Sudah beberapa hari ini Baiq sering sekali menangis tiba-tiba, apalagi setiap malam hari sampai subuh Baiq tidak pernah berhenti menangis dan sulit untuk tidur lagi. Dibujuk dengan berbagai cara tetap tidak mempan. Bu Nining yang terganggu dengan suara tangisan dari Baiq itu selalu marah-marah dan pernah mengusir Gayatri juga kedua anaknya karena terus-menerus mengganggu tidurnya.
"Mungkin Baiq teringat dengan ayahnya," ucap Bu Uri ketika Gayatri bercerita pada ibu juragan sayuran itu."Kadang Ghifari juga sering tiba-tiba ingat sama ayahnya.""Apa dulu Hendar ada keinginan yang belum tercapai untuk anak-anaknya?"Gayatri mencoba mengingat-ingat rencana jangka panjang yang dulu disusun oleh mereka berdua."Dulu sebelum Mas Hendar mau merantau ke Bandung, katanya nanti kalau sehabis lebaran mau khitanan Ghifari sama Baiq, sekalian akikah semuanya.""Begitu, ya?" Bu Uri mengangguk-angguk. "Kayaknya kedua anak kamu harus segera dikhitan, Tri.""Kira-kira biayanya berapa ya, Bu?""Waktu jaman anak ibu dulu sih gak sampai satu juta. Tapi sekarang sudah beda jaman, ibu juga kurang tahu. Kalau mau khitan, ke mantri Ajat saja, bisa dipanggil ke rumah jadi kita gak perlu repot-repot ke sana.""Kalau harga kambing berapa ya?"Bu Uri mengernyit. "Kenapa kamu gak pakai kambing yang ada saja?""I-itu... itu bukan kambing punya saya.""Itu kambing punya kamu, Tri. Punya Hendar juga. Bukan punya mertua kamu.""Tapi, Bu...""Kamu takut sama mertua kamu?"Gayatri hanya diam, tapi Bu Uri sudah tahu jawabannya."Memang susah kalau hidup bareng sama mertua, apalagi segalanya diatur oleh mertua. Ibu heran kenapa pula mertua sama ipar kamu tiba-tiba pindah rumah ke rumah kamu, bukan menetap di rumahnya."Itu yang sering Gayatri pikirkan, ketika Hendar sudah tidak ada, awalnya Gayatri senang karena Bu Nining tinggal di rumahnya, jadi Gayatri tidak terlalu kesepian. Tapi makin ke sini, Gayatri menjadi semakin muak satu atap dengan orang yang dzolim itu."Mungkin karena rumah yang saya sama Mas Hendar bangun itu tanah warisan dari ibu, jadi mungkin ya... begitu."Bu Uri kembali mengembuskan napas, sebenarnya ia ingin membicarakan banyak hal tentang kebusukan Bu Nining, tetapi ia mencoba menahannya karena tidak tega melihat Gayatri."Kamu rundingkan dulu sama ibu mertua kamu. Kalau dia menolak, benar-benar keterlaluan banget ibu mertua kamu itu, Tri."Dan malam harinya, ketika selesai makan malam, Gayatri mengutarakan keinginannya. Dan sesuai perkiraan, Bu Nining menolak mentah-mentah usulan dari Gayatri untuk segera mengkhitan kedua anaknya."Kamu pikir biayanya murah, hah? Memangnya kamu punya uang? Ibu juga uang dari mana? Kamu jangan mengada-ada.""Gayatri bisa pinjam dulu ke bank, Bu.""Pinjam?" Bu Nining menyiram wajah Gayatri dengan air kopi milik Bu Nining yang sudah tinggal setengah. "Kamu pikir bisa bayar tiap bulannya, hah? Kamu mau semakin mempersulit hidup ibu yang sudah tua ini? Apa nanti kata orang-orang kalau kamu telat bayar dan didatangi oleh mantri bank? Bikin malu keluarga aja."Bu Nining pergi ke kamarnya— "Makanya kalau punya anak itu jangan anak laki-laki biar gak nyusahin." —dan membanting pintu kamar sampai menimbulkan suara dentuman.Damilah yang merasa terusik oleh obrolan tersebut berdecak kesal dan menatap wajah Gayatri dengan sebal. Damilah juga segera pergi dari ruangan tengah dan menuju ke kamarnya.Gayatri menangis dalam diam, ia membereskan gelas dan piring bekas mertua dan iparnya. Ia mencuci wajah dengan sabun dan tidak berhenti menangis. Sehina itukah Gayatri di depan ibu mertuanya sampai dirinya disiram bagai hama seperti itu?"Mas..., aku sudah tidak kuat tinggal di sini. Aku ingin segera pergi dari sini." Isakan pelan dari mulut Gayatri itu terdengar sangat memilukan.Mana ada orang yang tahan hidup dengan orang-orang yang memperlakukan dirinya sangat buruk seperti itu.***Gayatri diam mematung saat melihat juragan kambing membawakan seekor kambing ke rumah Bu Nining yang sekarang ditempati oleh anak keduanya. Dari desas-desus yang beredar kalau Engkom alias Komariah, adik iparnya Gayatri itu akan mengakikah anaknya. Pantas saja akhir-akhir ini Kholik dan Bu Nining sering pergi ke pasar dan membeli segala macam sayuran juga bumbu dapur."Gayatri! Jangan diam saja! Cepat ke sini bantuin ibu beresin barang-barang." Bu Nining kesal melihat Gayatri yang seperti patung tidak bergerak sama sekali.Gayatri dengan langkah yang berat berjalan menuju teras depan dan membantu mengangkat tumpukan sangku kecil untuk wadah makanan yang nantinya dibagikan kepada para tetangga."Apa lagi yang belum dibeli?" tanya Bu Nining."Nanti saja beli lagi kalau pas udah digarap, jadi kita tahu yang mana saja yang kurang," jawab Engkom."Ya udah, ini ATM-nya simpan, Kom.""Iya, Bu."Hati Gayatri sangat teriris melihat semua kenyataan ini. Ibu mertuanya yang lebih mementingkan kepentingan anaknya terlebih dahulu daripada menantunya. Apalagi semua biaya akikah ini menggunakan uang milik Gayatri. Gayatri tahu kalau ATM yang diberikan oleh Bu Nining pada Engkom itu adalah kartu ATM miliknya. Gayatri tahu persis barang miliknya karena ATM Gayatri itu sudah lama, sudah banyak noda dan warnanya sedikit memudar.Selesai beres-beres di rumah Engkom, Gayatri langsung pulang karena mulai besok acara akikahnya akan dimulai.Sepanjang hari ini hari Gayatri rasanya tidak keruan. Ia ingin marah, ia ingin menangis, ia ingin mengamuk dan menyalahkan orang-orang.Gayatri benar-benar kecewa. Kenapa dirinya selalu disepelekan? Kenapa dirinya selalu tidak dianggap? Kenapa dirinya selalu dihinakan? Kenapa mertuanya tidak menyayanginya? Apa salah Gayatri sehingga ibu mertuanya selalu berperilaku buruk seperti itu terhadapnya?Padahal selama menikah dengan Hendar, Gayatri sedikit pun tidak pernah lupa dengan ibu mertuanya itu. Kalau Hendar gajian, Gayatri sering menyisipkan uang untuk ibu mertuanya, setiap bulan sering membelikan perlengkapan mandi dan mencuci. Setiap Gayatri masak yang enak, Gayatri tidak pernah lupa memberikannya barang sedikit. Setiap di sawah, ladang dan di kebun ada pekerjaan, Gayatri selalu membantunya. Jadi, Gayatri kurang apa? Apa yang kurang? Gayatri harus berbakti seperti apa lagi pada ibu mertuanya itu?Jika memang Gayatri adalah menantu yang tidak diinginkan, kenapa dulu Bu Nining memberikan restu untuk menikahi Gayatri? Ketika sudah terlanjur, kenapa juga dulu saat Gayatri belum memiliki anak, Bu Nining tidak menyuruh Hendar untuk menceraikan saja Gayatri?Kenapa? Kenapa? Kenapa?Hanya kata-kata itu yang sekarang berputar di otak Gayatri.Ibu, Ghifari dan Baiq itu adalah cucumu juga. Kenapa mereka berdua tidak pernah kau sayangi dan kau anggap? Jika ibu benci dan tidak suka padaku, cukup bencilah saja aku. Jangan kau bawa-bawa anakku karena mereka tidak bersalah, mereka tidak tahu apa-apa. Jangan melibatkan mereka dengan ego-mu, Bu.Gayatri menjerit dalam hati.Uang yang sudah hak-nya Ghifari dan Baiq malah dipakai oleh orang lain. Gayatri benar-benar tidak ikhlas uangnya dipakai untuk keperluan orang lain meskipun itu saudaranya sendiri. Yang lebih berhak atas uang santunan itu kedua anak Hendar dan istrinya, bukan ibunya Hendar apalagi adik dan keponakannya.Gayatri terisak. Ia benci pada dirinya yang lemah ini karena tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak bisa bersikap tegas pada keluarga suaminya.Harus bersabar sampai kapan lagi Gayatri menghadapi ujian kehidupan ini?"Gayatri, bisa bicara sebentar?" tanya Bu Nela setelah Gayatri selesai mengerjakan pekerjaan rumah.Gayatri hanya mengangguk. Kemudian ia mengikuti Bu Nela dan duduk di kursi santai di balkon apartemen Bram."Jadi begini, saya sudah membicarakan hal ini dengan Bram tadi malam. Saya berencana mengerjakan kamu menjadi baby sitter, untuk masalah gaji kamu tenang saja, tidak usah khawatir. Gaji kamu akan naik dua kali lipat." Bu Nela menatap Gayatri. "Kamu sanggup, kan?""Saya sanggup, Bu.""Lusa kamu mulai pindah ke sini.""Eh? Maaf, Bu?""Bram nggak bilang, ya?"Gayatri menggeleng.Bu Nela menjelaskan. "Jadi gini, karena kamu akan mengurus bayi, jadi tidak mungkin kalau kamu harus pulang pergi, apalagi bayi selalu terbangun tengah malam. Jadi kamu akan tinggal di sini, di apartemen sebelah Bram. Kebetulan itu apartemen punya saya. Sebenarnya saya menyuruh Bram untuk tinggal di rumah. Tapi ia tidak mau.""Lalu apakah anak-anak saya juga ikut?""Benar. Kamu bawa saja anak-anak ke sini. Na
"Pak Bram!" Gayatri mengetuk pintu. Meskipun kemarin Bram mengatakan kalau hendak membangunkannya Gayatri masuk saja ke kamar tapi Gayatri sungkan. Masa iya seorang janda seperti dirinya harus masuk ke dalam kamar bujangan yang tengah tertidur pulas. "Saya sudah bangun, Tri!" Gayatri langsung kembali ke dapur untuk mengambil vacum cleaner dan pel-an. Untuk hari ini ia tidak mencuci baju karena kata Bram, Gayatri mencuci bajunya dua atau tiga hari sekali saja. Pukul setengah tujuh pagi Bram sudah rapi dan bersiap untuk berangkat. Gayatri juga sudah selesai membereskan rumah dan sekarang ia hendak pulang untuk bekerja di rumah yang lain. Bram juga sudah memberikan ijin untuk Gayatri bekerja yang lain asalkan nanti pas bagian bekerja di rumahnya, Gayatri datang tepat waktu. Gayatri bekerja dari rumah ke rumah sebagai buruh cuci. Kalau ada yang menyuruhnya untuk menyetrika, Gayatri menolaknya karena menyetrika menyita banyak waktu. Ia melakukannya harus berada di waktu yang benar-bena
Seorang lelaki berperawakan tinggi dan berkulit kecokelatan dengan potongan rambut bergaya undercut itu menguap lebar. Sambil menunggu pintu lift terbuka ia mencoba membuka matanya lebar-lebar supaya kesadarannya masih terjaga. Pekerjaannya dari luar kota menguras tenaganya, ditambah perjalanan yang jauh membuatnya benar-benar lelah dan ingin segera beristirahat.Selang beberapa menit kemudian dirinya sudah sampai di depan pintu apartemen miliknya. Ia membuka kunci kemudian masuk. Keningnya sedikit mengkerut melihat ada sandal lusuh. Sepertinya itu milik asisten rumah tangga yang baru. Aroma masakan juga mulai tercium harum menyeruak ke seisi ruangan. Laki-laki itu yang sedang lelah dan kelaparan perutnya semakin perih dan tidak sabar untuk makan."Ini beneran apartemen-ku, bukan, sih?" gumam laki-laki itu. Ia terkejut melihat seorang perempuan muda yang tengah mengelap meja dapur. Sebuah menu masakan sudah terhidang di meja makan.Laki-laki itu kembali ke luar apartemen, hanya untuk
"Minum dulu, Tri." Asti memberikan air hangat untuk Gayatri dan kedua anaknya.Gayatri baru saja sampai di Pelabuhan Merak setelah beberapa jam mengarungi lautan dari Pelabuhan Bakauheuni.Ya, benar, Gayatri sekarang berada di Pulau Jawa, ia tidak benar-benar pergi ke Batam sesuai apa yang dikatakan Alin pada keluarga Bu Nining dan para warga.Pelarian Gayatri ini dibantu oleh ketiga sahabatnya yang berada di Lampung, keluarga Bu Uri, Pak RT dan beberapa warga yang lain. Gayatri kabur dari rumah tepat pukul satu malam saat ibu mertuanya dan adik iparnya sedang tidur pulas. Sengaja Gayatri memilih waktu tersebut karena memang Gayatri sudah terbiasa bangun tengah malam, jadi kalau Bu Nining terbangun ia tidak akan curiga kalau menantunya itu sebenarnya sedang melarikan diri.Gayatri pergi menggunakan mobil pickup milik Bu Uri, sekalian Bu Uri mengantarkan sayuran ke pasar subuh. Perjalanan yang sangat menegangkan bagi Gayatri itu sekarang sudah selesai. Ia bisa bernapas lega dan hatinya
Sampai pukul tujuh pagi Gayatri dan kedua anaknya tidak kunjung datang juga ke rumah. Bu Nining sudah tidak enak duduk, tidak enak makan dan sebagainya. Ia terus saja mondar-mandir dan sesekali berdecak kesal, kepalanya terus menoleh ke arah jalan, siapa tahu nanti begitu Gayatri muncul, ia akan langsung memborbardir Gayatri dengan amukan yang meledak-ledak.Setengah jam kemudian, ada sebuah mobil pickup berwarna hitam yang sering digunakan untuk mengangkut hewan ternak berhenti di depan rumah Gayatri.Bu Nining mengerutkan keningnya kemudian menghampiri sopir dan seorang yang duduk di kursi penumpang."Lho, juragan Iwan. Mau ke mana?" tanya Bu Nining."Ini saya mau mengambil ternak milik Gayatri, Bu.""Ternak? Ternak apa?" Bu Nining terheran-heran."Kambing milik Gayatri. Kemarin lusa Gayatri menjual semua kambingnya ke saya. Dan hari ini saya mau mengambil semuanya termasuk ayam-ayam yang Gayatri pelihara.""Mengambil? Gayatri menjual kambing? Kok saya gak tahu? Juragan Iwan jangan
Darsa sudah melaksanakan pertunangan dengan anak Pak RW, tanggal pernikahan mereka juga sudah direncanakan dan kabar tersebut sekarang menjadi topik perbincangan hangat di antara para warga desa. Termasuk Bu Nining, dengan kesal ia membicarakan dua sejoli itu. Bahkan sampai saat ini Bu Nining selalu saja menyalahkan Gayatri atas gagalnya rencana mengenalkan Damilah pada Darsa.Pernah waktu kemarin saat kabar Darsa berpacaran dengan anaknya Pak RW, Bu Nining menyalahkan Gayatri dan memaki menantunya itu. Bu Nining juga sempat main tangan dan mulutnya berkata kasar saking emosinya. Ia juga selalu menyuarakan untuk Gayatri hengkang dari rumahnya. Ralat, ini sebenarnya rumah milik Hendar. Sertifikat dan SPPT juga atas nama Hendar. Meskipun ini adalah tanah warisan, tetapi biaya pembangunan rumah semuanya atas jerih payah Hendar dan Gayatri. Dan sekarang, Bu Nining merasa tidak ikhlas saat tanah warisannya itu diambil alih oleh Gayatri, istri sah dari anaknya. Karena memang Gayatri-lah yan