Share

Dirujuk

Penulis: Libra Syafarika
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-07 12:15:29

Ayu menunduk. "Maaf, Bu. Saya tidak ada biaya untuk melahirkan Caesar. Bisa normal saja, Bu?"

Bidan menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Ayu yang dingin. Matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam.

"Mbak, ini berbahaya. Sekarang saja tidak ada kontraksi, bagaimana mau lahiran normal? Ayo, saya periksa dulu."

Tanpa menunggu jawaban, ia merangkul Ayu masuk ke dalam. Hujan masih deras di luar, tetapi untuk pertama kalinya malam ini, Ayu merasakan sedikit kehangatan.

Ayu berbaring di atas ranjang pasien, napasnya tersengal saat asisten bidan membantunya menekuk kaki. Hujan masih terdengar samar di luar, namun dinginnya kini berganti dengan ketegangan yang menggigit.

Bidan menarik sarung tangan medis, lalu dengan hati-hati memasukkan jarinya ke liang kemaluan Ayu. Wajahnya mengeras. Hanya cukup satu jari. Tidak ada pembukaan.

Bidan menarik tangannya keluar, melepas sarung tangan dengan gerakan cepat. "Mbak, ini tidak ada pembukaan sama sekali, tapi Mbak sudah pendarahan. Harus dirujuk ke rumah sakit sekarang juga."

Ayu mencengkeram seprai dengan gemetar. "Jangan, Bu! Saya mohon, jangan! Saya tidak ada biaya."

Bidan menatapnya tajam, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Bisa-bisanya dalam keadaan begini kamu masih memikirkan biaya?" Suaranya meninggi, "Ini soal nyawa kamu dan bayi kamu! Cepat masukkan ke ambulans!"

Asisten bidan langsung bergerak, sementara Ayu tetap membeku di tempatnya. Dada terasa sesak oleh ketakutan yang bercampur pasrah. Tangannya dingin saat mereka membantu memindahkannya ke brankar.

Apakah memang tidak ada pilihan lain?

Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti mimpi buruk. Lampu-lampu jalan tampak kabur di balik jendela ambulans, sementara suara sirene menggema di sepanjang jalan. Ayu memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi, bayangan kemungkinan terburuk terus menghantui.

Setibanya di rumah sakit, Ayu segera ditangani. Beberapa perawat bergerak cepat, memasangkan infus dan mengecek tekanan darahnya. Berkas rujukan dari bidan mempercepat prosesnya.

Ayu akan langsung dibawa ke meja operasi sekarang juga!

Namun sebelum mereka sempat mendorong ranjangnya menuju ruang operasi, pintu ruangan terbuka dengan kasar.

Sosok perempuan berbalut jas mewah melangkah masuk. Ia adalah Hayati.

"Dasar wanita kampung!" suaranya menusuk, penuh amarah. "Berani-beraninya kamu memberikan nomorku ke pihak rumah sakit!"

Ayu tersentak, tubuhnya yang lemah semakin terasa berat. Ia ingin bicara, tapi tenggorokannya terasa kering.

"Maaf, Bu. Itu saya yang menelpon." Suara tegas bidan Terbit memecah ketegangan.

Hayati menoleh, ekspresinya berubah dalam sekejap. "Ohh, maaf, Bu Bidan."

Demi menjaga reputasinya, suara Hayati mendadak lebih lembut, seolah kemarahan tadi tak pernah ada.

"Saya hanya khawatir pada menantu saya."

Bidan Terbit menyilangkan tangan di dada. "Mbak Ayu ini sebelumnya sudah saya sarankan untuk operasi, Bu. Kenapa masih bertahan sampai sekarang?"

Hayati mendesah dramatis, lalu tersenyum kecil. "Ohh soal itu, biasalah. Dia kan orang kampung."

Matanya Hayati melirik Ayu dengan pandangan merendahkan.

"Dia pasti takut dengan alat-alat rumah sakit, makanya nggak mau operasi. Padahal saya sudah memaksa dia segera ke rumah sakit."

Ayu hanya bisa terdiam. Dada terasa sesak. Bukan hanya karena rasa sakit, tapi juga karena ketidakadilan yang harus ia telan. Bahkan di saat seperti ini, ia masih harus mendengar kebohongan ibu mertuanya.

Ayu menatap Hayati dengan rahang mengatup rapat. Meskipun marah, tetapi ia tak punya tenaga untuk meluapkannya.

Sebelumnya, berkali-kali Ayu meminta tolong agar dibuatkan BPJS, tapi permohonannya hanya berakhir di udara. Bahkan, Jaka tidak memberikan kartu asuransi padanya.

Sejak menikah, hidupnya seperti bayangan di keluarga mertuanya. Ayu tak pernah dinafkahi. Semua kebutuhan harus ia cukupi sendiri.

Sehari-hari, Ayu berjualan di pasar pagi yang hasilnya hanya cukup untuk makan dan sesekali periksa ke bidan.

Rumah sakit? Itu hanya mimpi bagi orang miskin seperti Ayu.

Hayati menarik napas, memasang ekspresi lembut yang tak bertahan lama. "Kalau begitu, saya mau bicara berdua dengan menantu saya. Kasihan, dia pasti ketakutan."

Bidan Terbit menyerahkan dokumen kepadanya. "Baik, Bu. Ini berkas yang harus ditandatangani agar tindakan operasi bisa segera dilakukan."

Setelah bidan pergi, Hayati menatap serius lembaran itu. Wajahnya menegang. Dengan cepat, ia menghampiri Ayu dan mencubit lengannya keras.

Hayati memelototi Ayu. "Dasar anak kampung! Kamu tahu tidak, berapa banyak biaya operasi yang harus aku keluarkan?"

Suara Hayati tegas, menyayat lebih dalam dari sakit di tubuh Ayu. "Ini tidak murah! Manja sekali kamu, bisanya cuma merepotkan!"

Ayu menggigit bibirnya, menahan isak. Ia memegang lengannya yang membiru akibat cubitan Hayati.

"Saya juga tidak mau dioperasi, Ma," bantah Ayu dengan suara parau. "Tapi dia tidak mau keluar sendiri.",

Hayati mendengus. "Makanya jangan malas! Kamu nggak ada pembukaan karena kurang gerak. Aku sudah suruh kamu ngepel rumah, tapi selalu saja cari alasan!"

Ayu menatapnya lemah. "Tapi saya harus berjualan kalau pagi."

"Ya kenapa kamu jualan? Malu-maluin saja!"

Ayu menggeleng, suaranya bergetar. "Kalau nggak jualan, saya makan apa, Ma? Mas Jaka saja nggak pernah ngasih saya nafkah."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Epilog - Isi Hati Ayu

    Aku tidak pernah menyangka, bahwa aku dan Mas Baim akan punya masa depan seindah ini. Siapalah aku? Aku hanyalah anak dari penjual sayur di pasar pagi. Dan aku… menyaksikan sendiri bagaimana kedua orang tuaku meregang nyawa di hadapanku. Hari itu, kami sedang mengangkut sayuran ke lapak. Tiba-tiba, sebuah mobil rubicon melaju kencang dan oleng, menghantam mereka. Ibu meninggal di tempat. Ayah masih hidup, tapi kritis. Di rumah sakit, dua polisi datang membawa selembar kertas dan meminta ayahku menandatanganinya, bahkan saat tangannya tak mampu lagi menggenggam pena. Tak lama setelah itu... beliau pun pergi menyusul ibu. Aku... hancur. Baru lulus SMA. Baru datang dari Semarang ke Jakarta, dengan harapan bisa hidup bersama orang tua dan mencari pekerjaan. Tapi dalam sekejap, aku kehilangan semuanya. Aku dititipkan di Asrama Yatim dan Dhuafa. Tak lama, datanglah sepasang suami istri—katanya Gubernur Jakarta dan istrinya—menjemputku. Mereka bilang, aku akan menikah. Dan aku hanya

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Menjemput Cinta

    Baim berdiri sekitar dua meter dari Ayu. Jemarinya mencengkeram erat pegangan stroler, sendi-sendi tangannya tampak tegang, seperti menahan sesuatu yang lama mengendap. Suara langkahnya terdengar berat saat ia mendekat. "Teganya kamu mau ninggalin kita, huh?" ucapnya, pelan tapi tajam—seperti luka yang baru saja disiram garam. Ayu tersentak. Nafasnya tercekat sejenak. "D-dari mana Mas tahu saya di sini?" Suaranya nyaris tak terdengar, matanya menatap sekeliling, gugup, seolah berharap tempat itu bisa menelannya hidup-hidup. "Umi Euis." Baim menatap langsung ke matanya. "Aku di sana waktu dia telepon kamu." Ayu mengerjap. Bibirnya gemetar. "Umi...?" bisiknya, tak percaya. Namun perlahan, senyum samar terbit di wajahnya saat stroller itu mendekat. Di dalamnya, Arjuna dan Srikandi menendang-nendang kecil, tangan mungil mereka bergerak, seakan mengenali aroma yang tak asing. "Arjuna... Srikandi..." Suaranya parau, bergetar. Ia berjongkok, meraih Arjuna ke pelukannya. Seketika

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Harus Berpisah

    Sudah seminggu sejak tragedi berdarah itu. Luka di tubuh Narendra mungkin dijahit dan dirawat, tapi luka di hati Ayu masih menganga, tak tersentuh.Hari itu, ia berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit, tangan kanan menggenggam tas kecil yang sudah lusuh di ujung resleting. Isinya hanya beberapa helai baju—cukup untuk pergi, bukan untuk kembali.Ia berhenti di depan pintu ICU. Menarik napas panjang, lalu membukanya perlahan.Cahaya putih dari ruangan menyambutnya dengan sunyi yang menggigit. Di dalam, tubuh Narendra terbaring kaku di atas ranjang. Wajahnya pucat. Selang menancap di hidung dan tangannya, kabel-kabel menjulur ke monitor yang memancarkan bunyi ritmis,bip… bip… bip,penanda bahwa jantungnya belum menyerah.Ayu melangkah pelan, duduk di tepi ranjang, lalu menggenggam tangan Narendra. Dingin. Tak ada balasan."Mas…" bisiknya, suara serak tertahan di tenggorokan. "Aku pamit, ya…"Matanya mulai basah. Suara di dadanya memberontak, tapi tak tahu harus berkata apa. Ia mengu

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Detik Waktu Yang Menyempit

    Beberapa warga menarik baju Jaka hingga tubuhnya terpental ke jalan. Pisau itu terlepas. Seseorang menendangnya jauh dari jangkauan.Jaka bangkit tergagap, napas memburu. Seperti baru terjaga dari mimpi buruk, ia berbalik dan lari membelah kerumunan yang nyaris mengeroyoknya.Tapi di ujung gang, langkahnya terhenti.Cahaya merah-biru menyambar wajahnya. Beberapa polisi berdiri siaga. Senjata teracung, suara mereka membelah malam:"Berhenti! Angkat tanganmu!"Jaka terpaku. Napasnya tak beraturan. Tangan gemetar, darah mengering di sela jemarinya. Perlahan ia mengangkat kedua tangan. Tanpa perlawanan, tubuhnya didorong ke tanah dan diborgol. Sorot matanya kosong—seperti jiwa yang baru tercerabut dari tubuhnya.Tak lama kemudian, sirine meraung dari arah lain. Ambulans berhenti di mulut gang. Petugas medis turun, membawa tandu dan peralatan. Mereka menyibak kerumunan yang kini saling berbisik ngeri.Narendra segera diangkat dari tanah. Tubuhnya nyaris tak bergerak, hanya dada yang masih

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Tragedi Berdarah

    Jleb...Suara daging yang robek tertahan dalam udara, tajam dan mengerikan. Pisau menembus perut Narendra—seketika tubuhnya menegang, matanya membelalak seolah tak percaya apa yang baru saja terjadi. Nafasnya tersendat pendek.Tangan kirinya meraba pangkal pisau yang masih tertanam dalam perutnya. Jemarinya gemetar, mencoba menahan luka yang terasa membakar dari dalam. Darah mulai merembes, menghangatkan bajunya, lalu menetes deras ke jalan."Dasar pengkhianat!" suara Jaka melengking, garau dan penuh amarah. Sorot matanya liar, bibirnya mengatup keras seperti sedang menahan badai dari dalam dadanya. Ia mendorong pisau itu lebih dalam—gerakan cepat dan penuh dendam."Egh…" desah Narendra, lebih mirip embusan angin dari paru-paru yang kehilangan kendali. Kakinya melemas, bahunya turun perlahan, lalu tubuhnya ambruk dalam gerakan lambat. Pisau ditarik. Suara basah yang memuakkan terdengar ketika bilah itu meninggalkan tubuhnya. Darah memancar deras, membasahi jalan paving, menggenang c

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Dibalas Dengan Cantik

    Rani mendesis marah. Ia mendorong si pegawai dengan kasar. "Kurang ajar kamu, ya! Gini-gini aku masih punya uang!"Pegawai itu tak gentar. Ia mengangkat kartu kredit berwarna emas dan mengibaskannya di udara."Heh… jangan mimpi terus! Selama ini ayah kamu itu korupsi. Kamu cuma numpang gaya! Nih, kartu kamu nggak bisa dipakai!" Ia menjatuhkan kartu itu ke lantai dengan gerakan menghina.Wajah Rani memerah, nyaris ungu. Ia memungut kartu itu dengan gerakan tergesa lalu menutupi wajahnya dengan syal dan memakai kacamata hitam, berusaha menyembunyikan amarah dan rasa malu yang sudah telanjur menggelegak. "Apa kalian. Jangan ada yang berani merekamku. Pergi kalian semua. Bubar!" Ia menyibakkan tangan berharap kejadian itu tak ada satu orangpun yang tahu.Namun terlambat—kerumunan sudah melihat segalanya. Beberapa kamera ponsel menangkap setiap detiknya.Di dalam mobil, Ayu masih terpaku. "Mas… kamu nggak turun?" tanyanya hati-hati.Narendra mendengus pelan, hampir seperti tertawa kecil t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status