Setibanya Jasmine di rumah, ia disambut oleh Nikmah, asisten rumah tangganya, yang tampak cemas. Wanita paruh baya itu segera menghampirinya dengan wajah penuh khawatir.“Non Jasmine! Non kemana aja semalam? Saya sudah khawatir. Nyonya Zora juga sempat mencari Non tadi pagi,” lapor Nikmah dengan nada terburu-buru.Mendengar nama Zora, Jasmine langsung siaga. “Zora mencari aku? Apa yang dia bilang?” tanyanya sambil melepaskan sepatunya.“Dia cuma tanya Non pulang atau tidak. Pas saya bilang Non nggak pulang, dia kelihatan biasa aja, Non. Nggak panik sama sekali,” jawab Nikmah, mencoba mengingat dengan seksama.Jawaban itu membuat Jasmine terdiam sejenak. ‘Zora tidak menunjukkan kepanikan?’Biasanya, Zora adalah orang pertama yang heboh jika Jasmine tidak ada kabar. Ada sesuatu yang ganjil di sini, tapi Jasmine tidak punya waktu untuk memikirkannya lebih jauh.Jasmine melirik jam dinding dan menyadari waktu semakin mendesak. Ia buru-buru memberi instruksi pada Nikmah. “Kalau Zora mengh
"Bagaimana bisa dia datang dengan mobil semewah itu?" ujar wanita di ujung koridor kampus.Tidak lama, dua temannya menyahut serentak, "Bukannya dia mahasiswa beasiswa? Kalau nggak salah, dia hampir di-DO, akibat tunggakan uang kuliah."Jasmine berjalan cepat menuju ruang kelas dengan langkah penuh tekad. Di belakangnya, bisik-bisik mahasiswa yang penasaran terus terdengar, namun ia memilih untuk tidak memedulikannya.Begitu memasuki gedung fakultas, ia melihat jam dinding di lorong. Masih ada waktu dua menit sebelum kelas dimulai. Dengan napas yang sedikit terengah, ia membuka pintu ruang kelas dan melangkah masuk.Seperti biasa, suasana ruang kelas berubah tegang saat sosok Kelvin Gordon berdiri di depan, memperhatikan para mahasiswa dengan tatapan tajamnya. Pria paruh baya itu terkenal dengan sikap disiplinnya yang hampir tidak manusiawi.Jasmine menarik napas lega karena belum terlambat. Ia segera mencari tempat duduk di bagian tengah, menghindari terlalu depan atau terlalu belaka
Jasmine baru saja keluar dari gedung fakultas, bergegas menuju tempat parkir untuk melanjutkan aktivitasnya. Namun, saat ia melangkah ke luar, ia terkejut mendapati mobil Rolls-Royce Ghost yang sama masih setia menunggunya.Jasmine sempat ragu, berniat menghindar dan melangkah menjauh, berharap tidak berurusan dengan siapa pun yang ada di dalam mobil itu.Namun, harapannya sirna saat pintu mobil terbuka dan seorang pria keluar, mengenakan setelan jas rapi dan wajah tampan penuh karisma. Tentu saja, pria itu adalah Noah.“Noah…” gumam Jasmine lebih berbisik pada dirinya sendiri. Tubuhnya terasa kaku, tidak percaya.Pandangan gadis-gadis di sekitar kampus langsung terpusat pada Noah, seolah-olah dunia berhenti berputar sejenak. Keanggunan dan aura misterius yang dimiliki pria itu membuatnya begitu mencolok di antara kerumunan mahasiswa yang biasa."Wah, tampan sekali, aku mau jadi miliknya," ucap salah seorang mahasiswa yang berdiri di depan Jasmine, dengan ekspresi penuh rasa kagum.Be
Mobil berhenti tepat di depan pintu masuk RSUP Candra Mulia. Rolls-Royce Ghost yang elegan menarik perhatian beberapa orang yang berada di luar rumah sakit. Sopir membuka pintu belakang, tetapi Noah lebih cepat turun dan membukakan pintu untuk Jasmine.“Keluar,” ucap Noah singkat namun lembut, memberikan isyarat dengan tangannya.Jasmine melangkah keluar dari mobil dengan hati-hati. Pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan tentang alasan mereka datang ke sini. Namun, sebelum sempat bertanya, Noah sudah melangkah menuju pintu masuk rumah sakit. Jasmine mengikuti di belakangnya, masih mencoba memahami situasi.Saat mereka berjalan masuk, Noah tiba-tiba berhenti dan berbalik. Tanpa banyak bicara, ia menarik tangan Jasmine, menggenggamnya erat, lalu kembali berjalan. Jasmine terpaku sejenak, merasakan sentuhan hangat Noah yang terasa begitu nyata.“Noah, ini tidak perlu. Aku bisa berjalan sendiri,” ucap Jasmine pelan, meski genggaman itu entah mengapa membuatnya merasa terlindungi.Noa
Operasi nenek Cahaya berjalan lancar. Jasmine menghela napas lega saat dokter keluar dari ruang operasi dan memberikan kabar baik. Meski demikian, nenek Cahaya masih harus dirawat di ruang intensif untuk pemulihan.Jasmine menatap pintu ruang intensif itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa syukur, tetapi juga kekhawatiran yang belum sepenuhnya hilang.Zora, yang sejak tadi setia mendampingi Jasmine, menggenggam tangannya erat. “Semua akan baik-baik saja. Kita hanya perlu menunggu nenek Cahaya pulih sepenuhnya,” katanya dengan suara lembut.Jasmine mengangguk pelan. “Terima kasih, Zora. Kalau bukan karena kamu dan Noah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”Zora tersenyum kecil. “Kamu tidak perlu berterima kasih. Kita ini keluarga, Jasmine.”Setelah memastikan semuanya di rumah sakit terkendali, Zora memutuskan untuk membawa Jasmine pulang bersamanya.Mereka duduk di kursi belakang mobil yang dikemudikan oleh sopir Zora. Dalam perjalanan, percakapan ringan berubah menjadi diskusi
Noah mengerem mobilnya perlahan di depan rumah kecil Jasmine yang terletak tidak jauh dari Toserba milik Zora dan Universitas Artaloka.Rumah itu tampak sederhana, tetapi Jasmine selalu merasa nyaman di sana karena penuh kenangan bersama nenek Cahaya.“Hanya sebentar, aku cuma mau mengambil barang-barang nenek,” kata Jasmine sambil melepas seatbelt.Noah mengangguk tanpa banyak bicara, tetapi saat melihat cuaca di luar yang mulai mendung, ia mengernyit. “Kamu yakin ini cuma sebentar? Langitnya sudah gelap. Kalau hujan deras, kamu tidak akan bisa kembali ke Rafflesia Hills.”Jasmine hanya mendengus kecil. “Santai saja. Aku tahu cara mengatur waktu, kok. Kamu tunggu saja di sini.”Noah memutar bola matanya, tapi tetap mengikuti Jasmine keluar dari mobil. Ia tidak pernah membiarkan Jasmine berjalan sendirian, apalagi di daerah yang agak sepi seperti ini.Di dalam rumah kecil itu, Jasmine sibuk membuka lemari tua dan mengeluarkan beberapa barang milik nenek Cahaya. Ada selimut rajutan, fo
Pagi-pagi buta, suara gaduh dari dapur membangunkan Noah dari tidurnya yang tidak nyenyak di sofa kecil Jasmine. Ia mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan yang asing ini, sebelum suara berisik itu kembali terdengar.Dengan malas, Noah bangkit dan melangkah ke arah dapur. Jasmine, dengan rambut yang masih acak-acakan, terlihat sedang berjuang menyalakan kompor gas tua yang bunyinya berisik sekali.“Kamu mau bikin bom di pagi hari, Jasmine?” Noah menyindir sambil menyandarkan tubuhnya di pintu dapur.Jasmine mendongak, kaget, hampir menjatuhkan panci yang ada di tangannya. “Noah! Jangan tiba-tiba muncul seperti hantu!”Noah mengangkat alisnya, menahan tawa. “Aku muncul seperti manusia, Jasmine, bukan hantu. Dan apa yang kamu lakukan dengan kompor itu?”“Kompor ini memang suka rewel,” gumam Jasmine sambil mencoba menyalakan kembali. “Tapi aku nggak butuh bantuanmu, jadi jangan sok pahlawan di sini.”Noah mendekat, mengambil alih pemantik gas dari tangan Jasmine. “Minggir.
Hari yang cerah berubah menjadi petaka kecil saat mobil yang membawa Jasmine dan Noah melaju di jalan kecil menuju Rafflesia Hills.Suara letupan keras membuat Jasmine terlonjak dari kursinya, sementara Noah dengan sigap menepikan mobil ke bahu jalan.“Apa itu?” tanya Jasmine dengan nada panik, memegang erat sabuk pengamannya.“Ban pecah,” jawab Noah datar, keluar dari mobil untuk memeriksa.Jasmine membuka pintu dan ikut turun. Ia melihat Noah berdiri di dekat ban belakang, menggelengkan kepala sambil menendang pelan roda mobil yang sudah kempis total.“Jadi, gimana? Kamu bisa ganti ban?” tanya Jasmine dengan senyum penuh harap.Noah menatapnya sejenak sebelum berkata, “Aku punya banyak keahlian, Jasmine. Tapi ganti ban bukan salah satunya.”Jasmine mendengus. “Hebat. Ternyata Mr. Perfect, eh salah Es Batu Berbulu Domba, punya kelemahan juga.”“Diam saja dan biarkan aku berpikir,” balas Noah sambil membuka ponselnya.Namun, saat ia mencoba menghubungi seseorang, sinyal teleponnya nih
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat b
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut
“Sebagai tergugat, kami setuju,” ujar Jasmine. “Karena anak kecil bisa berbohong... tapi hati mereka tidak.”Noah, yang duduk mendampingi Jasmine, menambahkan, “Saya ingin masuk sebagai saksi. Dan sebagai ayah biologis, saya mengajukan revisi hak asuh bersama.”Zora menoleh cepat, matanya membelalak. “Noah?! Kau di pihaknya sekarang?”Noah menatapnya tanpa ampun. “Sudah lama aku bukan di pihakmu.”Sepulang dari pengadilan, Jasmine merasa tubuhnya seperti diseret waktu. Namun saat ia membuka pintu kamar hotel, suara kecil menyambutnya dari balik ruang tamu.“Ibu Jas?”Jasmine membeku. Tubuh kecil itu berlari dan memeluknya dari belakang. “Ibu Jas! Aku mimpikan Ibu tadi malam! Ibu peluk aku kayak waktu kita tinggal di rumah yang banyak bunga!”Jasmine membalik tubuhnya, dan Zai menatapnya dengan mata berbinar.“Kamu di sini?” bisik Jasmine, air matanya mengalir.Noah masuk dari belakang. “Dia... memaksa ikut. Aku tak bisa menolaknya. Dia ingin bertemu kamu. Hanya kamu.”Zai menempelkan