Mag-log inIrenne melangkah perlahan menuju pelaminan dengan senyum yang berusaha ia pertahankan. Tangannya sedikit bergetar ketika menyodorkan ucapan selamat kepada kedua mempelai."Aurel, Davin ... selamat ya. Semoga kalian berdua bahagia."Namun, bukannya sambutan hangat, Aurel menatapnya dengan tajam. Senyum di wajahnya menipis, tergantikan oleh nada sinis."Hmm, rasanya aneh ya, kamu datang ke sini. Padahal aku gak ngundang. Siapa juga yang nyuruh kamu hadir?" ujar Aurel dengan nada ketus dan sengaja volume nadanya diperkeras."Oh iya, aku tau pasti, kalau kamu sekarang hidup dengan pria miskin tanpa menikah. Siapa sih pria itu? Kenalin dong sama kita. Kalian kumpul kebo kan? juga kamu mengasuh anak cacat yang bukan darah dagingmu sendiri. Hohoho ... Mengenaskan."Ucapan itu membuat suasana di sekitar pelaminan seketika hening. Beberapa tamu yang mendengar mulai saling berpandangan dan saling berbisik. Sementara Irenne hanya berdiri terpaku. Dia berusaha menahan perih yang tiba-tiba menyaya
Pagi itu, aroma bubur ayam dengan harum kaldu ayam membuat Arley merengek minta disuapi oleh Irenne. Arley duduk di kursinya sambil mengayun-ayunkan kaki kecilnya. "Mau disuapin sama Mama," pintanya manja sambil menatap Irenne dengan senyum lebar. Irenne tersenyum lembut. "Iya, iya ... tapi harus dihabisin ya,” ucapnya sambil mengambil sendok dan mulai menyuapi pelan. Dari seberang meja, Saly menatap tajam pemandangan itu. Bibirnya tersungging sinis, seolah tidak suka melihat kedekatan mereka. Namun semakin lama ia memandang, ekspresinya perlahan berubah. Di balik tatapan dinginnya, hatinya mulai bimbang—antara rasa cemburu karena takut kehilangan kasih sayang cucunya, atau rasa haru melihat Arley begitu bahagia di samping Irenne. Saly akhirnya menunduk. Dia pura-pura sibuk dengan sarapannya sendiri. Tapi di dalam hatinya, sesuatu perlahan melunak. Setelah sarapan selesai, Arley berlari ke taman belakang untuk bermain. Irenne menghabiskan sarapannya dengan tenang, sementara Sal
"Ini kunci untuk ruang baru yang akan kamu tempati mulai besok," katanya akhirnya. "Ruang baru?" Irenne tampak semakin bingung. "Maksudnya … saya mau dipindahkan?" Mark tersenyum samar. "Bukan dipindahkan, tapi diangkat. Mulai hari ini, kamu saya percayakan untuk memimpin tim arsitektur di setiap proyek. Kamu pantas dapat tempat yang lebih baik, Irenne." Irenne tertegun, nyaris tak percaya. "Tapi Pak, saya belum yakin kalau saya bisa." Mark menatapnya dengan tatapan tegas. "Maaf, tidak ada bantahan." "Terima kasih, Pak Mark. Saya tidak akan mengecewakan kepercayaan ini." Mark bersandar di kursinya, memandangi Irenne beberapa detik sebelum akhirnya mengulurkan sesuatu dari tangannya. "Dan ini …" ucapnya pelan, "kunci mobil. Saya berikan mobil itu untuk kamu. Sudah atas nama kamu. Mobil merah yang terparkir di depan." Irenne membeku. Matanya membulat, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Mobil mewah berwarna merah yang tadi menarik perhatiannya di halaman kantor
Saat langkah Irenne mendekati lift, pintu lift tiba-tiba terbuka. Dari dalam, muncullah Aurel dan Davin dengan wajah angkuhnya. Mereka baru saja menanda tangani kontrak modelnya. Di tangannya menggenggam map berwarna coklat. Aurel melangkah maju mendekati Irenne. Seulas senyum sinis muncul di bibirnya sebelum ia berkata, "Ternyata masih kerja di sini, ya? Karyawan kecil yang cuma bisa rebut perhatian pria miskin. Ditambah lagi, mengurus anak cacat mental yang memuakkan, dan yang jadi beban hidupmu. Hohoho, sungguh ironi. Aku pikir sudah jadi bos dengan menyerahkan Kenneth ke perusahaan ini. Ternyata masih jadi karyawan kecil sekaligus pengasuh anak cacat? Hahaha!" Ucapan itu membuat darah Irenne mendidih. Rahangnya mengeras, matanya menatap tajam ke arah Aurel. Ia menahan amarah yang hampir meledak, namun genggaman tangannya di tas semakin erat—pertanda bahwa kesabarannya nyaris habis, ditambah giginya bergemeletuk. Irenne menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak dalam da
"Mama, aku gak mau naik mobil. Aku takut kebakar lagi," rengek Arley memeluk tubuh Irenne. Irenne mengecup rambut Arley. "Kalau nggak mau naik mobil, terus kita mau naik apa dong? Gak usah takut ya, sayang. Mama sama suster kan jagain Arley." Dua hari sudah Arley dirawat di rumah sakit. Wajah pucatnya perlahan mulai membaik. Senyumnya semakin ceria dan banyak bicara, menjadikan Irenne sedikit lega. Pagi itu, dokter mengatakan bahwa Arley sudah boleh pulang. Irenne tersenyum haru sambil merapikan barang-barang kecil di meja sisi ranjang termasuk pakaian dan kebutuhan Arley. Sementara itu, Mark tengah menyelesaikan urusan administrasi di bagian kasir. Setelah semuanya beres, ia kembali ke ruang rawat menghampiri mereka. "Irenne, aku harus ke kantor dulu. Ada yang harus aku kerjakan. Nanti Gregor yang antar kalian pulang, ya," ucap Mark singkat sambil menatap putranya, mencium kening Arley. Irenne mengangguk pelan sambil menggendong Arley dengan hati-hati, lalu berjalan menuj
Mark sontak melangkah maju dengan langkah cepat. "Ma! Cukup!" suaranya meninggi, penuh amarah tertahan. Saly menoleh kaget, tapi masih dengan sorot mata tajam. "Mark, kamu nggak lihat, siapa perempuan ini? Dia penyebab semua masalah! Perempuan sial!" Mark mendekati Irenne yang menunduk menahan perih di pipinya. Pria itu berdiri di hadapan ibunya, berusaha menjadi pelindung bagi gadis itu. "Yang Mama lakukan ini sudah keterlaluan, Ma! Irenne nggak salah apa-apa! Bahkan dia aja gak tahu, siapa yang nabrak mobilnya. Dia juga korban Ma!" Saly mendengus sinis. "Kamu membelanya? Hah? Kamu membela dia di depan Mama kamu sendiri?!" "Kalau Mama masih berpikir aku membelanya, berarti Mama gak bisa berpikir kehidupan Arley. Ingat Ma, cucu Mama sedang sakit, tolong Mama jaga sikap. Bagaimana kalau Arley tahu?" ucap Mark tegas, suaranya bergetar antara marah dan kecewa. Ruangan mendadak hening. Hanya suara monitor jantung Arley yang berdetak lembut dari dalam ruangan. Saly menatap







