“Lagi pula, Nadya hanya seorang perawat Melvin. Tidak lebih dari itu,” ucap Kalen, suaranya dingin bak angin malam yang menggigit tulang, menegaskan bahwa Nadya bukanlah bagian dari kepentingannya, bukanlah seseorang yang layak diperhitungkan dalam hidupnya.
Nadya menoleh perlahan, seperti boneka porselen yang retak, matanya memburam oleh luka yang mendadak mengiris relung hatinya.
Dadanya bergemuruh hebat, bukan karena amarah semata, melainkan oleh kepedihan yang menggulung-gulung, menyesakkan, membelitnya dalam ketidakberdayaan.
Kata-kata Kalen menamparnya tanpa ampun, menjadikannya sekadar bayangan samar di dunia yang tak lagi memerlukannya.
“Jadi, Mama tidak perlu khawatir terjadi sesuatu pada Melvin. Aku akan terus memantaunya setiap hari. Dan jika bukan karena tidak ada pilihan lain, aku pun tidak ingin memilih Nadya sebagai ibu susu Melvin.”
Nada suara itu, tajam seperti ujung pisau yang dihunuskan tepat ke jantungnya. Di mata Kalen, ia bukanlah siapa-siapa.
Tidak lebih dari seonggok kenangan yang tak diinginkan, yang ingin dilenyapkan secepat mungkin.
Kata-kata itu kembali diucapkan, seolah hendak mengukir kepastian di udara, menggoreskan ketidakpedulian yang mengerikan. Kalen membencinya.
Dengan sepenuh keberadaannya. Jangankan menginginkannya kembali, bahkan sekadar mengizinkan dirinya merasa jatuh cinta lagi pun tak ada dalam kamus hidup lelaki itu.
“Aku juga akan memantaumu, Kalen.” Suara Nadya gemetar, bukan karena takut, tetapi karena harga dirinya yang terinjak begitu dalam.
“Sebagai seorang pengasuh? Derajat itu memang pantas untuk wanita pengkhianat sepertimu, Nadya!”
Nala bangkit dari duduknya, gaun mahalnya berdesir pelan mengikuti gerakan tubuhnya yang anggun tapi mengandung bara dingin yang membakar. Matanya, redup tapi penuh kemarahan, menembus jiwa Nadya seperti belati es yang tak kasatmata.
“Jangan pernah bermimpi akan menjadi menantuku, Nadya.” Suaranya merayap pelan, namun mencengkeram kuat, menyayat seperti belati. “Kau hanyalah seorang murahan yang telah menyakiti hati anakku!”
Kata-kata itu meluncur begitu kejam, begitu dingin, seperti musim dingin yang tak berkesudahan, membekukan setiap harapan yang tersisa.
Nala melangkah pergi, tapi aura kemarahannya masih menggantung di udara, seolah rumah itu pun ikut mencatat luka yang baru saja diukirkan.
“Carikan ibu susu untuk Melvin, jika bisa, dalam waktu dekat ini.” Nala menghubungi seseorang, suaranya mengandung kepastian yang tak terbantahkan.
“Aku tidak sudi cucuku diberi ASI oleh wanita murahan itu!” desisnya, sebelum akhirnya mobilnya melaju pergi, meninggalkan jejak ketidakrelaan yang panjang di halaman rumah megah milik anaknya.
Sementara di dalam rumah, cahaya lampu temaram menyoroti siluet dua jiwa yang terpisah oleh jurang luka dan kebencian.
Nadya menatap Kalen yang duduk santai di sofa, seolah kehadirannya tak lebih dari sekadar angin yang berlalu.
Di tangannya, secangkir kopi mengepul, aromanya pekat, namun tak cukup kuat untuk menghangatkan suasana yang beku di antara mereka.
“Apa kau tidak ingin mendengar sedikit saja penjelasan dariku, Kalen?” tanya Nadya, suaranya lirih, hampir menyerupai bisikan angin malam yang meratap di balik jendela.
Tanpa menoleh sedikit pun, tanpa sedikit pun memberi celah untuk harapan, Kalen menggeleng tegas.
Gerakannya seperti palu godam yang menghantam dan meremukkan sisa keberanian yang Nadya kumpulkan.
“Kembali ke kamarmu dan jaga Melvin dengan baik. Aku tidak main-main dengan ucapanku tadi.”
Dingin. Tajam. Kata-kata itu meluncur dengan ketegasan yang tak tergoyahkan, seperti ukiran di atas batu yang tak akan luntur oleh waktu.
Nadya meremas jemarinya, mencoba mencari pegangan di tengah gejolak yang bergemuruh dalam dadanya.
Napasnya tersengal, bukan karena udara yang menipis, tapi karena luka yang kian melebar setiap kali suara Kalen menghantam hatinya.
“Ini adalah kesempatanku untuk menjelaskan semuanya,” suaranya bergetar, namun dipaksakan untuk tetap tegak.
“Aku tidak mengenal pria itu. Aku bahkan tidak tidur dengannya. Aku tidak mengkhianatimu, Kalen. Itu semua hanya salah paham, dan aku dijebak.”
Tapi harapan itu mati bahkan sebelum sempat tumbuh.
“Cukup, Nadya!”
Pekikan Kalen mengiris udara, penuh dengan bara emosi yang siap membakar apa pun di sekitarnya.
“Kau pikir aku akan memaafkanmu begitu saja setelah kau menjelaskan semuanya?”
Nadya menggigit bibirnya, menahan perih yang menusuk hingga ke tulang. “Setidaknya begitu,” ucapnya, hampir seperti gumaman, seolah sadar bahwa jawabannya hanya akan menjadi abu di telapak tangan Kalen.
Kalen mendengkus, bibirnya melengkung dalam seringai pahit. “Maaf saja tidak cukup, Nadya.” Matanya menatapnya tanpa belas kasihan, seperti es yang tak akan pernah mencair.
“Kau telah mempermalukan keluargaku, keluarga yang telah menerimamu, yang telah menganggapmu bagian dari kami. Kau juga menghancurkan kepercayaan Mama yang sudah menyayangimu.”
Nadya menelan salivanya dengan pelan, merasakan getir yang menggumpal di tenggorokannya.
Tak ada kata-kata yang mampu keluar, tak ada pembelaan yang bisa menembus tembok kokoh yang telah dibangun Kalen di antara mereka. Yang tersisa hanya air mata, jatuh tanpa suara, membawa kepedihan yang tak terkatakan.
“Hapus air mata dustamu itu, Nadya.” Suara Kalen terdengar seperti pisau yang mengiris perlahan, penuh dengan kegetiran yang tak berujung.
“Tangisanmu tidak akan bisa mengembalikan semuanya seperti semula. Aku membencimu, dan sampai kapan pun kau hanyalah masa lalu yang menyakitkan.”
Kalen menatap datar wajah Nadya yang masih berdiri di hadapanya. “Atau … sebenarnya kau masih mencintaiku?”
“Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bunuh diri. Apa kau gila?” suara tegas itu terdengar diiringi genggaman kuat pada pergelangan tangannya. Wanita itu tersentak, lalu menoleh dengan wajah basah air mata. Seorang pria muda dengan jas dokter dan wajah cemas menatapnya tajam. Davian langsung menaruh kacamatanya di saku jas, lalu menarik wanita itu turun dari pagar dengan cermat dan cepat. Napasnya memburu. Ia menatap wanita yang kini terduduk di trotoar, menangis sesenggukan tanpa bisa menyembunyikan rasa hancurnya. “Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang,” tanya Davian lembut, menekuk lutut di hadapan wanita itu. Namun, wanita itu menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari genggaman Davian dan menunduk. “Tidak perlu mengurusku. Bahkan orang tuaku saja ingin menjualku pada mucikari. Apa gunanya aku hidup di dunia ini jika orang tuaku saja membuangku begitu hinanya?” Kalimat itu menggema di telinga Davian, menusuk hatinya. Ia terdiam sejenak, tak menemukan kata. Matanya m
Ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung KL’s Group hari itu penuh dengan petinggi perusahaan dan kepala divisi yang mengenakan setelan terbaik mereka.Mata-mata tertuju pada satu sosok muda yang berdiri di samping Kalen, CEO yang sudah memimpin selama lebih dari dua dekade. Kini, estafet itu akan diberikan kepada darah dagingnya sendiri.“Perkenalkan, Melvin,” ujar Kalen lantang, suaranya memenuhi ruang rapat dengan wibawa yang masih kuat meskipun usianya tak lagi muda.“Putra pertamaku yang akan menjabat sebagai CEO di kantor ini mulai hari ini. Aku akan tetap memantaunya selama beberapa bulan ke depan untuk melihat potensinya dengan baik.”Beberapa orang bertepuk tangan pelan, sementara sebagian lainnya saling pandang, mencoba menebak bagaimana kepemimpinan Melvin akan berjalan.Sebagian besar dari mereka tahu reputasi Melvin—brilian, tapi keras kepala. Pintar, tapi sering kali terlalu tajam dalam bicara. Sifat yang mewarisi Kalen, namun dengan ketidaksabaran khas anak muda.Ha
Dua puluh dua tahun kemudian…Suasana ruang keluarga itu masih sama seperti bertahun-tahun lalu—hangat, luas, dan penuh kenangan.Namun kini, aroma kopi dan dokumen kantor menggantikan bau susu bayi dan tawa anak-anak. Waktu telah berjalan jauh, dan generasi baru telah tumbuh dewasa.“Melvin. Mulai besok kau masuk kantor dan bekerja seperti saat kau magang enam bulan yang lalu. Tidak ada penolakan apa pun kecuali kau mengalami diare,” kata Kalen tegas, tanpa basa-basi.Ia berdiri di depan rak buku dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, memperlihatkan gurat-gurat usia dan ketegasan yang kian menguat.Melvin, yang kini berusia dua puluh lima tahun dengan tubuh tinggi tegap dan wajah tampan mirip ayahnya, hanya memutar bola matanya.Dengan malas ia mengempaskan tubuhnya ke sofa empuk berwarna krem dan menatap ayahnya dengan tatapan datar dan penuh protes.“Apa tidak bisa lusa saja? Besok aku masih harus bertemu dengan teman-temanku, Pa,” ucapnya beralasan, nada suaranya
Kalen perlahan membuka matanya. Ia sempat kebingungan beberapa detik sebelum kesadarannya pulih sepenuhnya.Begitu melihat Nadya yang tengah menyusui, ia segera bangkit dan menghampiri dengan langkah pelan, khawatir mengganggu.Ia duduk di kursi dekat ranjang dan tersenyum melihat pemandangan indah di depannya. "Pemandangan paling indah di dunia," gumamnya.Nadya tersenyum kecil menatap suaminya. "Sudah kenyang tidurnya?"Kalen terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya. "Sepertinya begitu. Tapi sepertinya aku melewatkan sesuatu?""Ya, sepertinya kau tidur terlalu pulas. Tadi Mama dan Papa datang menjenguk," jawab Nadya sambil memandangi bayi mereka.Kalen membelalakkan mata, lalu menatap Nadya dengan raut bersalah. "Apa? Serius? Aku bahkan tidak mendengar apa-apa… Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kelelahan."Nadya menggeleng pelan, wajahnya tetap lembut. "Tak apa, Kalen. Mama mengerti. Dia tahu kau begadang semalaman menemaniku."Kalen menghela napas lega dan mengangguk. Ia memandangi b
"Nadya..." pintu ruangan terbuka pelan. Eliza dan Ferdy melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Mata Eliza langsung berkaca-kaca begitu melihat putrinya terbaring di ranjang rumah sakit.Eliza menghampiri dan memeluk anaknya dengan lembut. Ia mencium kening Nadya dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kata Kalen, kau terus menangis sepanjang persalinan."Nadya tersenyum lemah dan menoleh ke arah sofa, melihat Kalen yang tertidur dengan kepala bersandar ke sisi tangan sofa. "Apa Kalen yang menghubungi Mama dan Papa?" tanyanya pelan.Eliza mengangguk, wajahnya masih diliputi rasa khawatir. "Ya. Dia menangis saat menelepon kami... suaranya gemetar saat bilang kau terus menangis. Dia sangat mengkhawatirkanmu, Nadya. Ada apa sebenarnya?"Nadya terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah mencoba meredakan gejolak di dadanya."Aku hanya... teringat kejadian tiga tahun lalu," ucapnya akhirnya, suaranya berge
Suara detak mesin monitor rumah sakit berdentang pelan di ruangan bersalin yang terasa dingin, meski udara di dalamnya cukup hangat.Malam itu langit mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi jendela besar di sisi ruangan. Di atas ranjang bersalin, Nadya menggenggam erat seprai putih di bawah tubuhnya.Napasnya berat, bibirnya kering, dan wajahnya tampak pucat karena menahan rasa sakit luar biasa dari kontraksi yang terus datang bergelombang.Sembilan bulan sudah ia mengandung, dan kini saat itu telah tiba—waktu untuk melahirkan anak kedua.Rasa sakit itu begitu nyata, begitu kuat, mengingatkannya pada tiga tahun silam. Saat ia berjuang melahirkan bayinya yang telah tiada… seorang diri.Tak ada seorang pun dari keluarga mantan suaminya, Jonathan, yang menemani atau peduli. Ia merasa seperti bertarung sendirian antara hidup dan mati.Namun, kali ini berbeda. Di sisinya ada Kalen—pria yang kini menjadi suaminya, yang mencintainya dengan tulus, dan yang tak pernah lelah menemaninya se
Di bawah langit biru cerah dan hembusan angin laut yang sejuk, villa mewah di tepi pantai Spiaggia San Vito Lo Capo tampak bagaikan istana dalam dongeng.Laut yang tenang menjadi latar sempurna untuk pernikahan Julian dan Shopia. Hari itu, bukan hanya momen sakral untuk pasangan pengantin, tapi juga momen penuh haru dan sukacita bagi keluarga dan sahabat yang hadir.Musim semi menghiasi Italia dengan bunga-bunga yang bermekaran. Aroma lavender dan melati menyatu dengan garam laut, menciptakan atmosfer yang mendamaikan.Nadya yang tengah hamil lima bulan tampak anggun dengan gaun sifon berwarna pastel yang mengembang lembut di sekeliling tubuhnya.Ia berdiri di samping suaminya, Kalen, memandangi prosesi pemberkatan pernikahan sepupunya, Shopia, dengan mata berkaca-kaca.Usai prosesi, para tamu mulai memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Nadya dan Kalen melangkah mendekati Julian dan Shopia, bergabung dengan gelombang orang-orang yang memeluk dan menyalami mereka."Selamat,
Kalen memutar bola matanya dan tertawa pelan. “Hanya dua menit, Sayang. Bukan dua jam.” Balasnya sambil mencondongkan tubuh, ingin menyentuh tangannya.Nadya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sebelum senyum lebarnya merekah. “Karena hari ini aku sedang ingin memarahimu, jadi biarkan saja. Sekarang make a wish dulu dan tiup lilinnya.”Kalen tertawa pelan, lalu menatap kue ulang tahun di hadapannya. Cahaya lilin menari lembut di antara angin malam yang tenang. Ia menutup mata, dan dalam diam ia berdoa.Bukan untuk kesuksesan atau kekayaan, tapi untuk kebahagiaan sederhana yang ada di hadapannya malam itu—istri yang setia menantinya, anak yang tumbuh dalam cinta, dan hidup yang tak perlu sempurna, selama mereka saling memiliki.Lilin itu padam seiring doanya berhembus, dan Nadya langsung bertepuk tangan sambil tersenyum sumringah.“Selamat ulang tahun, Kalen. Semoga hanya aku yang bisa membuatmu bahagia dan selalu menjadi tempat ternyamanmu.”Nadya mengucapkan kalimat itu dengan
“Kau masih di mana, Kalen?” Suara Nadya terdengar pelan namun mengandung nada khawatir saat ia menghubungi Kalen.Tangannya sibuk merapikan taplak meja putih yang telah ia pilih dengan penuh pertimbangan pagi tadi.Di atasnya, dua buah piring porselen bermotif elegan telah tersusun rapi, disertai lilin kecil dan bunga mawar yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah mereka.Malam itu bukan hari jadi pernikahan mereka, bukan ulang tahun, tapi Nadya ingin memberikan sesuatu yang sederhana namun bermakna—sebuah malam tenang hanya untuk mereka berdua.“Aku masih di kantor, Sayang. Baru saja selesai meeting dan evaluasi beberapa proyek yang hampir selesai,” jawab Kalen dari seberang telepon. Suaranya terdengar lelah namun tetap hangat.Nadya menatap langit yang mulai meredup, rona jingga senja perlahan memudar di antara dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin.“Tapi, kau tidak lupa, kan?” tanyanya pelan, ada sedikit ketakutan yang tak ia ucapkan—takut momen yang ia siapkan dengan