Share

Hanya Seorang Pengasuh

Penulis: Senja Berpena
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-05 15:07:37

“Tidak!” Nadya menggeleng cepat, seolah mencoba mengusir tuduhan yang baru saja dilontarkan Kalen. Dadanya bergemuruh, sementara tatapannya berusaha menembus dinding kebencian yang lelaki itu bangun di antara mereka.

Kalen menyipitkan matanya, sorotnya tajam, menusuk hingga ke dasar hatinya. “Kalau begitu, kenapa kau bersikeras ingin menjelaskan hal yang tak ingin aku dengar?” suaranya terdengar seperti dentingan baja, dingin dan tak tergoyahkan.

Nadya menelan ludah, mencoba menenangkan gejolak dalam dirinya. “Agar kau berhenti membenciku,” suaranya lirih, hampir lenyap ditelan udara di antara mereka.

Kalen tertawa kecil, tapi tawa itu lebih menyerupai sengatan sarkasme yang mematikan. “Aku tidak akan melupakan semuanya,” bisiknya, suaranya mengandung api yang telah lama membara dalam dadanya. “Aku ingin kau tahu betapa hancurnya hidupku saat itu, Nadya!”

Dengan satu gerakan, ia bangkit dari duduknya, tubuhnya menjulang dalam ketegasan yang tak tergoyahkan. Matanya, sedingin musim dingin yang tak berkesudahan, menatap wajah Nadya tanpa belas kasihan.

“Silakan pergi setelah Melvin berhenti menyusui.” Setiap kata yang terucap seperti belati yang menghunjam tanpa ampun. “Aku tidak ingin melihatmu lebih lama, karena hanya akan membuat amarahku semakin menyala.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik, melangkah pergi menuju kamarnya, meninggalkan jejak kebencian di udara yang masih bergemuruh.

Nadya terdiam, bibirnya bergetar saat matanya menatap punggung Kalen yang perlahan menghilang ke balik pintu. T-shirt hijau yang membalut tubuhnya berkibar sedikit saat ia bergerak, dan entah mengapa, Nadya merasa warna itu seolah semakin menjauh dari hidupnya, tenggelam dalam kegelapan yang tak bisa ia jangkau lagi.

Nadya menarik napas panjang, memaksa dirinya untuk tetap berdiri meski hatinya seakan runtuh berkeping-keping. Dengan langkah gontai, ia kembali ke kamar. Di sana, di dalam keheningan yang menyakitkan, matanya tertumbuk pada sosok kecil yang terbaring di ranjang.

Melvin.

Sang bayi tiba-tiba terbangun, tangisnya pecah di udara, menusuk lebih dalam ke dalam relung hati Nadya yang telah porak-poranda.

Ia segera mengangkat Melvin, mendekapnya erat, lalu menyusuinya dengan tangan yang gemetar. Air mata jatuh, membasahi pipinya yang pucat.

“Kenapa ayahmu begitu jahat padaku?” bisiknya, suara yang hampir tenggelam oleh kepedihan yang menyelimutinya. “Padahal dia juga membutuhkanku, kan?”

Ia menarik napas panjang, berusaha menahan isakan yang hendak pecah dari dadanya.

“Bahkan dia tidak ingin mendengarkan penjelasanku…” Ia menatap kosong ke arah jendela, menyaksikan bayangan dirinya sendiri yang terpantul di kaca. Wajahnya tampak asing—seseorang yang telah kehilangan segalanya.

“Setidaknya aku tidak harus melihat wajah dinginnya setiap saat.”

Senyum pahit terukir samar di bibirnya, getir, penuh kepasrahan.

“Ternyata, keputusanku menerima tawaranmu adalah keputusan yang sangat salah.”

Dengan tangan yang masih gemetar, ia menghapus air matanya, tapi tak ada yang bisa menghapus luka di hatinya.

**  

Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Cahaya matahari merayap perlahan di balik tirai langit, mengusir sisa-sisa embun yang masih melekat di dedaunan.

Udara pagi begitu lembut, mengusap wajah Nadya yang dengan hati-hati membawa Melvin keluar rumah.

Bayi itu terbungkus dalam selimut hangat, kulit mungilnya membutuhkan sinar mentari untuk menyapa dan menguatkannya.

Langkah Nadya pelan, penuh kelembutan seorang ibu yang tak ingin mengganggu lelap buah hatinya.

Ia duduk di bangku kayu di sudut taman, membiarkan sinar matahari menari-nari di atas kulit Melvin yang masih begitu rapuh.

Namun, ketenangan pagi itu terusik oleh suara yang menghentak udara.

“Apa yang kau lakukan di sini, Nadya?”

Suara itu, dalam dan dingin, menggema seperti gelombang yang menghantam karang. Nadya menoleh, mendapati Kalen berdiri tak jauh darinya, ekspresinya tajam dan penuh selidik.

“Kami sedang berjemur. Sinar matahari pagi sangat baik untuk kekebalan tubuh,” jawabnya, nada suaranya tetap tenang meskipun ada kebingungan yang menyelinap di baliknya.

“Memangnya Rania tidak pernah melakukannya saat dia masih hidup?”

Nadya menatapnya penuh tanya, merasa heran mengapa Kalen seakan hendak memarahinya hanya karena membawa Melvin keluar rumah.

Kalen terdiam. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang samar, sulit dibaca, seakan-akan kenangan lama baru saja bangkit dari tidur panjangnya.

Pandangannya jatuh pada Melvin yang masih tertidur nyenyak di pangkuan Nadya, napas kecil bayi itu teratur, damai, seolah dunia di sekitarnya tidak ada.

“Ya. Dia juga melakukan ini setiap pagi,” akhirnya Kalen menjawab, suaranya sedikit lebih pelan.

“Aku hanya khawatir kau membawanya keluar dari rumah ini. Banyak musuh di luaran sana yang masih mengincarku.”

Nadya menghela napas, memahami kekhawatiran itu. Ia tahu, Kalen bukan sekadar pria biasa—dia seorang pengusaha besar, pria yang kesuksesannya bukan hanya membawa kemakmuran, tapi juga bahaya.

Dan di luar sana, banyak mata yang mengintai, menunggu celah untuk menyerangnya.

“Aku tidak akan membawanya keluar rumah. Untuk apa?” Nadya menggeleng pelan.

“Halaman rumahmu saja sudah lebih luas dari yang kubutuhkan. Aku hanya ingin mengajak Melvin jalan-jalan di sekitar rumah, jangan khawatir.”

Dengan lembut, ia mulai mendorong stroller, melangkah kembali ke dalam rumah setelah lima belas menit berlalu.

Kalen mengikutinya dari belakang, bayangannya membayang di lantai marmer yang berkilau. Begitu sampai di kamar, Nadya berhenti dan menoleh, matanya menatap Kalen dengan sorot tak terbaca.

“Kau mau apa?” tanyanya, suaranya tetap lembut tapi sarat dengan ketegasan.

“Aku harus menyusui Melvin dan memandikannya. Bukankah tugasku di sini bukan hanya sekadar ibu susu? Melainkan seorang pengasuh juga?”

Nada dalam suaranya membuat Kalen menegang.

“Kau menyindirku?” tanyanya, nadanya sedikit lebih keras, tidak menyukai arah pembicaraan ini.

Nadya tersenyum kecil, senyum yang sama sekali tidak menghadirkan kehangatan. Senyum itu lebih seperti tirai yang menutupi luka lama yang masih menganga.

“Tidak,” jawabnya akhirnya, tanpa sedikit pun menatap Kalen. “Aku hanya mengingatkan diriku sendiri siapa aku di rumah ini.”

Hening merayap di antara mereka. Ada sesuatu yang berat di udara, sesuatu yang tak terucap namun begitu jelas terasa.

Lalu, dengan suara yang lebih dalam, hampir seperti bisikan yang menyusup ke dalam rongga hati, Nadya berkata, “Kalau begitu, kau harus membayarku setiap bulan.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (16)
goodnovel comment avatar
Nining Mulyaningsi
bagus Nadya lebih baik kamu emang jadi pengasuh Malvin biarkan masa lalu berlalu biarkan c kalen mengetahui kebenarannya sendiri yang jelas sekarang kau harus mengumpulkan uang supaya d saat kau terusir kamu udah punya bekal .
goodnovel comment avatar
Kania Putri
curiga sih kalo rania gak becus ngurus Melvin ini orang cuma berjemur aja kamu panik bukan main pake alasan ada musuh lalu jawabanmu agak gimana gitu liat tuh Nadya tulus merawat Melvin
goodnovel comment avatar
Kania Putri
nah gitu gpp Nadya tegas sedikit lagian jahat banget tuh mulut di skak balik nyaho kan kamu kalen butuh asi butuh tenaga layaknya pengasuh kamu harus bayar tenaga Nadya ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Menjadi Ibu Susu Anak Mantanku   Ending Chapter~

    “Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bunuh diri. Apa kau gila?” suara tegas itu terdengar diiringi genggaman kuat pada pergelangan tangannya. Wanita itu tersentak, lalu menoleh dengan wajah basah air mata. Seorang pria muda dengan jas dokter dan wajah cemas menatapnya tajam. Davian langsung menaruh kacamatanya di saku jas, lalu menarik wanita itu turun dari pagar dengan cermat dan cepat. Napasnya memburu. Ia menatap wanita yang kini terduduk di trotoar, menangis sesenggukan tanpa bisa menyembunyikan rasa hancurnya. “Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang,” tanya Davian lembut, menekuk lutut di hadapan wanita itu. Namun, wanita itu menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari genggaman Davian dan menunduk. “Tidak perlu mengurusku. Bahkan orang tuaku saja ingin menjualku pada mucikari. Apa gunanya aku hidup di dunia ini jika orang tuaku saja membuangku begitu hinanya?” Kalimat itu menggema di telinga Davian, menusuk hatinya. Ia terdiam sejenak, tak menemukan kata. Matanya m

  • Menjadi Ibu Susu Anak Mantanku   Perkenalan Menyebalkan

    Ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung KL’s Group hari itu penuh dengan petinggi perusahaan dan kepala divisi yang mengenakan setelan terbaik mereka.Mata-mata tertuju pada satu sosok muda yang berdiri di samping Kalen, CEO yang sudah memimpin selama lebih dari dua dekade. Kini, estafet itu akan diberikan kepada darah dagingnya sendiri.“Perkenalkan, Melvin,” ujar Kalen lantang, suaranya memenuhi ruang rapat dengan wibawa yang masih kuat meskipun usianya tak lagi muda.“Putra pertamaku yang akan menjabat sebagai CEO di kantor ini mulai hari ini. Aku akan tetap memantaunya selama beberapa bulan ke depan untuk melihat potensinya dengan baik.”Beberapa orang bertepuk tangan pelan, sementara sebagian lainnya saling pandang, mencoba menebak bagaimana kepemimpinan Melvin akan berjalan.Sebagian besar dari mereka tahu reputasi Melvin—brilian, tapi keras kepala. Pintar, tapi sering kali terlalu tajam dalam bicara. Sifat yang mewarisi Kalen, namun dengan ketidaksabaran khas anak muda.Ha

  • Menjadi Ibu Susu Anak Mantanku   Debat Ayah dan Anak

    Dua puluh dua tahun kemudian…Suasana ruang keluarga itu masih sama seperti bertahun-tahun lalu—hangat, luas, dan penuh kenangan.Namun kini, aroma kopi dan dokumen kantor menggantikan bau susu bayi dan tawa anak-anak. Waktu telah berjalan jauh, dan generasi baru telah tumbuh dewasa.“Melvin. Mulai besok kau masuk kantor dan bekerja seperti saat kau magang enam bulan yang lalu. Tidak ada penolakan apa pun kecuali kau mengalami diare,” kata Kalen tegas, tanpa basa-basi.Ia berdiri di depan rak buku dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, memperlihatkan gurat-gurat usia dan ketegasan yang kian menguat.Melvin, yang kini berusia dua puluh lima tahun dengan tubuh tinggi tegap dan wajah tampan mirip ayahnya, hanya memutar bola matanya.Dengan malas ia mengempaskan tubuhnya ke sofa empuk berwarna krem dan menatap ayahnya dengan tatapan datar dan penuh protes.“Apa tidak bisa lusa saja? Besok aku masih harus bertemu dengan teman-temanku, Pa,” ucapnya beralasan, nada suaranya

  • Menjadi Ibu Susu Anak Mantanku   Davian Arlangga Reandra

    Kalen perlahan membuka matanya. Ia sempat kebingungan beberapa detik sebelum kesadarannya pulih sepenuhnya.Begitu melihat Nadya yang tengah menyusui, ia segera bangkit dan menghampiri dengan langkah pelan, khawatir mengganggu.Ia duduk di kursi dekat ranjang dan tersenyum melihat pemandangan indah di depannya. "Pemandangan paling indah di dunia," gumamnya.Nadya tersenyum kecil menatap suaminya. "Sudah kenyang tidurnya?"Kalen terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya. "Sepertinya begitu. Tapi sepertinya aku melewatkan sesuatu?""Ya, sepertinya kau tidur terlalu pulas. Tadi Mama dan Papa datang menjenguk," jawab Nadya sambil memandangi bayi mereka.Kalen membelalakkan mata, lalu menatap Nadya dengan raut bersalah. "Apa? Serius? Aku bahkan tidak mendengar apa-apa… Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kelelahan."Nadya menggeleng pelan, wajahnya tetap lembut. "Tak apa, Kalen. Mama mengerti. Dia tahu kau begadang semalaman menemaniku."Kalen menghela napas lega dan mengangguk. Ia memandangi b

  • Menjadi Ibu Susu Anak Mantanku   Ada Pada Diri Kalen

    "Nadya..." pintu ruangan terbuka pelan. Eliza dan Ferdy melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Mata Eliza langsung berkaca-kaca begitu melihat putrinya terbaring di ranjang rumah sakit.Eliza menghampiri dan memeluk anaknya dengan lembut. Ia mencium kening Nadya dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kata Kalen, kau terus menangis sepanjang persalinan."Nadya tersenyum lemah dan menoleh ke arah sofa, melihat Kalen yang tertidur dengan kepala bersandar ke sisi tangan sofa. "Apa Kalen yang menghubungi Mama dan Papa?" tanyanya pelan.Eliza mengangguk, wajahnya masih diliputi rasa khawatir. "Ya. Dia menangis saat menelepon kami... suaranya gemetar saat bilang kau terus menangis. Dia sangat mengkhawatirkanmu, Nadya. Ada apa sebenarnya?"Nadya terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah mencoba meredakan gejolak di dadanya."Aku hanya... teringat kejadian tiga tahun lalu," ucapnya akhirnya, suaranya berge

  • Menjadi Ibu Susu Anak Mantanku   Rintihan Tangis Haru Nadya

    Suara detak mesin monitor rumah sakit berdentang pelan di ruangan bersalin yang terasa dingin, meski udara di dalamnya cukup hangat.Malam itu langit mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi jendela besar di sisi ruangan. Di atas ranjang bersalin, Nadya menggenggam erat seprai putih di bawah tubuhnya.Napasnya berat, bibirnya kering, dan wajahnya tampak pucat karena menahan rasa sakit luar biasa dari kontraksi yang terus datang bergelombang.Sembilan bulan sudah ia mengandung, dan kini saat itu telah tiba—waktu untuk melahirkan anak kedua.Rasa sakit itu begitu nyata, begitu kuat, mengingatkannya pada tiga tahun silam. Saat ia berjuang melahirkan bayinya yang telah tiada… seorang diri.Tak ada seorang pun dari keluarga mantan suaminya, Jonathan, yang menemani atau peduli. Ia merasa seperti bertarung sendirian antara hidup dan mati.Namun, kali ini berbeda. Di sisinya ada Kalen—pria yang kini menjadi suaminya, yang mencintainya dengan tulus, dan yang tak pernah lelah menemaninya se

  • Menjadi Ibu Susu Anak Mantanku   Kebahagiaan yang Tak Mau Dibagi

    Di bawah langit biru cerah dan hembusan angin laut yang sejuk, villa mewah di tepi pantai Spiaggia San Vito Lo Capo tampak bagaikan istana dalam dongeng.Laut yang tenang menjadi latar sempurna untuk pernikahan Julian dan Shopia. Hari itu, bukan hanya momen sakral untuk pasangan pengantin, tapi juga momen penuh haru dan sukacita bagi keluarga dan sahabat yang hadir.Musim semi menghiasi Italia dengan bunga-bunga yang bermekaran. Aroma lavender dan melati menyatu dengan garam laut, menciptakan atmosfer yang mendamaikan.Nadya yang tengah hamil lima bulan tampak anggun dengan gaun sifon berwarna pastel yang mengembang lembut di sekeliling tubuhnya.Ia berdiri di samping suaminya, Kalen, memandangi prosesi pemberkatan pernikahan sepupunya, Shopia, dengan mata berkaca-kaca.Usai prosesi, para tamu mulai memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Nadya dan Kalen melangkah mendekati Julian dan Shopia, bergabung dengan gelombang orang-orang yang memeluk dan menyalami mereka."Selamat,

  • Menjadi Ibu Susu Anak Mantanku   Hadiah untuk Kalen

    Kalen memutar bola matanya dan tertawa pelan. “Hanya dua menit, Sayang. Bukan dua jam.” Balasnya sambil mencondongkan tubuh, ingin menyentuh tangannya.Nadya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sebelum senyum lebarnya merekah. “Karena hari ini aku sedang ingin memarahimu, jadi biarkan saja. Sekarang make a wish dulu dan tiup lilinnya.”Kalen tertawa pelan, lalu menatap kue ulang tahun di hadapannya. Cahaya lilin menari lembut di antara angin malam yang tenang. Ia menutup mata, dan dalam diam ia berdoa.Bukan untuk kesuksesan atau kekayaan, tapi untuk kebahagiaan sederhana yang ada di hadapannya malam itu—istri yang setia menantinya, anak yang tumbuh dalam cinta, dan hidup yang tak perlu sempurna, selama mereka saling memiliki.Lilin itu padam seiring doanya berhembus, dan Nadya langsung bertepuk tangan sambil tersenyum sumringah.“Selamat ulang tahun, Kalen. Semoga hanya aku yang bisa membuatmu bahagia dan selalu menjadi tempat ternyamanmu.”Nadya mengucapkan kalimat itu dengan

  • Menjadi Ibu Susu Anak Mantanku   Kejutan untuk Kalen

    “Kau masih di mana, Kalen?” Suara Nadya terdengar pelan namun mengandung nada khawatir saat ia menghubungi Kalen.Tangannya sibuk merapikan taplak meja putih yang telah ia pilih dengan penuh pertimbangan pagi tadi.Di atasnya, dua buah piring porselen bermotif elegan telah tersusun rapi, disertai lilin kecil dan bunga mawar yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah mereka.Malam itu bukan hari jadi pernikahan mereka, bukan ulang tahun, tapi Nadya ingin memberikan sesuatu yang sederhana namun bermakna—sebuah malam tenang hanya untuk mereka berdua.“Aku masih di kantor, Sayang. Baru saja selesai meeting dan evaluasi beberapa proyek yang hampir selesai,” jawab Kalen dari seberang telepon. Suaranya terdengar lelah namun tetap hangat.Nadya menatap langit yang mulai meredup, rona jingga senja perlahan memudar di antara dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin.“Tapi, kau tidak lupa, kan?” tanyanya pelan, ada sedikit ketakutan yang tak ia ucapkan—takut momen yang ia siapkan dengan

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status