Share

Part 8. Bantuan Farah

Pukul Setengah satu siang, setelah melakukan kewajiban seorang hamba, dan memenuhi hak perut untuk diisi. Aku mengikuti Farah, kemana ia akan membawaku hari ini. 

Kami mulai melaju di jalanan ramai, meski tak seramai ibu kota. Aku duduk di samping kursi kemudi, dengan debar hati tak karuan, memikirkan akan seperti apa takdir yang tengah menungguku di depan sana. 

Farah duduk di depan kemudi, melajukan kendaraan roda empat berwarna putih, yang ia beli dari hasil kerja kerasnya bulan lalu. 

"Kamu kenapa sih, Na? Gak usah tegang gitu, Na," ucap Farah berusaha mencairkan hatiku. 

"Entah lah, Fa."

Aku mengedarkan pandangan, menyapu jalanan kota, memindai setiap yang kami lalui dengan tatapan kosong. Kepalaku terasa penuh sesak, hingga tak mampu lagi berpikir tentang hal-hal di sekelilingku. 

"Nih, minum dulu!" Farah menjulurkan tangan kirinya yang berisi sebotol air mineral kemasan, untukku. Sedang tangan kanannya memegang kemudian. Aku menerimanya, dan langsung meminumnya sedikit. 

"Makasih untuk kesediaanmu, Fa! ucapku sambil menoleh ke arah Farah dengan mata sendu. 

Farah membalasnya dengan anggukan. Matanya menatap lurus ke depan, berusaha berkonsentrasi pada jalanan aspal di hadapannya. Namun, tetap berusaha menenangkan hatiku melalui kata-katanya. 

"Kau tak perlu berlebihan, Na, aku menganggapmu tak beda seperti saudara sendiri. Dan aku ingin sampai kapan pun semuanya tetap tak ada yang berubah di antara kita." Farah tersenyum begitu manis sambil melirik sekilas ke arahku. Aku pun membalasnya dengan hal serupa. 

Setelah itu kami terdiam lama, sibuk dalam pikiran masing-masing. Mobil yang dikemudikan Farah memasuki kawasan pinggiran kota, meninggalkan jalanan lebar dengan deretan toko-toko besar maupun kecil memagarinya. 

"Kita mau kemana sih, Fa?" tanyaku memecah bisu di antara kami. 

Farah memelankan  laju mobil, saat memasuki jalan yang lebih sempit, menatap sekilas ke arahku yang tengah menatapnya penuh tanya. "Kau akan tahu nanti! Kumpulkan saja bukti-bukti, mungkin itu akan kau butuhkan nanti," ucapnya kemudian. 

Ponsel dalam tas mini milikku kembali berdering. Kurogoh kantong tas yang sejak tadi berada di pangkuanku. Menatap malas pada layar setelah membaca nama penelpon. Kumatikan panggilan telponnya, kemudian menonaktifkan ponselku kembali. 

"Kenapa gak diangkat, Na?" tanya Farah, yang hanya kujawab dengan tarikan napas panjang. 

Mobil itu melaju semakin pelan, tak lama kemudian melipir ke halaman luas sebuah rumah tanpa pagar. Tepat di bawah pohon mangga yang tumbuh subur di hadapannya, Farah memarkirkan mobilnya. 

"Rumah siapa ini, Fa? Ini kayaknya rumah kosong, deh. Mau ngapain, sih?" Rasa penasaran membuatki tak mampu membendung deretan pertanyaanku barusan. 

"Sstttt!" Farah meletakkan telunjuknya di bibirku. 

"Diem, Na!" ucap Farah, dengan makna perintah. 

"Coba liat, Na, rumah itu!" Farah menunjuk sebuah rumah mewah berlantai dua, yang berdiri beberapa puluh meter dari tempat kami berada, dan berada di sebelah kanan jalan. 

Rumah dengan konsep minimalis itu terlihat mewah, dengan warna dinding di cat dengan warna silver. Halaman luas membentang di depannya beralaskan rerumputan hijau, yang tumbuh dengan rapi.

"Itulah rumah Rania, Na!" ujar Farah sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah rumah itu. 

Bayangan perempuan itu tengah bermesraan dengan Bang Haikal menari-nari di kepalaku, membuat emosiku kembali menguar. Di rumah itulah rupanya, mereka melakukan hal-hal yang kini telah menghancurkan hatiku. 

Mata kembali memanas, menahan sesak yang kembali menyiksa. Apakah karena perempuan itu kaya, lantas Bang Haikal mencampakkanku, dengan cara yang luar biasa sakit ini. Aku benar-benar merasa tak dihargai sekarang. 

"Kau tau semuanya, Fa?" Selidikku dengan menadahkan kepala, berusaha untuk tak menangis.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Selpina Sitompul
Ceritanya keren...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status