Sejak perdebatan dengan Jhon malam itu, suasana dingin kembali menyelimuti mansion Westwood. Julia memilih menjaga jarak dengan suaminya. Kalau bukan karena kasus penangkapan mafia yang melibatkan keluarga Antonietti, mungkin dia sudah pindah sekarang juga.
Hari ini, setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Julia bergegas ke rumah. Istirahat dan membaca buku yang dikirim Rebecca, sebab siang nanti akan ada pertemuan klub baca buku."July, kau ada acara hari ini?"Suara Jhon di ambang pintu berhasil mengalihkan matanya dari halaman buku."Ya, kenapa?"Alih-alih menyahut, Jhon malah menghampirinya. "Adakah tempat yang ingin kau kunjungi?""Tak ada. Aku sedang sibuk, tak sempat kemana-mana."Jhon mengangguk paham. "Besok jadwal sidang terakhir Jose."Untuk sesaat, Julia berhenti membaca deretan huruf di depannya. Nyaris dua bulan tak mendengar nama yang pernah menggores kenangan manis dan kengerian dalam hidupnyLima tahun kemudianJulia duduk santai di tepi danau. Matanya tak luput memandang suami dan kedua anaknya yang sedang naik perahu di tengah sana. Cahaya mentari memantul indah, membuat permukaan air seperti permata yang berkilauan. "Mom, lihat! Aku bisa mengayuh."Seruan si bungsu Jill membuat senyum lebar terbit di wajahnya. Ya, beberapa tahun terakhir, si kembar memutuskan untuk memanggilnya Mommy, sementara Vivienne mereka panggil Mother. Hal ini bikin hidup Julia terasa lengkap. Dia bisa saja kehilangan dua anak, tetapi dia mendapat dua anak juga sebagai gantinya. "Mom, aku jauh lebih kuat dari pada Jim." Seruan si bungsu terdengar lagi.Julia balas melambai sembari meneriakkan kata-kata penyemangat. Saat perahu makin jauh berlayar, barulah dia melirik pesan yang sudah sejak tadi singgah di gawainya. Pengirim pesan ini adalah Luke. [Dear July, aku bangga dengan pencapaianmu. Kulihat beberapa bukumu mas
Besok paginya, setelah memutuskan dengan penuh pertimbangan, Julia berangkat bersama Jhon. Saat akan naik ke mobil, Olivia tak hentinya menangis seraya berpesan. "Kalau suatu saat nanti hidupmu tak baik-baik saja, kembalilah kemari. Bibi akan selalu menerima."Tak ada yang bisa diucapkannya selain memeluk Olivia lebih erat. Setelah keduanya selesai melepas haru, Jhon pun pamit pada Olivia. "Kami pergi dulu. Di masa mendatang, kami akan berkunjung lagi."Usai berpamitan, mobil pun menderu, meninggalkan rumah pertanian semakin jauh. Julia terus menoleh ke belakang, hingga rumah tempatnya lahir dan menghabiskan masa muda, lenyap dari pandangan. "Kau sedih, Sayang?" tukas Jhon. "Sedikit. Bagaimana pun, aku sudah sebulan tinggal di sana.""Kapan-kapan kita kemari lagi."Jauh dalam hatinya, Julia tahu bahwa janji ini sulit ditepati. Begitu kembali ke Manhattan, sudah pasti Jhon akan kembali jadi robot gila kerja.
Sudah lewat waktunya makan siang saat mereka sampai di sana. Suasana agak gelap karena tempat yang mereka datangi tertutup pepohonan besar. "Jadi, tempat ini yang kau maksud?" tanya Jhon seraya memandang sekelilingnya takjub. "Tentu saja. Waktu kecil, aku sering bersembunyi di sini agar tak disuruh mencuci piring."Dengan gesit, Julia masuk ke dalam celah bebatuan tersembunyi, lalu duduk pada ceruk yang dalam. Tak butuh waktu lama bagi Jhon menyusul sang istri. Pria itu langsung duduk di sisi Julia dan melanjutkan asmara yang sempat terjeda. Api kerinduan membuat keduanya terbakar gairah. Beberapa saat berselang, ketika mereka terbaring bersimbah peluh, barulah hasrat yang menggelora itu padam. "Terima kasih, Sayang." Jhon berbisik lembut seraya mengecup kening istrinya. Perlakuan yang begitu manis membuat Julia makin larut dalam dekapan Jhon. Hari ini, dia mempertaruhkan segenap keyakinan demi bisa mereg
Kata-kata bibinya tempo hari masih terngiang di benak Julia. Meski demikian, hatinya masih dilema, antara kembali ke Manhattan atau menetap di tanah kelahiran. Saat ini, dia sedang serius menekuni laptopnya, namun jumlah kata yang diketik pada jendela aplikasi, tak bertambah satu huruf pun. Alih-alih berpikir, dia malah sibuk berandai-andai, bagaimana jadinya jika dia tak bersama Jhon lagi untuk selamanya. Dia menarik nafas kesekian kali, dalam upaya sia-sia untuk mengumpulkan niat menulis. Tetapi, belum sempat terlaksana, deru halus mobil terdengar di pekarangan rumah, diikuti Ketukan pada daun pintu sejurus kemudian. "Siapa?!" serunya seraya beranjak dari duduknya. Orang asing yang berdiri di balik sana tidak menyahut. Hal ini bikin Julia was-was, sebab bukan cuma sekali dia nyaris mati dalam percobaan pembunuhan. "Siapa di sana?" ujarnya lagi. Kali ini lebih keras dari yang tadi. Ketika tamu tak diundang ini bu
"Papa, aku datang hari ini... ."Tangis Julia tak bisa dibendung saat berkunjung ke pusara laki-laki yang sangat dia kasihi. Pada nisan yang usang, tertulis nama Sebastian Hernandez beserta tahun kelahiran dan kematian. Sedangkan di baris paling akhir tertera kutipan ayat kitab suci : Segala jalan Tuhan adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjianNya dan peringatan-peringatanNyaJulia tersenyum getir. Menjelang kematiannya, Sebastian memang kerap menyendiri di kamar, mengerjakan entah apa. Dan saat ajalnya tiba, Julia hanya menemukan tubuh yang terbujur beserta ayat yang ditandai dengan stabilo kuning pada kitab yang terbuka di sebelah tubuh kaku sang ayah. Apakah ayahnya tidak berpegang pada perintahNya sehingga Dia tidak menunjukkan belas kasihan? Pertanyaan ini berputar-putar di benak Julia untuk waktu yang lama, tetapi hingga detik ini dia belum menemukan jawaban. "Ah, Papa." Dia be
Dua pasang mata saling tatap, mencoba menyelami pikiran masing-masing. Sudah sepuluh menit berlalu, namun belum ada yang mulai bicara. Saat keheningan makin canggung, Jhon akhirnya menyerah. "July... kau sudah makan?"Dari begitu banyak kalimat yang mau diucapkan, yang keluar justru yang paling garing. Jhon langsung menyesal begitu mengatakannya. "Sudah."Hatinya melonjak girang saat Julia menyahut. Walau bukan jawaban paling ramah, setidaknya sudah mau bicara. Harap-harap cemas, Jhon melanjutkan lagi. "Kau mau keluar? Udara segar bisa bikin kesehatanmu cepat pulih."Julia tak mengangguk, tetapi bahasa tubuhnya menunjukkan bila dia tak keberatan. Jhon bergegas melepas selang dari kantung cairan infus, lalu memapah Julia ke atas kursi roda. Hatinya sakit saat menyadari betapa ringkih badan istrinya. Sudah memasuki musim gugur, namun udara di luar masih agak dingin. Jhon melepas coat panjangnya, lal