Keesokan harinya, ’Apa yang harus aku lakukan? Tiga hari saja, tapi rasanya seperti tiga tahun. Nenek terbaring di rumah sakit, menunggu operasi yang mungkin bisa menyelamatkan nyawanya. Tapi, bagaimana caranya aku mendapatkan uang sebanyak itu? Aku sudah mencoba semua cara, tapi tidak ada yang berhasil.’
Jasmine duduk termenung di toko serba ada milik Zora, sepupunya. Tangannya sibuk menyusun rak barang, tetapi pikirannya melayang-layang.
’Aku tidak bisa kehilangan Nenek. Nenek adalah segalanya bagiku. Aku harus mencari cara, tidak peduli seberat apa pun. Tapi, apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya gadis desa yang tidak punya apa-apa.’
Zora, yang sedang memeriksa laporan keuangan di kasir, mengangkat wajah dan memperhatikan Jasmine.
’Apa yang terjadi dengan Jasmine? Wajahnya terlihat lebih suram dari biasanya. Apakah ada masalah atau ada hal lain yang mengganggu pikirannya? Aku harus mencari tahu dan membantunya.’ Zora berbicara dalam hati.
"Jasmine, ada apa? Kamu kelihatan kusut sekali," tanya Zora, sepupu Jasmine dari pihak ayahnya.
Sambil melangkah mendekati Jasmine dengan ekspresi khawatir. Zora juga pemilik toko serba ada tempat Jasmine bekerja paruh waktu.
Jasmine menghela napas panjang, lalu mulai menceritakan segalanya. "Nenek Cahaya, dirawat di rumah sakit karena kondisinya kritis. Dokter bilang operasi katup jantung harus dilakukan segera, tapi biayanya sangat mahal, Rp250 juta. Aku harus membayar dalam waktu tiga hari. Aku sudah mencoba semua cara, tapi tidak ada yang berhasil.”
Jamine tertunduk, lalu melanjutkan menceritakan masalah lainnya, ”Ditambah uang kuliahku Rp.20 juta, juga harus di bayar. Kalau tidak, status mahasiswaku akan di cabut. "
Zora terkejut, matanya membelalak. "Rp270 juta? Bagaimana kamu bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat? Apakah kamu sudah berbicara dengan pihak universitas tentang tunggakan biaya kuliahmu?"
"Aku sudah mencoba, kak Zora. Tapi mereka tidak mau menunda. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Nenek adalah segalanya bagiku. Aku tidak bisa kehilangannya," kata Jasmine, suaranya bergetar, air matanya menggenang.
Zora terdiam beberapa saat, matanya berbinar penuh pertimbangan. Lalu Zora berkata, "Aku mungkin punya solusi untukmu."
Jasmine mengernyit. "Solusi apa, Kak Zora?"
Zora menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Kamu tahu aku dan suamiku sudah menikah lama, tapi aku tidak bisa punya anak. Dokter menyarankan kami untuk mencari ibu pengganti. Kalau kamu setuju, aku akan membayarmu cukup untuk menyelesaikan semua masalahmu."
Kata-kata Zora terasa seperti petir di siang bolong. Jasmine memandangnya dengan mulut setengah terbuka, tidak percaya.
"Apa? Kak Zora serius?" Jasmine bertanya, suaranya bergetar.
"Aku tahu ini bukan hal yang mudah untukmu, tapi aku benar-benar membutuhkan bantuan. Aku akan memastikan kamu tidak kekurangan apa pun. Semua biaya rumah sakit nenekmu, tunggakan kuliahmu, semuanya akan aku urus," Zora mencoba meyakinkan.
Jasmine terdiam, pikirannya berkecamuk. Tawaran Zora memang solusi tercepat, tapi bertentangan dengan prinsipnya.
"Aku masih muda, masa depanku panjang. Aku tidak ingin menjadi bahan gunjingan orang," Jasmine berpikir.
"Tidak ada jalan lain, Kak Zora? Mungkin... aku bisa membuka bon di toserba milikmu?" tanya Jasmine, berharap Zora mau memberikan.
"Aku tidak bisa, Jasmine. Toserba ini franchise, urusan rugi laba diatur pusat. Tapi, jika kamu setuju dengan tawaranku, aku bisa membicarakannya dengan suamiku," jawab Zora.
Jasmine terdiam, menyusun kembali barang-barang di rak. Zora mencoba membujuknya dengan senyum. "Pikir-pikir saja dahulu."
”Kak Zora, bisa pinjamkan pada Ayahmu. Sebenarnya aku tidak enak , karena nenek orang tua dari pihak ibuku. Sedangkan Ayahmu adalah adik dari almarhum ayahku.” Jasmine masih berusaha agar tidak menjadi Ibu pengganti.
Walau dia tahu, Suami Zora adalah anak Tunggal konglomerat. Tapi Jasmine benar-benar belum siap.
Zora mengembuskan napas panjang. ”Bukan aku tidak mau menyampaikan ke ayah. Pasti dia akan bertanya bagaimana saudara almarhum Ibumu. Pikirkan saja dulu tawaranku, dengan begitu kamu tidak harus mengembalikan uangnya.”
Kata-kata Zora itu tidak masuk akal menurut Jasmine, spontan Jasmine menolak tawaran itu. “Maaf kak, aku tidak bisa. Aku merasa seperti menjual diriku.”
Jasmine terdiam sejenak lalu kembali berbicara, “Aku akan cari cara lain terlebih dahulu.“ Zora menarik napas panjang dan tersenyum setelah mendapat jawaban Jasmine.
Zora mengangguk pelan, "Aku mengerti, Jasmine. Aku tidak akan memaksa kamu. Tapi, ingatlah, aku selalu ada di sini untuk membantumu."
Zora menyerahkan selembar kertas dengan nomor telepon suaminya. "Jika kamu membutuhkan bantuan, hubungi dia."
Jasmine menerima kertas itu dengan ragu, kemudian menyimpannya di kantongnya. "Terima kasih, Kak Zora. Aku sangat menghargai tawaranmu."
Zora tersenyum dan memeluk Jasmine. "Kamu adalah keluarga, Jasmine. Aku tidak bisa membiarkan kamu sendirian menghadapi kesulitan ini. Kenapa aku memilihmu, karena aku tidak mau mendapat keturunan dari orang lain."
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Jasmine berdiri di teras rumah, memandang taman yang masih diselimuti embun. Di tangannya, secangkir teh hangat yang sesekali ia teguk untuk mengusir gundah. Semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya masih berputar-putar memikirkan perkataan Noah semalam.Langkah Noah terdengar mendekat. Jasmine menoleh dan mendapati suaminya berdiri di belakangnya dengan senyum samar.“Pagi,” sapa Noah pelan.Jasmine mengangguk kecil. “Pagi...”Noah berjalan mendekat, menempatkan dirinya di samping Jasmine. “Masih kepikiran soal Oma?”Jasmine menghela napas panjang. “Bukan cuma soal Oma... tapi semua yang kamu bilang semalam. Tentang dugaan itu...”Noah mengusap tengkuknya dengan gelisah. “Jas, aku tahu ini berat buat kamu. Aku juga masih nggak percaya Oma bisa berpikir sejauh itu. Tapi... aku nggak akan biarkan ada yang memisahkan kita.”Jasmine menunduk, menatap teh yang mulai mendingin. “Aku nggak ngerti... kenapa Oma bisa punya pikiran se
Malam itu, Jasmine duduk di kamar sambil memandangi jendela. Pikirannya terus berkecamuk sejak Noah kembali dari berbicara dengan Oma. Perasaan tidak nyaman seolah menyelimuti seluruh tubuhnya.Ada apa dengan Noah? pikirnya.Suara pintu terbuka perlahan. Noah masuk dengan langkah berat, wajahnya tampak lesu. Jasmine segera menoleh.“Kamu udah makan malam?” tanya Jasmine dengan suara pelan.Noah hanya mengangguk. “Udah, tadi di ruang makan.”Keheningan menggantung di antara mereka. Jasmine merasa ada jarak yang makin lebar sejak kedatangan Harness tadi pagi.“Noah...” Jasmine mencoba membuka percakapan. “Kamu masih mikirin omongan Harness?”Noah duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Jasmine dengan erat. “Sedikit. Bukan soal omongannya, tapi... kenapa Oma bisa punya pikiran seperti itu?”Jasmine menatap suaminya dengan cemas. “Maksudmu apa? Apa yang sebenarnya Oma pikirkan tentang aku?”Noah menghela napas panjang. “Oma bilang... dia takut aku jatuh ke dalam kesalahan yang sama sepe
Pagi itu, Noah duduk di ruang tamu sambil memijat pelipisnya. Pikirannya masih bergelut dengan kata-kata Harness tadi.Kenapa Oma tiba-tiba mencurigai Jasmine? Apa yang sebenarnya dia ketahui?Ketika Noah masih larut dalam pikirannya, suara ketukan pelan terdengar dari arah pintu. Jasmine muncul, wajahnya masih sedikit pucat setelah percakapan tegang dengan Harness tadi.“Noah... kamu nggak apa-apa?” tanya Jasmine, suaranya pelan namun penuh perhatian.Noah tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Aku baik-baik aja, Jas. Hanya masih mikirin omongan Harness tadi.”Jasmine duduk di sebelah Noah, matanya menatap tajam seolah mencoba mencari kebenaran dalam ekspresi suaminya. “Aku nggak ngerti kenapa dia tiba-tiba datang dan ngomong begitu. Apa dia nggak suka aku ada di hidupmu?”Noah menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Jasmine. “Bukan itu, sayang. Harness memang selalu khawatir sama aku, apalagi setelah aku menikah denganmu. Mungkin dia merasa harus melindung
Pagi itu, Noah duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah mendingin. Matanya terpaku pada pintu ruang tengah, berharap Jasmine akan muncul dari kamar dengan senyum yang selama ini dirindukannya. Semalam adalah langkah kecil, tapi cukup untuk memberi secercah harapan dalam hatinya.Suara langkah lembut terdengar, dan tak lama kemudian Jasmine muncul dengan rambut masih tergerai. Noah meneguk kopinya, berusaha menahan debaran jantungnya."Pagi," sapa Jasmine, mencoba terdengar biasa."Pagi," balas Noah, suaranya sedikit serak. "Tidurmu nyenyak?"Jasmine mengangguk sambil duduk di kursi berhadapan dengannya. "Cukup... lebih baik dari malam-malam sebelumnya."Noah tersenyum tipis. "Syukurlah. Aku... khawatir kalau semalam terlalu banyak yang kita bahas."Jasmine menghela napas. "Aku justru merasa lega. Akhirnya kita bicara. Meski belum semuanya jelas... tapi aku merasa sedikit lebih tenang."Sejenak keheningan menyelimuti mereka. Noah melirik tangan Jasmine yang tergeletak di at
Jasmine duduk di kursi, mengulurkan tangannya untuk mengambil surat itu. Ia membuka lipatannya perlahan, membaca kata-kata yang tertulis di sana. Setiap kalimat seolah menyentuh hatinya, membawa kembali kenangan-kenangan indah yang pernah mereka miliki. Namun, seiring dengan itu, ada perasaan lain yang mulai menguasai dirinya—perasaan yang lebih dalam, perasaan yang sulit dijelaskan. Rasa takut, rasa bingung, dan rasa kehilangan.Setelah selesai membaca surat itu, Jasmine terdiam. Matanya mulai memanas, dan air mata perlahan mulai mengalir di pipinya. Surat itu—kata-kata yang ditulis Noah—memang menggetarkan hatinya. Tetapi ia juga tahu bahwa kata-kata itu tidak cukup untuk mengubah apa yang telah terjadi di antara mereka. Surat itu tak bisa menghapus semua luka yang telah tercipta, tak bisa mengembalikan waktu yang telah hilang.Noah duduk di ruang kerjanya, matanya kosong menatap jendela yang menghadap ke taman. Cuaca sore itu terasa lebih mendung d
Kenangan yang tak terhitung jumlahnya, tapi juga potongan-potongan yang mengarah padanya. Sebuah pertanyaan tak terucap: apakah ia benar-benar ingin tahu semua itu?“Aku harus tahu,” ia berkata dengan suara tegas, menguatkan dirinya. “Aku tidak bisa hanya tinggal diam.”Ia menutup kotak itu dengan hati-hati, lalu menyimpannya kembali ke tempat semula. Sebelum keluar dari kamar, ia menatap dirinya sendiri di cermin. Wajahnya tegang, namun matanya penuh dengan tekad. Setiap inci dari tubuhnya dipenuhi dengan perasaan gelisah yang tak bisa ia hilangkan.“Tak ada jalan mundur sekarang,” kata Jasmine pelan, seolah memberikan semangat pada dirinya sendiri. "Aku harus tahu kebenarannya."Dia meraih telepon genggamnya. Tangan yang sedikit gemetar, ia membuka kontak dan mencari nomor yang sudah lama tak ia hubungi. Setelah beberapa detik, sebuah suara hangat terdengar di ujung telepon.“Halo, Jasmine? Ada apa, sayan
Setelah beberapa saat dalam keheningan, Jasmine memutuskan untuk meninggalkan surat itu di atas meja. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan informasi itu. Namun, satu hal yang jelas—ia harus mencari tahu lebih banyak tentang masa lalunya. Tentang keluarganya, tentang ibunya. Ia mulai merasa bahwa semua ini tidak terjadi begitu saja. Ada sesuatu yang lebih besar, dan ia harus mengetahuinya."Ya, mungkin ini saatnya aku mengetahui lebih banyak tentang ibu," gumamnya, matanya menyipit, tekad mulai tumbuh di dalam dirinya.Jasmine segera bangkit dan pergi menuju lemari pakaian. Ia mengeluarkan kotak kayu kecil yang sudah lama tersimpan di sana. Itu adalah kotak peninggalan ibunya, Sylvia, yang sejak kecil selalu disimpannya dengan penuh hati-hati. Kotak itu berisi barang-barang lama milik ibunya—foto-foto, surat-surat, dan benda-benda yang sering kali Jasmine lihat, namun tidak pernah berani membuka lebih dalam.Dengan hati yang berdebar, Jasmin
Noah terdiam, mencoba mencerna kata-kata Harness. "Tapi aku nggak ingin kehilangan Jasmine. Aku tahu aku salah, tapi aku ingin memperbaikinya."Harness mendekat, menatap Noah dengan tatapan yang lebih serius. "Kau tahu, Noah, terkadang kita harus melepaskan sesuatu yang kita cintai. Kamu sudah berusaha, tapi jika sudah terlalu banyak luka yang terjadi, mungkin yang terbaik adalah menerima kenyataan. Jika Jasmine merasa tidak bisa bersama kamu, apakah itu berarti kita harus terus memaksanya?"Noah merasa terperangkap dalam kata-kata Harness. Meskipun ada sesuatu yang tidak beres dengan ucapan itu, ia merasa bingung dan terhimpit oleh kebingungannya sendiri. Harness memang selalu bisa berbicara dengan sangat meyakinkan, dan kata-katanya mulai meresap perlahan ke dalam benak Noah."Tapi aku masih mencintainya, Harness. Aku masih ingin berjuang untuk kami," kata Noah, suaranya mulai bergetar.Harness menyandarkan tangan di bahu Noah, memberikan dorongan yang
Pagi itu, rumah keluarga Dirgantara terasa hening, jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya yang sering dipenuhi tawa atau percakapan ringan. Sejak pertemuan terakhir mereka, suasana antara Noah dan Jasmine semakin dingin. Mereka saling menghindar, tak ada lagi percakapan seperti dulu. Jasmine lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri, sementara Noah merasa semakin terasing.Di kamar tidur mereka, Noah berdiri di depan cermin, menatap refleksinya. Raut wajahnya tampak lelah. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum mendekati Jasmine. Ia tahu bahwa hubungan mereka berada di ujung tanduk. Kejadian-kejadian belakangan ini, ditambah tekanan dari keluarga, membuatnya merasa bingung dan tak tahu harus berbuat apa lagi.Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari luar pintu. Jasmine muncul, mengenakan piyama lusuh, rambut terurai acak-acakan. Wajahnya tampak kusut, mungkin karena semalaman ia tidak tidur nyenyak. Ada kekosongan di matanya yang tidak bisa