Share

Dress Hitam

Tin!

Suara klakson mobil berwarna putih mengusik pendengarannya. Larrisa menatap tanpa gairah. Dia acuh, tidak menghiraukan mobil putih itu. Meski dia merasa aneh dan janggal saat menatap ke arah mobil tersebut. Larrisa terus fokus ke depan menunggu lampu jalan berubah warna.

Sekali lagi mobil itu mengklakson Larrisa, kini mobil itu tepat di sebelah perpijakannya. Awalnya dia mengira kalau mobil putih itu sedang menyapa wanita yg berdiri di sebelahnya, sampai akhirnya dia terbelalak melihat orang yang keluar dari mobil putih. Eliot turun dari dalam mobil dengan pakaian gagahnha. Yang paling membuat dia kaget setengah mati adalah ketika Eliot berjalan menghampiri dirinya.

"Ke-Kenapa kau bisa di sini?" Larrisa dengan bingung menatap ke sekeliling untuk memastikan bahwa Eliot memang menghampiri dirinya.

Larrisa bingung, kenapa seorang direktur yang sibuk semacam Eliot bisa secara kebetulan berada di dekat gedung. "Bukannya tadi kau kembali ke perusahaanmu?"

"Hanya kebetulan lewat," jawabnya membual. Dia menggaruk tengkuk lehernya.

Eliot pun merasa ada yang aneh dengan tingkahnya. Dia heran mengapa bisa berpikir untuk menghampiri Larrisa. Bahkan yang paling membuat dia merasa menjadi orang paling bodoh adalah ketika dengan nekat berani mengikuti Larrisa hingga ke gedung bak seorang penguntit.

Meski tidak percaya dengan kata kebetulan, Larrisa mencoba mengangguk dan meyakini perkataan Eliot. "Lalu kenapa kau malah turun dari mobil?" tanya Larrisa lagi.

Eliot terdiam sejenak. Dia pun sedang bertanya demikian pada dirinya sendiri. Jangankan Larrisa, dia pun bingung mengapa kakinya tiba-tiba menginjak rem mobil dan melangkah ringan menemui Larrisa.

"Kakekku ingin bertemu denganmu," jawab Eliot mengaur. Mulutnya asal celetuk. Hanya alasan itu yang terlintas di otaknya. Pria cerdas lulusan Oxford terbaik itu malah membodoh saat berbicara dengan Larrisa.

Eliot melonggarkan kerah bajunya lalu kemudian memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku. Seketika suasana menjadi begitu panas. Tenggorokannya kering setelah membual karangan bebas.

"Apa?!" Larrisa semakin tertekan. Bola matanya melebar besar seakan hendak keluar. "Secepat itu?"

"Intinya kau bersiap saja. Selanjutnya akan ku kabari nanti," sambung Eliot. Dengan cepat dia masuk ke dalam mobilnya tanpa berpamitan pada Larrisa.

Eliot tampak terburu-buru. Langkahnya seakan didesak waktu. Belum lagi karena tadi dia sempat salah arah saat berbalik ke arah mobilnya, membuat geraknya seperti orang salah tingkah.

Eliot menginjak pedal gas mobil milik managernya itu tanpa peduli akan Larrisa.

"Ada apa dengannya? Aneh sekali," kata Larrisa sambil melihat mobil putih itu menghilang dari pandangannya.

Larrisa tidak terlalu memikirkan tentang sikap awkward Eliot. Pikirannya kini dipenuh berisi tentang perjodohan dan kontrak perjanjian itu, apalagi setelah melihat wajah Eliot, dia semakin frustasi.

Dia sangat pusing hingga lupa dengan niatnya untuk pergi berjalan-jalan ke taman. Seleranya hilang sesaat melihat pria yang sudah membuatnya terpuruk menyedihkan.

Larissa kembali ke rumahnya, ingin mengurung diri selama beberapa hari kedepan. Dia tidak akan keluar meski dalam keadaan apa pun. Larrisa tampak terpuruk seperti orang hidup di bawah tekanan.

***

Fajar menyingsing dan menebus celah jendela kaca besar milik Larrisa. Membangunkan lelap malam itu. Dia membuka mata meski enggan melangkah. Mulai merangkak lambat sempoyongan membuka tirai tebal berwarna merah muda.

"Selamat pagi dunia fana!" teriak Larrisa sambil meregangkan badannya. Dia menghentakkan tangan dan kakinya, menghilangkan pegal di badan.

Larrisa turun dari kamarnya menuju meja makan untuk sarapan bersama ayahnya. Seperti biasanya, dia tidak pernah merapikan rambut kusutnya dan bahkan belum mencuci muka.

"Pagi, Ayah," sapa Larrisa.

Tuan Steven tersenyum bangga melihat putrinya, meski sedikit kecewa dengan penampilan putrinya yang begitu jorok dan pemalas.

"Wih, tumben Ayah tersenyum padaku pagi begini. Biasanya ceramah karena aku belum mandi," sindir Larrisa sambil menuangkan air ke gelas kosong di depannya. Dia langsung meneguk gelas yang penuh dalam sekali tegukan saja.

"Tidak … Ayah hanya sedang bersyukur," jawab Tuan Steven tanpa menghilangkan senyum indah itu. Dia terus menatap putrinya itu sambil berucap terima kasih karena akhirnya putrinya itu berhasil mendatangkan menantu idaman yang tampan dan cerdas.

"Benarkah? Ada kabar baik?"

"Tentu saja." Tuan Steven meletakkan potongan ayam di atas piring putrinya. "Putri Ayah akan segera menikah, siapa yang tidak senang?" Tuan Steven tertawa bahagia selepas mengucapkan kalimat syukurnya.

Uhuk!

Larrisa tersedak ayam goreng yang baru saja ditelan ke dalam mulutnya. "Siapa yang akan menikah?" tanya Larrisa dengan mata terbelalak.

"Hahaha, Tuan Erdogan bilang kalau cucunya sangat menyukai putri Ayah ini," jelas Tuan Steven.

Perasaan Larrisa sudah tidak enak. Dia mengkhawatirkan akhir dari kisahnya dengan Eliot. Semua hanya sandiwara, tapi kedua belah pihak keluarga begitu serius untuk menyunting Larrisa dan Eliot. Siapa yang menduga jika ternyata ayahnya sangat berharap dengan pernikahannya dengan Eliot?

Larrisa tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan ayahnya jika tahu kalau sebenarnya dia hanya berpura-pura menerima perjodohan tersebut. Dia tidak ingin ayahnya kecewa berulang kali karena dirinya, cukup untuk satu kebohongan, Larrisa tidak sanggup menambah kebohongan lainnya.

"Ayah, aku tidak benar-benar menginginkan pernikahan diantara kami," jelas Larrisa. Dia mengumpulkan keberanian untuk jujur kepada Tuan Steven. Dia merasa berdosa ketika harus menutupi tentang kontrak perjanjian yang dibuat oleh Eliot.

"Jangan terburu-buru, pelan-pelan saja." Tuan Steven tertawa lebar. Dia mengerti kisah anak muda, toh dia juga pernah mengalami. Tuan Steven murni mengira bahwa putrinya hanya kesulitan beradaptasi perihal perjodohan. "Nanti juga akan terbiasa," lanjutnya seolah paham.

Melihat raut wajah ayahnya yang begitu antusias, Larrisa putus asa. Dia merasa sia-sia bercerita pada ayahnya. Bagaimana menyadarkan orang yang sedang jatuh cinta? Begitulah sulitnya menjelaskan keadaan Larrisa pada Tuan Steven.

"Aku sudah kenyang. Mau mandi." Larrisa berhenti mengunyah. Dia mengecup pipi ayahnya dan kemudian naik ke atas kembali. "Semangat kerjanya, Ayah."

Di lain sisi pada waktu yang bersamaan, dengan keadaan yang sama. Eliot yang tengah sarapan pagi bersama kakeknya di ruangan besar dan mewah, terdengar perbincangan sunyi tentang perjodohan itu.

Meja bundar dikelilingi kursi berbaris melingkar, duduk seorang kakek dan cucu sedang menyantap masakan ala luar negeri. Dengan hanya ada pisau dan garpu di seberang tangan mereka. Masing-masing meletakkan kain putih di pangkuan mereka, mencegah percikan yang jatuh saat sedang menyuapi makan.

"Bagaimana…."

Belum sempat Tuan Erdogan menyelesaikan pertanyaannya, Eliot membuka mulut dan menyalip kalimat kakeknya itu. "Kakek bisa atur jadwal makan malam dengan putri Tuan Steven," katanya tanpa menatap Tuan Erdogan.

Trang!

Tuan Erdogan terbelalak dan berhenti dari suapan sendok garpu di tangannya. Dia meletakkan garpu itu lalu menatap cucunya dengan serius. "Apa yang kau katakan?"

Jantungnya hampir pecah saat cucunya yang kolot perihal wanita itu tiba-tiba membahas putri Tuan Steven. "Jangan main-main soal ini," sambung Tuan Erdogan tidak percaya.

Dia tidak yakin betul jika cucunya dengan mudah menerima perjodohan itu. Sudah berkali-kali dia ditipu cucunya, Eliot. Berulang kali dijanjikan pernikahan, sampai sekarang tidak ada satu wanita pun yang dihadirkan untuknya.

"Aku serius, Kakek," ucap Eliot meyakinkan. Meski wajahnya tidak melukiskan sebuah keyakinan.

"Jangan menipuku lagi. Aku sudah jera dijahili cucu durhaka sepertimu," jawab Tuan Erdogan tidak terpancing.

"Aku sudah mengundangnya. Tinggal memeberikan jadwal temu. Jika tidak bisa, aku akan batalkan." Jawaban Eliot begitu dingin. Seakan malas berdebat dengan kakeknya yang sukar percaya padanya. Memang salahnya karena terus menipu kakeknya soal calon istri, hingga kakeknya tidak percaya lagi padanya.

"Anak kurang ajar! Ajak dia sekarang, cepat!" kata Tuan Erdogan senang. Suaranya yang berat dan serak terdengar sangat bersemangat. Pipinya yang sudah berkerut itu melebar hingga sudut matanya menyipit. "Tentu saja dia harus sering makan dengan kita. Hubungan kalian harus lebih intim. Bukan begitu, Eliot, hahaha."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status