"Perlu Anda tahu, lowongan yang masih tersisa hanya di bagian cleaning servis. Apa Anda mau di bagian tersebut?" tanya Mark, tatapannya tajam namun penuh penilaian, tak lepas dari wajah Irenne.
"Maaf, Pak. Bidang ini tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan saya," kata Irenne. Mark lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Apa kamu sudah izin dengan keluargamu? Atau dengan suamimu agar bisa bekerja di perusahaan ini?" Pertanyaan itu membuat Irenne membeku. Dia menunduk, mencoba menyembunyikan sorot matanya yang bergetar. "Sa—saya baru aja pisah dengan suami," ucapnya terbata, suaranya nyaris berbisik. Mark mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Bercerai maksudnya?" tanyanya, suaranya dalam dan penuh rasa ingin tahu. Irenne menggigit bibir bawahnya, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Sa—saya belum resmi bercerai. Tapi saya akan bekerja untuk membuat surat cerai secepatnya." Di balik kata-kata itu, tersimpan luka yang dalam pada Davin, sang suami. Tapi pertanyaan-pertanyaan Mark menekannya. "Kamu yakin ingin bercerai dengan suamimu? Kenapa?" tanya Mark pelan, nada suaranya seolah ingin menguji keteguhan hati wanita di hadapannya. "Suami saya selingkuh. Jadi saya memutuskan untuk menggugat cerai dia. Tekad saya udah bulat, Pak," jawab Irenne berapi-api, matanya berkilat menahan amarah sekaligus kesedihan. Sejenak ruangan hening. Hanya suara jam dinding yang terdengar berdetak, seakan ikut menghitung detik keheningan itu. Mark kembali bersandar ke kursinya, kedua tangannya terlipat di dada. Tatapannya tajam dan dalam. Sesekali ia melirik Irenne, seolah sedang menimbang sesuatu yang tak ingin ia ucapkan terburu-buru. Irenne merasa dadanya berdebar kencang. Sorot mata Mark membuatnya gugup, tapi juga menumbuhkan secercah harapan. Rasa penasaran, apa yang sedang dipikirkan pria itu? Apakah dia dianggap layak untuk diterima bekerja sebagai desainer di perusahaan ini? "Saya harap, saya bisa diterima di tempat ini Pak. Tanpa ada kaitannya dengan suami saya. Saya janji, setelah ada uang, secepatnya saya urus perceraian." Dalam hatinya, Irenne berdoa semoga Mark tidak menolaknya hanya karena status rumah tangganya yang berantakan. 'Wanita ini sepertinya cocok menjadi seorang ibu, dari pada Lisa, tunanganku yang selalu cuek dengan Arley. Kalau aku ambil suatu keputusan ini, pastinya Lisa marah besar dan berlaku kasar dengan wanita ini,' batinnya. Mark akhirnya meletakkan kedua tangannya di atas meja, lalu menatap Irenne lekat-lekat. "Hmm, kalau hanya di bagian lain, saya rasa kemampuanmu terlalu berharga untuk itu." Irenne terdiam, keningnya berkerut. "Maksud Bapak?" tanyanya ragu. Mark menghela napas dalam, seolah hendak mengambil keputusan saat itu juga. "Saya punya tawaran lain untukmu. Mungkin akan terdengar aneh, atau bahkan membuat kamu terkejut." Irenne semakin tegang. Seolah ingin secepatnya mendapat jawaban sesuai harapannya. "Pekerjaanmu di sini menjadi ibu sambung bagi Arley, anak saya." Irenne terbelalak, seakan telinganya salah dengar. "I—ibu sambung? Maksud Bapak, saya harus menikah dengan Bapak?" suaranya tercekat, nyaris tak percaya. Mark hanya menatapnya dalam, tanpa senyum, seakan tawaran itu bukan main-main. "Kamu hanya perlu menjadi sosok ibu bagi Arley. Menemaninya, merawatnya, membuatnya merasa punya keluarga utuh lagi, dan membahagiakannya, dan pastinya kamu harus menikah dengan saya." Ruangan kembali hening. Kali ini bukan karena kebingungan Mark, melainkan keterkejutan Irenne. Jantungnya berdegup tak karuan, antara percaya dan tidak, maka Irenne terpaku lama. Melihat Irenne seperti patung, Mark melanjutkan ucapannya. "Kamu bekerja hanya menjadi Mama kandung Arley sepenuhnya. Jalan-jalan, antar sekolah, bermain, dan bacakan dongeng sebelum tidur. Kamu gak perlu khawatir. Suster Ina tetap mengurus Arley. Jadi kamu gak capek. Apa kamu mau terima pekerjaan ini? "Tapi Pak ..." Belum sempat Irenne mengucap, Arley terbangun dari tidurnya. Suara tangisnya memenuhi ruangan, sambil tangannya melambai ke Irenne minta digendong. "Mama, Mama. Aley mau digendong Mama!" Irenne buru-buru menggendongnya, memeluknya, mengusap rambutnya. "Iya, sayang, kamu jangan takut ya. Aley gak boleh nangis. Kalau nangis, nanti pintarnya hilang. Aley gak boleh nangis ya." Arley mengangguk pelan. "Mama janji jangan tinggalin Aley?" tanya Aley dalam isaknya. Irenne terdiam, lalu melirik ke Mark, yang terkesima melihat sang anak begitu rapat pada Irenne, wanita yang baru dikenalnya. "Saya berharap, kamu mau menjawab sekarang. Ada satu hal lagi. Arley pernah mengalami trauma yang sangat berat. Dia pernah mendapat perlakuan Mamanya yang keji," jawab Mark. "Maksudnya, Pak?" tanya Irenne mengernyitkan keningnya. Mark menghela nafas dalam. "Arley pernah mendapat kekerasan dari Laura, ibunya. Sehingga dia mengalami Post-Traumatic Stress Disorder. Yaitu gangguan yang ditandai dengan kegagalan untuk pulih setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang mengerikan. Arley sering melamun, atau sering mengamuk apa bila ada hal yang tidak menyenangkan hatinya. Bisa juga dia menyakiti seseorang, atau menyakiti dirinya sendiri." "Tapi tidak perlu khawatir. Ada suster yang menangani," lanjut Mark. "Maaf, boleh saya tahu di mana ibu anak ini?" tanya Irenne pelan. "Kami sudah bercerai belum lama ini," jawab Mark tegas. "Dan sekarang ... Jawab pertanyaan saya. Bagaimana dengan tawaran saya. Apa kamu mau terima untuk menjadi ibu sambung Arley, dan menikah dengan saya, walau hanya di catatan sipil saja." lanjut Mark menatap lekat mata Irenne."Masalah apa?" tanya Irenne sambil berkernyit, meletakkan gelas air putih di meja.Andrea melemaskan otot-otot kakinya. Sahabat Irenne yang berwajah cantik dan tinggi ini terlihat sedang memikirkan sesuatu. Tatapan matanya serius, tidak seperti biasanya yang penuh dengan canda."Ya, aku harus bilang sesuatu," ucap Andrea dengan nada hati-hati melirik ke Irenne.Irenne menoleh, sedikit heran melihat wajah Andrea yang tampak menahan beban. "Kenapa? Ada apa? Kelihatan banget kamu lagi mikirin sesuatu."Andrea menarik napas panjang, lalu meraih cangkirnya di meja. "Ini soal keluargamu. Perusahaan ayahmu, sekarang sedang di ambang kehancuran."Jantung Irenne berdegup kencang. "Apa maksudmu?!" tanyanya cemas."Ayahmu terlalu banyak menuruti hidup ibu tiri dan adik tiri kamu Ren. Belanja berlebihan, pesta, semua gaya hidup mewah itu menguras keuangan perusahaan. Tiap hari aku bertemu mereka di kantor. Jadi aku tahu tentang kemewahan yang seharusnya adalah milikmu, Ren.""Ditambah lagi adik t
Irenne diam sesaat, pikirannya masih gamang. Tapi akhirnya wanita itu menjawab."Tidak ... sa—saya tidak terima tawaran Bapak."Mark terdiam. Matanya menunduk sesaat, lalu kembali menatap Irenne. Ada gurat kecewa yang jelas terbaca di wajah tampannya. Seolah penolakan itu menghantam harapannya yang sempat ia gantungkan pada wanita di hadapannya. Tawaran untuk menjadi ibu sambung Arley bukan sekadar formalitas baginya, melainkan sebuah jalan keluar yang ia yakini terbaik untuk anaknya. Namun kini, setelah Irenne menolak dengan halus, hatinya terasa hampa.Melihat sorot mata Mark yang meredup, hati Irenne ikut terenyuh. Ia tidak bermaksud menyakiti, hanya saja tawaran itu terlalu berat untuk diterima. Jari-jarinya meremas ujung rok yang ia kenakan, mencoba menahan rasa bersalah yang tiba-tiba muncul."Maafkan saya, Pak ..." ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Ia menunduk, tak sanggup membalas tatapan Mark. Dalam hatinya, Irenne tahu bahwa lelaki itu sedang berjuang demi anaknya. Justr
"Perlu Anda tahu, lowongan yang masih tersisa hanya di bagian cleaning servis. Apa Anda mau di bagian tersebut?" tanya Mark, tatapannya tajam namun penuh penilaian, tak lepas dari wajah Irenne."Maaf, Pak. Bidang ini tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan saya," kata Irenne.Mark lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Apa kamu sudah izin dengan keluargamu? Atau dengan suamimu agar bisa bekerja di perusahaan ini?"Pertanyaan itu membuat Irenne membeku. Dia menunduk, mencoba menyembunyikan sorot matanya yang bergetar."Sa—saya baru aja pisah dengan suami," ucapnya terbata, suaranya nyaris berbisik.Mark mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Bercerai maksudnya?" tanyanya, suaranya dalam dan penuh rasa ingin tahu.Irenne menggigit bibir bawahnya, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Sa—saya belum resmi bercerai. Tapi saya akan bekerja untuk membuat surat cerai secepatnya."Di balik kata-kata itu, tersimpan luka yang dalam pada Davin, sang suami. Tapi pertanyaan-pertany
Irenne menoleh ke seorang anak laki-laki berusia sekitaran lima tahun. Keningnya berkernyit.'Mama? Anak ini memanggil siapa? Panggil aku?' batinnya memandang sang anak yang memeluk pangkuan Irenne."Mama, Mama!" ucap sang anak pria sambil terus memeluknya."Hei, sayang. Kenapa kamu panggil aku, Mama? Di mana Mama kamu?" ucap Irenne tersenyum."Mama, aku kangen sama Mama. Mama jangan pergi lagi ya. Mamaaa."Ucapan sang anak diselingi Isak tangis, yang seolah menyimpan kerinduan seribu tahun, membuat hati Irenne terenyuh. Ia menunduk, menatap wajah polos dengan mata bening penuh kerinduan. 'Pasti anak ini ditinggal ibunya,' pikirnya sambil mengusap rambut halusnya yang wangi samar susu.Di sisi lain, seorang pria dengan jas berwarna cream, sosok tegas sebagai seorang presdir perusahaan itu, berdiri memperhatikan dari kejauhan. Tatapan tajamnya sempat melunak ketika melihat sang anak begitu erat memeluk Irenne.Dia segera melirik seorang babysitter yang baru saja keluar dari toilet. De
Irenne tak dapat menahan amarahnya lagi.Plak!Satu tamparan keras melayang di pipi Aurel. Tindakan Irenne menyita perhatian banyak orang. Bagaimana tidak? Model iklan perusahaan mereka ditampar. Hal itu tentu akan menjadi buah bibir di kantor.Irenne mengabaikan tatapan-tatapan itu."Aku sudah cukup sabar menghadapi perlakuanmu selama ini. Tapi kali ini, aku tidak akan membiarkannya begitu saja," tegas Irenne.Aurel mengepal kuat. Ia mengusap pipinya yang terasa perih. Kekecewaan Aurel semakin memuncak saat Davin hanya diam tak menghentikan Irenne."Security!" panggil Aurel lantang.Dua petugas keamanan dengan berbadan tegap datang.Aurel menunjuk ke arah Irenne. "Cepat bawa wanita ini keluar. Wanita kurang ajar, sepertinya tidak cocok bekerja di sini," perintahnya.Petugas keamanan tampak ragu. Mereka diam saling pandang."Aurel!" seru Irenne. "Kamu jangan keterlaluan!"Aurel melotot ke arah security itu. "Kenapa kalian diam saja! Aku ini model iklan di sini, dan dia sudah menampar
Mendengar kata cerai, Davin tersentak dan segera mematikan ponselnya. Kata-kata yang sangat mustahil diucapkan Irenne, terlontar begitu saja.Davin bangkit dari kursinya, menghampiri Irenne. "Omong kosong! Kau sadar apa yang baru saja kamu katakan, ha?" Irenne berdecih, "Kau bilang omong kosong? Apa kau perduli padaku? Aku baru saja keguguran, tapi kau bahkan tidak menjenguk. Kau asik selingkuh, kan?"Pandangan Irenne dan Davin saling bertaut. Ia tak menyangka Irenne mengetahui perselingkuhannya. Namun, alih-alih merasa bersalah ia justru bersikap acuh tak acuh.Davin membalas, "Kau keguguran karena kecerobohanmu sendiri. Atas dasar apa kau menuduhku selingkuh?" Irenne tak percaya, lelaki yang begitu di cintainya tega mengatakan hal itu. Bayinya bahkan tidak diperdulikan sedikitpun.Padahal, Davin selalu mendesaknya untuk segera hamil. Keluarganya bahkan menuduhnya mandul. Ironisnya, saat Irenne hamil mereka tak ada yang perduli.“Suami macam apa kamu Davin?!”Irenne mengambil pons