"Maaf, Nona Jasmine. Kami membutuhkan persetujuan dan pembayaran dalam waktu tiga hari. Jika tidak, kami tidak bisa melakukan tindakan medis lebih lanjut untuk Nenek Anda."
Suara seorang petugas kasir rumah sakit RSUP Candra Mulia terdengar tegas.
Jasmine berdiri kaku, memandang tagihan medis yang terasa seperti bom waktu di tangannya.
"Tiga hari?" gumamnya, hampir tidak percaya.
"Benar, kondisi pasien sangat kritis. Operasi katup jantung harus dilakukan segera. Kalau tidak, risiko gagal jantung akut meningkat," tambah wanita di balik meja dengan nada profesional tetapi dingin.
Jasmine hanya bisa mengangguk perlahan, menggenggam tagihan itu erat-erat. Langkah kakinya lemah saat meninggalkan loket pembayaran.
’Tiga hari... Bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Tuhan, aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.’ Jasmine mendesah panjang, tangan gemetar saat meremas tagihan di pangkuannya.
Matanya menerawang, mengingat masa kecilnya. "Aku cuma gadis desa dari Cipta Mandala. Dari dulu, Nenek yang selalu mendukungku. Beliau yang mengajarkan aku untuk tidak menyerah, untuk terus belajar meski kami tidak punya apa-apa." Jasmine tersenyum samar, tetapi senyuman itu segera memudar.
"Nenek Cahaya sudah menggantikan posisi kedua orang tuaku yang meninggal saat aku masih 14 tahun. Tanpa beliau, aku mungkin tidak akan ada di sini hari ini. Tapi sekarang..." Jasmine melirik kertas tagihan di tangannya. "...aku bahkan tidak mampu menyelamatkan hidup beliau."
Pikirannya melayang ke perjuangannya selama ini. "Aku sudah mencoba sebaik mungkin. Berkuliah di Universitas Negeri Artaloka dengan beasiswa 50% adalah impian besar yang akhirnya bisa aku raih. Tapi itu hanya menutupi sebagian biaya. Sisanya, aku masih harus bekerja paruh waktu di toko Zora." Jasmine menghela napas berat.
"Rasanya tidak cukup. Tidak pernah cukup. Apa yang harus aku lakukan? Tuhan, tolong beri aku jalan..." Pandangan Jasmine jatuh pada ponselnya.
Jasmine berjalan lunglai ke taman kecil di halaman rumah sakit, mencoba meredakan pikirannya yang berkecamuk. Duduk di salah satu bangku kayu, Jasmine memandang kosong ke depan.
Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi pesan dari Universitas Negeri Artaloka muncul di layar:
"Kepada Saudari Jasmine Ayu Kartika. Tunggakan pembayaran uang kuliah sebesar Rp 20 juta harus segera dilunasi dalam tiga hari. Jika tidak, status Anda sebagai mahasiswa akan dicabut."
Jasmine mendesah panjang. "Dari mana aku bisa mendapatkan Rp 270 juta dalam waktu sesingkat itu?" bisiknya, suara kecilnya nyaris tenggelam oleh kebisingan di sekitarnya.
Jasmine sudah mencoba segalanya, menghubungi kerabat, teman, bahkan memikirkan untuk menjual barang-barang milik neneknya. Tapi tidak ada yang bisa membantunya.
Malam itu, Jasmine kembali ke rumah sakit setelah pulang untuk menenangkan diri. Langkahnya terasa berat memasuki ruang ICU, tempat neneknya, Cahaya Dewi, terbaring lemah dengan selang infus dan monitor yang berdetak pelan.
Seorang perawat yang sedang memeriksa kondisi neneknya menoleh, memberikan senyuman kecil yang sopan. “Nona Jasmine, Anda kembali?”
Jasmine mengangguk pelan. “Bagaimana kondisi Nenek saya, Sus?” tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar.
Perawat itu menyelesaikan catatannya di papan monitoring sebelum menjawab. “Kondisi tekanan darah beliau masih tidak stabil. Kami terus memantau, tetapi jantung beliau semakin melemah. Operasi memang satu-satunya jalan, dan itu harus segera dilakukan.”
Mendengar penjelasan itu, Jasmine merasa tubuhnya hampir limbung. “Apakah... apakah ada kemungkinan lain? Kalau operasi ditunda sedikit saja, apakah Nenek masih bisa bertahan?”
Perawat itu menatap Jasmine dengan penuh simpati. “Maaf, Nona. Operasi ini bukan hanya tentang bertahan. Semakin lama ditunda, semakin tinggi risiko gagal jantung total. Waktu adalah hal yang sangat penting dalam kasus ini.”
Jasmine menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. “Saya... saya akan mencari cara. Tolong, pastikan Nenek saya tetap dalam pengawasan terbaik sampai saat itu tiba.”
“Kami akan melakukan yang terbaik, Nona Jasmine. Tapi, kami juga membutuhkan persetujuan secepatnya untuk tindakan medis berikutnya,” ujar perawat itu lembut, lalu pamit meninggalkan ruangan.
Jasmine mendekati ranjang neneknya, duduk di kursi kecil di sisi tempat tidur. Dia menggenggam tangan keriput Cahaya Dewi, yang terasa dingin di kulitnya.
“Nek, Jasmine janji akan cari cara. Jasmine nggak akan biarkan Nenek pergi. Jasmine nggak akan menyerah, meskipun semuanya terasa berat sekali.” Suaranya serak, tetapi Jasmine terus berbicara, seolah-olah neneknya bisa mendengar.
Monitor di sebelah ranjang berbunyi pelan, menjadi latar suara di tengah keheningan malam. Jasmine menghela napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa takut yang menyelimuti hatinya.
"Tuhan, aku harus apa? Waktu terus berjalan, dan aku tidak tahu apakah aku bisa menyelamatkan beliau. Tolong, berikan aku jalan.” Air matanya jatuh, tanpa Jasmine sadari.
Langit mendung menaungi siang itu, seolah menyerap seluruh kegelisahan yang memenuhi rumah besar keluarga Dirgantara. Jasmine duduk di kamar, memandangi ponselnya yang tak kunjung memberi kabar. Ia tahu Noah sedang menemui seseorang di luar—katanya, untuk mencari kejelasan soal masa lalu yang terus menghantui mereka. Tapi kenapa hatinya terus merasa gelisah?Pintu kamar diketuk. Jasmine bangkit, membuka perlahan. Oma Dursila berdiri di ambang pintu dengan raut wajah netral, hampir datar. Jasmine menegakkan tubuhnya, bersikap sopan meski dadanya berdegup cepat.“Boleh aku masuk?” tanya Oma, tanpa banyak basa-basi.“Tentu, Oma. Silakan duduk,” jawab Jasmine, sedikit kaku.Oma melangkah masuk, duduk di kursi dekat jendela. “Kita jarang bicara empat mata, ya, Jasmine?”Jasmine menelan ludah. “Mungkin... karena suasananya tidak pernah benar-benar nyaman untuk itu.”Senyum tipis muncul di wajah Oma, namun matanya tetap tajam. “Kamu wanita pintar. Dan kamu tahu, Jasmine... aku hanya ingin me
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Jasmine berdiri di teras rumah, memandang taman yang masih diselimuti embun. Di tangannya, secangkir teh hangat yang sesekali ia teguk untuk mengusir gundah. Semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya masih berputar-putar memikirkan perkataan Noah semalam.Langkah Noah terdengar mendekat. Jasmine menoleh dan mendapati suaminya berdiri di belakangnya dengan senyum samar.“Pagi,” sapa Noah pelan.Jasmine mengangguk kecil. “Pagi...”Noah berjalan mendekat, menempatkan dirinya di samping Jasmine. “Masih kepikiran soal Oma?”Jasmine menghela napas panjang. “Bukan cuma soal Oma... tapi semua yang kamu bilang semalam. Tentang dugaan itu...”Noah mengusap tengkuknya dengan gelisah. “Jas, aku tahu ini berat buat kamu. Aku juga masih nggak percaya Oma bisa berpikir sejauh itu. Tapi... aku nggak akan biarkan ada yang memisahkan kita.”Jasmine menunduk, menatap teh yang mulai mendingin. “Aku nggak ngerti... kenapa Oma bisa punya pikiran se
Malam itu, Jasmine duduk di kamar sambil memandangi jendela. Pikirannya terus berkecamuk sejak Noah kembali dari berbicara dengan Oma. Perasaan tidak nyaman seolah menyelimuti seluruh tubuhnya.Ada apa dengan Noah? pikirnya.Suara pintu terbuka perlahan. Noah masuk dengan langkah berat, wajahnya tampak lesu. Jasmine segera menoleh.“Kamu udah makan malam?” tanya Jasmine dengan suara pelan.Noah hanya mengangguk. “Udah, tadi di ruang makan.”Keheningan menggantung di antara mereka. Jasmine merasa ada jarak yang makin lebar sejak kedatangan Harness tadi pagi.“Noah...” Jasmine mencoba membuka percakapan. “Kamu masih mikirin omongan Harness?”Noah duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Jasmine dengan erat. “Sedikit. Bukan soal omongannya, tapi... kenapa Oma bisa punya pikiran seperti itu?”Jasmine menatap suaminya dengan cemas. “Maksudmu apa? Apa yang sebenarnya Oma pikirkan tentang aku?”Noah menghela napas panjang. “Oma bilang... dia takut aku jatuh ke dalam kesalahan yang sama sepe
Pagi itu, Noah duduk di ruang tamu sambil memijat pelipisnya. Pikirannya masih bergelut dengan kata-kata Harness tadi.Kenapa Oma tiba-tiba mencurigai Jasmine? Apa yang sebenarnya dia ketahui?Ketika Noah masih larut dalam pikirannya, suara ketukan pelan terdengar dari arah pintu. Jasmine muncul, wajahnya masih sedikit pucat setelah percakapan tegang dengan Harness tadi.“Noah... kamu nggak apa-apa?” tanya Jasmine, suaranya pelan namun penuh perhatian.Noah tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Aku baik-baik aja, Jas. Hanya masih mikirin omongan Harness tadi.”Jasmine duduk di sebelah Noah, matanya menatap tajam seolah mencoba mencari kebenaran dalam ekspresi suaminya. “Aku nggak ngerti kenapa dia tiba-tiba datang dan ngomong begitu. Apa dia nggak suka aku ada di hidupmu?”Noah menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Jasmine. “Bukan itu, sayang. Harness memang selalu khawatir sama aku, apalagi setelah aku menikah denganmu. Mungkin dia merasa harus melindung
Pagi itu, Noah duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah mendingin. Matanya terpaku pada pintu ruang tengah, berharap Jasmine akan muncul dari kamar dengan senyum yang selama ini dirindukannya. Semalam adalah langkah kecil, tapi cukup untuk memberi secercah harapan dalam hatinya.Suara langkah lembut terdengar, dan tak lama kemudian Jasmine muncul dengan rambut masih tergerai. Noah meneguk kopinya, berusaha menahan debaran jantungnya."Pagi," sapa Jasmine, mencoba terdengar biasa."Pagi," balas Noah, suaranya sedikit serak. "Tidurmu nyenyak?"Jasmine mengangguk sambil duduk di kursi berhadapan dengannya. "Cukup... lebih baik dari malam-malam sebelumnya."Noah tersenyum tipis. "Syukurlah. Aku... khawatir kalau semalam terlalu banyak yang kita bahas."Jasmine menghela napas. "Aku justru merasa lega. Akhirnya kita bicara. Meski belum semuanya jelas... tapi aku merasa sedikit lebih tenang."Sejenak keheningan menyelimuti mereka. Noah melirik tangan Jasmine yang tergeletak di at
Jasmine duduk di kursi, mengulurkan tangannya untuk mengambil surat itu. Ia membuka lipatannya perlahan, membaca kata-kata yang tertulis di sana. Setiap kalimat seolah menyentuh hatinya, membawa kembali kenangan-kenangan indah yang pernah mereka miliki. Namun, seiring dengan itu, ada perasaan lain yang mulai menguasai dirinya—perasaan yang lebih dalam, perasaan yang sulit dijelaskan. Rasa takut, rasa bingung, dan rasa kehilangan.Setelah selesai membaca surat itu, Jasmine terdiam. Matanya mulai memanas, dan air mata perlahan mulai mengalir di pipinya. Surat itu—kata-kata yang ditulis Noah—memang menggetarkan hatinya. Tetapi ia juga tahu bahwa kata-kata itu tidak cukup untuk mengubah apa yang telah terjadi di antara mereka. Surat itu tak bisa menghapus semua luka yang telah tercipta, tak bisa mengembalikan waktu yang telah hilang.Noah duduk di ruang kerjanya, matanya kosong menatap jendela yang menghadap ke taman. Cuaca sore itu terasa lebih mendung d
Kenangan yang tak terhitung jumlahnya, tapi juga potongan-potongan yang mengarah padanya. Sebuah pertanyaan tak terucap: apakah ia benar-benar ingin tahu semua itu?“Aku harus tahu,” ia berkata dengan suara tegas, menguatkan dirinya. “Aku tidak bisa hanya tinggal diam.”Ia menutup kotak itu dengan hati-hati, lalu menyimpannya kembali ke tempat semula. Sebelum keluar dari kamar, ia menatap dirinya sendiri di cermin. Wajahnya tegang, namun matanya penuh dengan tekad. Setiap inci dari tubuhnya dipenuhi dengan perasaan gelisah yang tak bisa ia hilangkan.“Tak ada jalan mundur sekarang,” kata Jasmine pelan, seolah memberikan semangat pada dirinya sendiri. "Aku harus tahu kebenarannya."Dia meraih telepon genggamnya. Tangan yang sedikit gemetar, ia membuka kontak dan mencari nomor yang sudah lama tak ia hubungi. Setelah beberapa detik, sebuah suara hangat terdengar di ujung telepon.“Halo, Jasmine? Ada apa, sayan
Setelah beberapa saat dalam keheningan, Jasmine memutuskan untuk meninggalkan surat itu di atas meja. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan informasi itu. Namun, satu hal yang jelas—ia harus mencari tahu lebih banyak tentang masa lalunya. Tentang keluarganya, tentang ibunya. Ia mulai merasa bahwa semua ini tidak terjadi begitu saja. Ada sesuatu yang lebih besar, dan ia harus mengetahuinya."Ya, mungkin ini saatnya aku mengetahui lebih banyak tentang ibu," gumamnya, matanya menyipit, tekad mulai tumbuh di dalam dirinya.Jasmine segera bangkit dan pergi menuju lemari pakaian. Ia mengeluarkan kotak kayu kecil yang sudah lama tersimpan di sana. Itu adalah kotak peninggalan ibunya, Sylvia, yang sejak kecil selalu disimpannya dengan penuh hati-hati. Kotak itu berisi barang-barang lama milik ibunya—foto-foto, surat-surat, dan benda-benda yang sering kali Jasmine lihat, namun tidak pernah berani membuka lebih dalam.Dengan hati yang berdebar, Jasmin
Noah terdiam, mencoba mencerna kata-kata Harness. "Tapi aku nggak ingin kehilangan Jasmine. Aku tahu aku salah, tapi aku ingin memperbaikinya."Harness mendekat, menatap Noah dengan tatapan yang lebih serius. "Kau tahu, Noah, terkadang kita harus melepaskan sesuatu yang kita cintai. Kamu sudah berusaha, tapi jika sudah terlalu banyak luka yang terjadi, mungkin yang terbaik adalah menerima kenyataan. Jika Jasmine merasa tidak bisa bersama kamu, apakah itu berarti kita harus terus memaksanya?"Noah merasa terperangkap dalam kata-kata Harness. Meskipun ada sesuatu yang tidak beres dengan ucapan itu, ia merasa bingung dan terhimpit oleh kebingungannya sendiri. Harness memang selalu bisa berbicara dengan sangat meyakinkan, dan kata-katanya mulai meresap perlahan ke dalam benak Noah."Tapi aku masih mencintainya, Harness. Aku masih ingin berjuang untuk kami," kata Noah, suaranya mulai bergetar.Harness menyandarkan tangan di bahu Noah, memberikan dorongan yang