, menatap lekat mata sahabatku itu, "Beri aku waktu, Fa! Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk pergi.""Baiklah!" ucap Farah, setelah beberapa saat terdiam. "Jangan menangis lagi!" Lanjutnya, seraya tertawa kecil. "Iya, iya … semoga kau berjodoh dengan lelaki yang menjaga kuat kepercayaan, supaya kau tak mengalami nasib sepertiku." Farah merangkul tubuhku, mengusap lembut punggungku, "Aku tak ikhlas kau diperlakukan begini," uc
Sejak pertemuannya dengan Farah dan Zana siang tadi, kekhawatiran tak lepas dari wajah Rania. Khawatir jika Haikal akan tahun hubungannya dengan Pak Hartono—lelaki tajir yang berhasil dijadikannya sapi perah untuk kesekian kalinya. Rania hanya memanfaatkan kekayaan dari lelaki tak sadar umur itu saja, jika tidak mana sudi perempuan muda seperti dirinya tidur bersama lelaki yang pantas menjadi ayah baginya. Pertemuan pertama mereka terjadi, saar tak sengaja mobil yang Rania kendarai menyerempet mobil Pak Hartono hingga mengakibatkan bemper pada sisi kanan mobil mengalami kerusakan. Pak Hartono meminta ganti rugi, atas kerusakan mobil mewah miliknya. Namun Rania berhasil merubah kecelakaan yang menimpanya, menjadi sebuah anugerah. Dengan modal godaan tak seberapa, lelaki itu sudah takluk pada Rania. Setelah kejadian itu, keduanya menjadi sering bertemu, hingga menjalin hubungan tak sehat. Dengan tinggi badan 155 sentimeter, dan berat badan 45 kilogram, Rania tergolong mungil. Wajah