LOGINIrenne diam sesaat, pikirannya masih gamang. Tapi akhirnya wanita itu menjawab.
"Tidak ... sa—saya tidak terima tawaran Bapak." Mark terdiam. Matanya menunduk sesaat, lalu kembali menatap Irenne. Ada gurat kecewa yang jelas terbaca di wajah tampannya. Seolah penolakan itu menghantam harapannya yang sempat ia gantungkan pada wanita di hadapannya. Tawaran untuk menjadi ibu sambung Arley bukan sekadar formalitas baginya, melainkan sebuah jalan keluar yang ia yakini terbaik untuk anaknya. Namun kini, setelah Irenne menolak dengan halus, hatinya terasa hampa. Melihat sorot mata Mark yang meredup, hati Irenne ikut terenyuh. Ia tidak bermaksud menyakiti, hanya saja tawaran itu terlalu berat untuk diterima. Jari-jarinya meremas ujung rok yang ia kenakan, mencoba menahan rasa bersalah yang tiba-tiba muncul. "Maafkan saya, Pak ..." ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Ia menunduk, tak sanggup membalas tatapan Mark. Dalam hatinya, Irenne tahu bahwa lelaki itu sedang berjuang demi anaknya. Justru karena alasan itulah, penolakan itu terasa semakin menyesakkan. "Walaupun saya akan memberimu gajih yang cukup besar?" Suara Mark serak, seolah sulit mengeluarkan suara dari kerongkongannya. 'Pria ini baru saja bercerai dengan istrinya. Apa lagi Arley, anaknya mengidap Post-Traumatic Stress Disorder. Gangguan mental yang sulit untuk dipulihkan, pikirnya. 'Bagaimana kalau anak itu mengamuk? Aku takut disalahkan. Suatu gangguan yang sulit untuk dipulihkan. Lebih baik aku cari kerja yang lain saja,’ gumam hatinya. Mark memandangnya dengan tatapan tajam dan dingin. "Kamu bisa bekerja di perusahaan ini sebagai sekretarisku sebagai imbalan, sambil mengasuh anakku. Bagaimana, Apa kamu setuju?" Irenne menggeleng tetap pada pendirian. "Tidak Pak, untuk kali ini saya menolak. Tapi entah untuk lain waktu, siapa tahu pikiran saya berubah, saya akan menghubungi Bapak," jawab Irenne seolah tidak ingin mengecewakan Mark secara langsung. Mark menghela nafasnya berat. "Baiklah, saya tunggu jawabanmu. Telpon saya bila kau berubah pikiran," ujar Mark sambil memberikan kartu nama, yang berstatus Presdir. Irenne menunduk. "Terima kasih Pak. Kalau begitu saya permisi." Dengan langkah pelan, Irenne bangkit dari duduknya. Ia keluar dari ruangan Mark, lalu berjalan menuju area parkir. Hatinya masih bergejolak. Begitu masuk ke dalam mobil, ia melajukannya menuju apartemen yang disewanya. Satu-satunya tempat di mana ia bisa melepaskan semua beban pikirannya ditempat tinggalnya sekarang. Begitu pintu apartemennya tertutup rapat, Irenne melangkah lesu ke kamar tidur. Tanpa mengganti pakaian, ia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Napasnya terhela berat, seolah ingin melepaskan semua beban yang menekan dadanya. Tapi sia-sia, bayangan wajah Mark, dengan sorot mata tajam dan ucapan yang menusuk pikirannya, terus menghantui. Pria itu terlalu tampan, terlalu sempurna, dan justru itulah yang membuat hati Irenne semakin kacau. "Sayang sekali, aku terlalu takut, takut tidak bisa mengurus anak. Apalagi Arley mengidap gangguan mental yang sulit disembuhkan." gumamnya pelan. “Semoga aja aku bisa dapat pekerjaan yang lain. Besok aku akan terus mencari kerja.” Ponsel Irenne bergetar. Layar ponsel itu menyala, menampilkan nama Edgar. Ayahnya. Seketika dada Irenne terasa sesak. Jemarinya enggan menyentuh tombol terima, sebab terlalu banyak kecewa yang sudah ia telan. Sejak dulu, Edgar selalu membela ibu tiri dan adik tirinya, seolah dirinya tak pernah cukup berharga di matanya. Ironis, warisan besar dari Berry Orlando, kakeknya, memang tercatat atas nama Irenne. Namun kini semua itu dikuasai oleh mereka. Ayahnya sendiri yang merampas haknya, menyerahkannya begitu saja kepada orang lain. "Keterlaluan, Papa benar-benar keterlaluan. Aku ini anak kandungmu Pa. Tapi kenapa sepertinya aku dibuang gitu aja," pekiknya sambil mendengus. Tidak lama, suara ketukan pintu terdengar begitu jelas, membuat Irenne tersentak. Ia segera bangkit dan melangkah cepat menuju ruang tamu. Begitu pintu terbuka, tampak seorang sahabat berdiri di ambang pintu dengan senyum hangat, seolah ingin menghapus resah yang sejak tadi menggelayuti hati Irenne. "Andrea? Ayo, masuk," ucap Irenne sambil melangkah masuk, diikuti Andrea. Lalu mereka duduk di kursi sofa ruang tamu. "Aku ambilin minum dulu buat kamu ya," ujar Irenne sambil Ingin melangkah ke dapur. "Eh, gak usah, gak usah. Santai aja. Aku bisa ambil sendiri," sahut Andrea cepat sambil terkekeh. "Aku kan bukan tamu kehormatan, Ren. Lagi pula, kalau aku ke dapurmu, paling juga kulkasmu langsung protes karena isinya habis semua! Tapi kalau kamu mau buatkan aku minum, harus yang literan. Hahaha!" Irenne ikut merasakan suasana dari Andrea, sahabatnya. Dia ikut tertawa sambil melangkah ke dapur, membuka kulkas mengambil air mineral dingin. Setelah puas tertawa, lalu hening sejenak. Andrea menunduk. "Ada yang ingin aku bicarakan masalah keluarga kamu Ren, ini penting.""Kalian gak perlu khawatir, saya sebagai ibunya, wajib memberi perhatian pada anak saya sendiri," ucap Laura sambil menatap Mark dan Irenne dengan nada yang sukar ditebak, antara teguran, kecemasan, dan kepemilikan yang kuat.Suasana meja makan langsung terasa mencekam. Saly berhenti mengunyah, sementara Siren Kai hanya mengangkat alis, menatap Laura dari ujung meja.Beberapa saat kemudian, Bibi kembali ke ruang makan dengan langkah ragu, kepala tertunduk dalam-dalam."Kamar sudah siap ditempati, Nyonya," lapornya pelan."Hmmm, terima kasih, Bi," jawab Laura singkat. Tanpa menunggu reaksi siapa pun, dia langsung melangkah menuju kamar Arley. Tidak ada permisi, tidak ada sopan santun, seolah rumah itu miliknya sendiri.Pintu kamar mengayun tertutup, meninggalkan keheningan yang menegangkan.Siren Kai menatap punggung Laura yang menghilang di balik pintu kamar, tatapannya dingin menusuk. Rahangnya mengeras.Mark dan Irenne saling pandang, masing-masing menyimpan keresahan yang tak merek
Pagi itu, di ruang makan rumah keluarga Mark. Aroma jarumnya roti panggang dengan isi daging asap memenuhi udara. Mark, Irenne, Saly, dan Nenek Sirren Kai sedang duduk sarapan dalam keheningan yang tegang setelah beberapa hari penuh masalah. Arley masih beristirahat di kamarnya—dokter menyarankan agar ia tidak banyak bergerak pascakejadian di proyek kemarin, dan harus banyak beristirahat, karena retaknya lengan kiri. Tok! Tok! Tok! Bibi yang sedang membereskan gelas menoleh cepat dan berjalan ke arah pintu depan. Begitu pintu dibuka, wajahnya langsung berubah kaku. "Nyonya Laura?" bisiknya pelan. Tanpa menunggu dipersilakan, Laura melangkah masuk, sepatunya masih menginjak karpet bersih. Sorot matanya tajam, napasnya terengah sedikit, tanda ia datang dengan emosi penuh. Terlebih saat menatap Irenne. Laura langsung menuju meja makan. Semua orang menoleh, suasana langsung mencekam. Laura: (dengan suara tinggi) "Mana Arley? Aku mau dia ikut aku sekarang juga." Irenne menelan luda
"Mark, aku memang salah. Aku minta maaf," ucap Irenne suatu hari. Mark enggan untuk menoleh. "Nggak ada yang perlu dimaafkan. Lupakan." Sejak hari itu, setiap Mark melihat Irenne, sorot matanya penuh dingin dan penolakan. Saat Irenne mencoba menjelaskan, Mark memalingkan wajah. Saat Irenne mendekat, Mark melangkah pergi. Saat Irenne berkata jujur, Mark menyebutnya, "Hmm, masih berani membela diri setelah kecerobohanmu, yang hampir membunuh Arley." Perlahan, jarak di antara mereka menjadi jurang yang sulit dijembatani. Belum lagi setiap malam sebelum tidur, bisikan Saly Vista terus menggaung di kepala Mark. "Wanita itu memang sengaja kok, ingin menyingkirkan Arley …" "Mama yakin, dia mengejar kekayaan keluarga kita …" "Kamu harusnya lebih berhati-hati dengan perempuan seperti dia Mark. Ingat, dia itu darah pembunuh …" Mark menutup mata, mengabaikan rasa bersalah yang berusaha muncul. Karena ia mulai percaya bahwa Irenne bukan lagi orang yang ia pikir selama ini. Pagi
Arley masih terbaring tak sadarkan diri ketika para pekerja proyek bergegas mengangkat tubuhnya yang tertimpa balok. Mark yang tiba tak lama kemudian langsung memerintahkan,"Hei! Kalian tunggu apa lagi?! Kenapa cuma diam! Cepat! Bawa dia ke rumah sakit sekarang!" seru Mark dengan berang.Suasana kacau. Debu masih beterbangan, para pekerja panik, sementara Irenne berdiri di tengah kerumunan dengan wajah pucat dan tubuh bergetar dan perasaan bersalah.Di Rumah SakitArley akhirnya dinyatakan selamat. Dokter keluar dari ruang UGD dengan wajah tenang menemui Mark."Syukurlah, tidak ada luka internal serius. Hanya retak pada lengan kiri dan beberapa memar," jelas dokter.Mark mengangguk, lega. "Terima kasih Dok. Kalau begitu saya urus administrasi dulu, permisi."Mark melangkah ke loket bagian administrasi. Di sana Irenne sedang duduk melamun bercampur shok. Namun ketika Mark menatap Irenne, sorot matanya berubah—bukan marah, tetapi kecewa yang begitu dalam atas kecerobohan Irenne.Irenne
"Arley!!!! Bangun sayang, bangun Nak!" Saat itu juga air Irenne tidak dapat menahan air matanya untuk meleleh. Arley berusaha melindungi Irenne tanpa memikirkan dirinya sendiri, sehingga kayu balok besar menimpanya. Sehingga yang terdengar berikutnya hanyalah suara Arley meringis pelan di bawah tumpukan debu dan kayu. "Arley!! Arley bangun, Nak! Tolong!! Tolooong!" Irenne berteriak histeris, berusaha mengangkat kayu berat itu dengan tangan gemetar. Beberapa pekerja datang membantu, dan mereka akhirnya menemukan Arley dalam keadaan tak sadarkan diri. Sus Ina terpekik dan langsung menangis. "Tuan kecil! Oh Tuhan…" Irenne menahan tangis, wajahnya pucat pasi. "Cepat! Panggil ambulans!" Beberapa jam kemudian di rumah sakit, Arley terbaring di ruang perawatan dengan perban di lengan kirinya. Dokter menjelaskan kalau ia mengalami retak tulang, tapi nyawanya masih sempat tertolong dan selamat. Irenne menunduk di sisi ranjang, menggenggam tangan anaknya dengan mata sembab. "Maafin Mama,
Siang itu, langit tampak mendung seolah ikut menyimpan beban perasaan yang menggelayuti hati Aurel. Di kontrakan kecil yang kini ia tinggali bersama Edgar dan Amy, suasana terasa sepi. Edgar duduk termenung di kursi tamu bersama Amy.Aurel menatap sekeliling rumah itu dengan rasa tidak percaya. Dulu, ia hidup di rumah megah Kenneth Residence—berlantai marmer, berlampu kristal, penuh kemewahan. Kini, semuanya hilang karena satu nama, Irenne."Irenne!!" pekik hatinya.Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Perempuan itu sudah menghancurkan segalanya ..."Sambil berjalan ke kamarnya, Aurel mengambil ponselnya. Ia membuka daftar kontak dan menggulir ke bawah hingga menemukan nama Melvin. Bibirnya menyunggingkan senyum licik."Untung aku sempat menyimpan nomor Melvin. Dan untung juga aku tahu, dia benci Mark setengah mati karena urusan warisan neneknya," gumam Aurel pelan. "Mungkin ini waktunya kita kerja sama."Tanpa berpikir panjang, ia menekan tombol panggil. Suara di seberang terdengar s







