LOGINIrenne menoleh ke seorang anak laki-laki berusia sekitaran lima tahun. Keningnya berkernyit.
'Mama? Anak ini memanggil siapa? Panggil aku?' batinnya memandang sang anak yang memeluk pangkuan Irenne. "Mama, Mama!" ucap sang anak pria sambil terus memeluknya. "Hei, sayang. Kenapa kamu panggil aku, Mama? Di mana Mama kamu?" ucap Irenne tersenyum. "Mama, aku kangen sama Mama. Mama jangan pergi lagi ya. Mamaaa." Ucapan sang anak diselingi Isak tangis, yang seolah menyimpan kerinduan seribu tahun, membuat hati Irenne terenyuh. Ia menunduk, menatap wajah polos dengan mata bening penuh kerinduan. 'Pasti anak ini ditinggal ibunya,' pikirnya sambil mengusap rambut halusnya yang wangi samar susu. Di sisi lain, seorang pria dengan jas berwarna cream, sosok tegas sebagai seorang presdir perusahaan itu, berdiri memperhatikan dari kejauhan. Tatapan tajamnya sempat melunak ketika melihat sang anak begitu erat memeluk Irenne. Dia segera melirik seorang babysitter yang baru saja keluar dari toilet. Dengan isyarat tangannya, pria itu memanggil si babysitter agar segera membawa pergi sang anak. "Arley, ayo ikut sama Suster. Jangan ganggu Tante ini, ya," ucap babysitter itu lembut sambil meraih tangan kecil sang bocah. Namun, Arley menepis. Ia menoleh dengan wajah memerah, bibirnya bergetar. "Enggak, aku gak mau! Aku mau sama Mama!" serunya, suaranya lantang disertai tangis keras. Sejumlah pelamar kerja menoleh ke arahnya, membuat suasana terasa canggung. Babysitter itu mencoba lagi menarik tangan Arley, tapi bocah itu semakin keras menangis sambil menjerit memanggil, "Nggak mau! Mau digendong sama Mama!" Irenne yang semula hanya diam dan gugup, akhirnya tak tega melihatnya. Dengan ragu, ia berjongkok lalu merentangkan tangannya. "Sini, biar Tante peluk kamu, ya." Pelukan yang hangat membuat hatinya perih saat mengingat kandungannya sudah gugur. 'Harusnya aku dapat memeluk seorang anakku,' batinnya dengan mata berkaca-kaca. Sekejap, tangis Arley mereda, merasakan hangatnya dekapan Irenne. Bocah itu segera melompat ke pelukan Irenne, melingkarkan tangannya di leher Irenne dengan erat. Irenne pun berdiri, menggendongnya dengan hati-hati. Ada kehangatan aneh yang mengalir di dadanya, seakan pelukan anak itu adalah kehangatan anaknya sendiri, yang tak rela saat dokter mengatakan ia keguguran. "Mama, jangan pergi lagi. Aley gak mau kehilangan Mama lagi," ucap sang anak lirih. Sesekali masih ada suara isakan lembut. Irenne semakin mendekapnya sambil memejamkan matanya, merasakan tubuh kecil sang anak, Arley Orlando berusia 5 tahun. "Jangan menangis sayang, anak tampan gak boleh menangis. Nanti tampannya hilang," ucap Irenne sambil mengelap air mata yang masih tergenang di pipi Arley. Sementara itu, sang Presdir berdiri terpaku. Ada kerutan samar di keningnya, antara heran, kagum, dan entah perasaan apa yang sulit dia sendiri untuk menjelaskan. Baru ini, Arley begitu akrab dengan orang asing. Biasanya sang anak terbiasa menyendiri dan merenung. Pada saat nama Irenne dipanggil, Suster Ina mencoba menggenggog Arley. Akan tetapi Arley tetap memberontak. "Anak ini tidak mau dilepas, Sus, gimana ya?" tanya Irenne bercampur bingung. Suster Ina mencoba membujuk Arley, tapi anak itu tetap memberontak. "Maaf, Bu. Sebaiknya Arley di ajak ke ruang HRD. Tidak masalah," ucap Suster Ina. "Biar saya ikuti dari belakang." Begitu sampai di depan pintu, tangan Irenne terhenti. Ia tak berani mengetuk. Susterlah yang akhirnya mengetuk pelan, membuat suara bariton dari dalam terdengar. "Masuk." Maka Irenne masuk sambil masih menggendong Arley. Pria berkaca mata mempersilahkan Irenne duduk. Keningnya mengernyit melihat Irenne menggendong Arley. "Mohon maaf, Pak. Karena Arley tidak mau lepas dari Ibu ini, saya terpaksa ikut ke sini," ujar suster kepada HRD. Irenne perlahan menarik kursi lalu duduk berhadapan dengan HRD. Jantungnya berdegup dan serasa ingin lepas dari tempatnya. "Kalian ikut ke ruangan saya. Pak Denis, biar mereka ikut ke ruangan saya saja." Tiba-tiba, seorang pria berwajah dingin sudah berdiri di belakang mereka, sambil meraih map biru di atas meja, yang di dalamnya terdapat data Irenne. Sang HRD, segera mengangguk. Irenne dan Suster Ina pun mengikuti pria itu masuk ke ruangan pria itu. Pintu terbuka, Irenne dan Suster Ina pun melangkah masuk ke ruangan Mark, sang Presdir. "Silakan duduk. Arley, kamu sama suster dulu. Papa ada urusan sama Tante ini,” ucap Mark tegas. “Tapi Pa …” Arley tidak meneruskan ucapannya, seolah dia takut pada tatapan sang ayah. Suster buru-buru menggendong Arley. "Apa kamu tahu, kenapa saya panggil ke sini?" tanya Mark dingin dan kaku bagai balok es. Irenne hanya bisa menggeleng. "Saya gak tahu Pak. Apa maksud Bapak memanggil saya? Apa Bapak nggak suka, kalau Arley, anak Bapak, dekat dengan saya, bahkan memanggil saya dengan sebutan Mama." Mark, pria tinggi dengan otot atletis dan kekar, berkulit putih bening. Wajah Mark mencerminkan ketampanan yang berkelas. Garis rahang yang tegas, hidung mancung, dan rambut yang tertata rapi membuatnya tampak seperti pria dari keluarga bangsawan. Sorot matanya tajam penuh wibawa. "Baiklah, akan saya jelaskan, kenapa saya memanggil Anda.""Kalian gak perlu khawatir, saya sebagai ibunya, wajib memberi perhatian pada anak saya sendiri," ucap Laura sambil menatap Mark dan Irenne dengan nada yang sukar ditebak, antara teguran, kecemasan, dan kepemilikan yang kuat.Suasana meja makan langsung terasa mencekam. Saly berhenti mengunyah, sementara Siren Kai hanya mengangkat alis, menatap Laura dari ujung meja.Beberapa saat kemudian, Bibi kembali ke ruang makan dengan langkah ragu, kepala tertunduk dalam-dalam."Kamar sudah siap ditempati, Nyonya," lapornya pelan."Hmmm, terima kasih, Bi," jawab Laura singkat. Tanpa menunggu reaksi siapa pun, dia langsung melangkah menuju kamar Arley. Tidak ada permisi, tidak ada sopan santun, seolah rumah itu miliknya sendiri.Pintu kamar mengayun tertutup, meninggalkan keheningan yang menegangkan.Siren Kai menatap punggung Laura yang menghilang di balik pintu kamar, tatapannya dingin menusuk. Rahangnya mengeras.Mark dan Irenne saling pandang, masing-masing menyimpan keresahan yang tak merek
Pagi itu, di ruang makan rumah keluarga Mark. Aroma jarumnya roti panggang dengan isi daging asap memenuhi udara. Mark, Irenne, Saly, dan Nenek Sirren Kai sedang duduk sarapan dalam keheningan yang tegang setelah beberapa hari penuh masalah. Arley masih beristirahat di kamarnya—dokter menyarankan agar ia tidak banyak bergerak pascakejadian di proyek kemarin, dan harus banyak beristirahat, karena retaknya lengan kiri. Tok! Tok! Tok! Bibi yang sedang membereskan gelas menoleh cepat dan berjalan ke arah pintu depan. Begitu pintu dibuka, wajahnya langsung berubah kaku. "Nyonya Laura?" bisiknya pelan. Tanpa menunggu dipersilakan, Laura melangkah masuk, sepatunya masih menginjak karpet bersih. Sorot matanya tajam, napasnya terengah sedikit, tanda ia datang dengan emosi penuh. Terlebih saat menatap Irenne. Laura langsung menuju meja makan. Semua orang menoleh, suasana langsung mencekam. Laura: (dengan suara tinggi) "Mana Arley? Aku mau dia ikut aku sekarang juga." Irenne menelan luda
"Mark, aku memang salah. Aku minta maaf," ucap Irenne suatu hari. Mark enggan untuk menoleh. "Nggak ada yang perlu dimaafkan. Lupakan." Sejak hari itu, setiap Mark melihat Irenne, sorot matanya penuh dingin dan penolakan. Saat Irenne mencoba menjelaskan, Mark memalingkan wajah. Saat Irenne mendekat, Mark melangkah pergi. Saat Irenne berkata jujur, Mark menyebutnya, "Hmm, masih berani membela diri setelah kecerobohanmu, yang hampir membunuh Arley." Perlahan, jarak di antara mereka menjadi jurang yang sulit dijembatani. Belum lagi setiap malam sebelum tidur, bisikan Saly Vista terus menggaung di kepala Mark. "Wanita itu memang sengaja kok, ingin menyingkirkan Arley …" "Mama yakin, dia mengejar kekayaan keluarga kita …" "Kamu harusnya lebih berhati-hati dengan perempuan seperti dia Mark. Ingat, dia itu darah pembunuh …" Mark menutup mata, mengabaikan rasa bersalah yang berusaha muncul. Karena ia mulai percaya bahwa Irenne bukan lagi orang yang ia pikir selama ini. Pagi
Arley masih terbaring tak sadarkan diri ketika para pekerja proyek bergegas mengangkat tubuhnya yang tertimpa balok. Mark yang tiba tak lama kemudian langsung memerintahkan,"Hei! Kalian tunggu apa lagi?! Kenapa cuma diam! Cepat! Bawa dia ke rumah sakit sekarang!" seru Mark dengan berang.Suasana kacau. Debu masih beterbangan, para pekerja panik, sementara Irenne berdiri di tengah kerumunan dengan wajah pucat dan tubuh bergetar dan perasaan bersalah.Di Rumah SakitArley akhirnya dinyatakan selamat. Dokter keluar dari ruang UGD dengan wajah tenang menemui Mark."Syukurlah, tidak ada luka internal serius. Hanya retak pada lengan kiri dan beberapa memar," jelas dokter.Mark mengangguk, lega. "Terima kasih Dok. Kalau begitu saya urus administrasi dulu, permisi."Mark melangkah ke loket bagian administrasi. Di sana Irenne sedang duduk melamun bercampur shok. Namun ketika Mark menatap Irenne, sorot matanya berubah—bukan marah, tetapi kecewa yang begitu dalam atas kecerobohan Irenne.Irenne
"Arley!!!! Bangun sayang, bangun Nak!" Saat itu juga air Irenne tidak dapat menahan air matanya untuk meleleh. Arley berusaha melindungi Irenne tanpa memikirkan dirinya sendiri, sehingga kayu balok besar menimpanya. Sehingga yang terdengar berikutnya hanyalah suara Arley meringis pelan di bawah tumpukan debu dan kayu. "Arley!! Arley bangun, Nak! Tolong!! Tolooong!" Irenne berteriak histeris, berusaha mengangkat kayu berat itu dengan tangan gemetar. Beberapa pekerja datang membantu, dan mereka akhirnya menemukan Arley dalam keadaan tak sadarkan diri. Sus Ina terpekik dan langsung menangis. "Tuan kecil! Oh Tuhan…" Irenne menahan tangis, wajahnya pucat pasi. "Cepat! Panggil ambulans!" Beberapa jam kemudian di rumah sakit, Arley terbaring di ruang perawatan dengan perban di lengan kirinya. Dokter menjelaskan kalau ia mengalami retak tulang, tapi nyawanya masih sempat tertolong dan selamat. Irenne menunduk di sisi ranjang, menggenggam tangan anaknya dengan mata sembab. "Maafin Mama,
Siang itu, langit tampak mendung seolah ikut menyimpan beban perasaan yang menggelayuti hati Aurel. Di kontrakan kecil yang kini ia tinggali bersama Edgar dan Amy, suasana terasa sepi. Edgar duduk termenung di kursi tamu bersama Amy.Aurel menatap sekeliling rumah itu dengan rasa tidak percaya. Dulu, ia hidup di rumah megah Kenneth Residence—berlantai marmer, berlampu kristal, penuh kemewahan. Kini, semuanya hilang karena satu nama, Irenne."Irenne!!" pekik hatinya.Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Perempuan itu sudah menghancurkan segalanya ..."Sambil berjalan ke kamarnya, Aurel mengambil ponselnya. Ia membuka daftar kontak dan menggulir ke bawah hingga menemukan nama Melvin. Bibirnya menyunggingkan senyum licik."Untung aku sempat menyimpan nomor Melvin. Dan untung juga aku tahu, dia benci Mark setengah mati karena urusan warisan neneknya," gumam Aurel pelan. "Mungkin ini waktunya kita kerja sama."Tanpa berpikir panjang, ia menekan tombol panggil. Suara di seberang terdengar s







