Share

Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO
Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO
Penulis: Libra Syafarika

Pendarahan

Penulis: Libra Syafarika
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-07 12:15:23

"Ya Allah, Mas! Tolong angkat teleponnya ...."

Suara Ayu Lestari lirih, nyaris putus asa. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang sedang hamil besar.

Ayu berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang temaram. Tangan kirinya menekan punggung bawah yang terasa ngilu. Perutnya yang besar hampir menyeret langkahnya, tetapi ia terus mencoba menyeimbangkan diri.

Layar ponsel di tangannya kembali redup. Sudah lebih dari sejam ia mencoba menghubungi Jaka Daud, suaminya. Tetapi, hanya nada sambung yang menjawab.

Di luar, langit semakin gelap, dan rumah itu terasa kian sepi. Ayu menatap ke bawah, matanya membulat saat melihat darah merembes di antara pahanya. Dingin menyergap tengkuknya. Tapi tidak ada kontraksi.

Dadanya naik turun seiring dengan napasnya yang semakin pendek. Ada sesuatu yang tidak beres.

Ayu menggigit bibir, menelan rasa takut yang menekan tenggorokannya. Lalu, ia memberanikan diri untuk mengambil keputusan.

"Aku harus ke rumah Mama mertua sekarang."

Tekad Ayu sudah bulat. Sambil memikirkan ibu mertuanya, ia mengusap perutnya yang tegang.

"Semoga saja Mama mau menolong aku ...."

Ayu berusaha tetap tenang agar janinnya juga ikut tenang.

Begitu pintu terbuka, kilat membelah langit. Sedetik kemudian, suara petir menggelegar mengguncang malam. Hujan turun tanpa aba-aba, menghantam tanah dengan deras.

Ayu kembali menggigit bibir, merapatkan jaketnya. Lalu, meraih payung.

Tak ada pilihan lain. Dengan langkah terseok, Ayu berjalan menembus dinginnya hujan. Tangan kanannya erat memegang pegangan payung. Sedangkan tangan kiri memegangi perutnya yang berat.

Setiap langkah terasa seperti ujian. Kaki telanjangnya yang hanya beralas sandal tipis mulai basah dan licin di trotoar.

Akhirnya, Ayu tiba di depan rumah mertuanya yang hanya berjarak tiga rumah saja dari rumahnya.

Ayu menatap pagar besi tinggi menjulang di hadapannya dengan napas tersengal. Ia meraih bel di sisi gerbang, menekannya beberapa kali. Tak lama, ada pergerakan di balik pagar.

Seorang satpam menyibak celah kecil, matanya mengawasi tajam sebelum akhirnya bersuara.

"Ada apa, Mbak Ayu?"

Suara satpam terdengar ragu, matanya mengamati Ayu yang basah kuyup di bawah hujan yang semakin deras.

Ayu merapatkan payungnya, air menetes dari ujung rambutnya yang lepek. "Tolong bukain pagarnya, Pak! Saya harus ketemu Mama Hayati."

Suara Ayu bergetar, entah karena hawa dingin atau putus asa.

Satpam tampak bimbang, tangannya mencengkeram kunci pagar di pinggangnya.

"Maaf, Mbak. Tadi Nyonya berpesan, tidak membuka pintu untuk siapa pun."

Ayu mencengkeram besi pagar yang dingin, matanya nanar. "Pak, saya mohon! Saya mungkin mau melahirkan. Saya tidak bisa menghubungi Mas Jaka."

Satpam menelan ludah. Wajahnya sekilas menunjukkan keraguan, tapi ia menggeleng cepat. "Maaf, Mbak. Saya tidak berani melanggar perintah Nyonya."

Napas Ayu tersengal, dadanya terasa sesak bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga kepedihan. Di tempat yang seharusnya bisa Ayu datangi untuk berlindung, ia justru ditinggalkan begitu saja.

Air matanya hampir luruh, tapi ia menahannya. "Pak, saya mohon! Bantu saya kali ini saja. Saya tidak punya uang sama sekali kalau harus pergi sendiri."

Hening.

Satpam menatapnya lama, sebelum akhirnya menghela napas berat. Tangannya merogoh saku celana, menarik selembar uang ratusan ribu yang sudah agak lecek. Ia menyelipkannya melalui celah kecil di pagar.

"Maaf, Mbak. Saya tidak bisa bantu banyak. Mas Jaka juga tidak ada di rumah. Tapi ... mungkin ini cukup buat naik angkutan."

Ayu menatap uang itu. Tangannya gemetar saat menerimanya. Ini bukan hanya selembar uang, tapi bukti bahwa di tengah dinginnya dunia, masih ada sedikit kehangatan yang tersisa untuknya.

Air mata Ayu jatuh juga. "Terima kasih, Pak. Maaf ... saya ambil. Semoga kebaikan Bapak dibalas yang lebih besar."

Satpam mengangguk pelan, matanya menyiratkan simpati. "Aamiin. Semoga persalinan Mbak Ayu lancar."

Ayu menggenggam uang pemberian satpam dengan erat, seakan itu satu-satunya harapan yang ia punya saat ini. Ia menarik napas dalam, menelan isak yang hampir pecah.

"Iya, Pak. Saya pergi dulu."

Ayu melangkah menjauh dari rumah mertuanya dengan perasaan hancur. Udara malam yang dingin menembus kulitnya. Namun, itu bukan apa-apa dibandingkan nyeri yang menjalar di perut dan dadanya. Harapan yang tadi digenggam erat kini luruh bersama hujan.

Ayu sendirian.

Kakinya terus melangkah, melewati trotoar yang sepi. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangannya yang bergetar di aspal basah. Darah masih merembes di antara pahanya, terasa lengket di kulitnya yang dingin.

Perumahan elit di Pondok Indah ini seperti kota hantu—pagar-pagar tinggi menutupi kehidupan di baliknya. Tak ada suara manusia, hanya deru hujan dan gemuruh petir di kejauhan. Sesekali, mobil mewah melintas. Namun, tak ada satupun yang memperlambat laju atau sekadar melirik Ayu.

Ayu tak lagi berharap. Ia hanya berjalan, menghitung langkah di kepalanya agar tidak kehilangan fokus. Dua kilometer terasa begitu jauh, setiap gesekan kain di antara pahanya seperti bilah pisau yang menusuk.

Sampai akhirnya di ujung jalan, Ayu melihat papan nama tempat praktek bidan yang biasa dikunjunginya.

Dengan sisa tenaga, ia meraih bel.

"Assalamu’alaikum, Bu."

Suara Ayu serak, hampir tenggelam karena air hujan.

Gerbang terbuka sedikit, seorang asisten bidan muncul dengan wajah terkejut. "Ya Allah, Mbak! Hujan-hujan begini naik apa?"

Ayu menggigit bibirnya yang membiru, tubuhnya menggigil hebat. "Saya jalan, Kak."

Asisten bidan melangkah mendekat, matanya penuh tanya. "Memangnya tidak ada yang mengantar?"

Ayu hanya menggeleng. Tangannya meringkuk di depan dada, mencoba menahan gemetar.

Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya muncul. Ia adalah bidan yang biasanya memeriksa Ayu. Matanya membelalak begitu melihat Ayu.

"Mbak Ayu, kok masih besar saja perutnya?" Suaranya terdengar tegang.

Ayu mencoba tersenyum tipis, tapi air mata lebih dulu meluncur di pipinya. "Belum ada kontraksi, Bu. Tapi, saya terus mengeluarkan darah."

Wajah bidan langsung berubah. "Astagfirullah, Mbak! Ini harusnya sudah dioperasi, loh! Bukannya saya sudah bilang waktu periksa kemarin?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Penghianatan Yang Indah

    Ayu membeku sejenak di ambang pintu. Jari-jarinya mengepal, lalu perlahan mengendur. "Apakah kali ini Mas Rendra bisa dipercaya?" batinnya.Pandangannya bertaut pada mata Narendra. Ia melihat sebuah ketulusan terpancar. Ayu menarik napas dalam, ia menghempas segala keraguan lalu melangkah maju.Tanpa suara, Ayu mendekap lelaki itu. Tubuhnya kecil di pelukan sang kakak ipar, namun kehangatannya terasa nyata. Narendra merespons dengan memeluknya erat, dan sebelum sempat menahan, sebutir air mata jatuh membasahi pipinya."Ayu..." Suaranya parau. "Semoga kamu benar-benar bisa bahagia setelah ini."Ayu tersenyum kecil, masih dalam pelukannya. "Terima kasih, Mas. Aku nggak bisa bayangin kalau Mas Rendra nggak bantu aku…"Narendra perlahan melepas pelukan itu, menatap wajah Ayu yang tampak lebih tenang. "Besok aku atur jumpa pers. Aku pastikan kamu di sana, bersama Sambo dan yang lain. Siapkan dirimu, ya. Mungkin akan berat."Ayu mengangguk pelan. "Aku siap. Tapi... kalau nanti polisi akhirn

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Kejujuran Dalam Hati

    Ayu menelan ludah. Tenggorokannya serasa tercekik. Pandangannya membeku pada mata Narendra, namun kakinya seperti tertancap di lantai. Dada Ayu naik-turun tak teratur, dan untuk sesaat, ia bahkan lupa cara bernapas dengan benar.Narendra perlahan bergeser, gerakannya tenang, penuh kendali. Ia menyibak helai-helai rambut Ayu yang tergerai ke pipinya, lalu menyelipkannya ke balik telinga—gerakan lembut yang justru terasa mengancam."Sungguh bodoh Jaka," ucapnya, nadanya seakan menyayat. "Gimana bisa dia menyia-nyiakan wanita secantik kamu?"Ia tertawa kecil, datar. Jemarinya masih melayang di dekat wajah Ayu."Aku selalu gregetan tiap lihat kalian. Dia cuma anak nakal yang nggak bisa mikir panjang—mabuk, wanita, pesta. Kamu pasti capek, ya?"Kelopak mata Ayu mulai berkedip cepat, seperti ingin menghalau air mata yang mulai mendesak naik. Napasnya makin tersengal. Ada getaran di bibirnya, seperti ingin bicara, tapi suaranya tertaha

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Dekapan Yang Menyesakkan

    Pukul 01:00 dini hari, layar televisi di berbagai sudut kota menayangkan berita yang mengguncang publik."Kami telah menemukan bukti kuat dugaan korupsi yang melibatkan Sambo," ujar juru bicara KPK dalam siaran pers yang disiarkan secara langsung."Salah satu bukti kunci adalah rekaman video yang memperlihatkan Bram—tersangka kasus narkoba—mendatangi rumah Sambo dan menyerahkan sebuah amplop tebal. Dugaan kami, amplop tersebut berisi uang pelicin untuk melancarkan bisnis ilegal Bram."Tayangan berganti cepat, memperlihatkan cuplikan video berdurasi pendek: Bram mengenakan jaket gelap, melangkah masuk ke rumah Sambo, lalu menyerahkan sesuatu kepada seorang pria di ruang tamu."Selain itu, kami juga menemukan hubungan Sambo dengan beberapa perusahaan bermasalah," lanjut suara berita, diiringi tampilan grafik koneksi antar pihak."Semua data sedang kami proses dan akan segera diserahkan kepada pihak kepolisian untuk penyelidikan lebih lanjut

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Di Antara Tepian Jurang

    Ayu menatap wajah Laura yang basah oleh air mata. Hatinya ikut hangus. Perlahan, ia meraih tangan perempuan itu dan menggenggamnya erat."Aku ngerti, Mbak," katanya lirih namun tulus. "Yang penting... Mbak Laura sekarang sudah kembali. Sayangilah keluargamu. Jangan sia-siakan mereka lagi."Ia menatap mata Laura, mencoba menyalurkan kekuatan lewat genggaman kecil yang mantap. "Tebus semua kesalahan di masa lalu."Laura mengangguk pelan, tapi matanya tetap sendu. Ia menyeka pipinya dengan tisu, lalu tersenyum pahit."Aku bahkan nggak bisa nenangin Arjuna dan Srikandi waktu mereka nangis. Cuma kamu yang bisa. Sampai-sampai... aku harus jadikan bajumu sebagai selimut mereka. Biar mereka merasa kamu masih ada."Ayu tercekat. Kata-kata itu menghunjam jantungnya seperti sembilu. Ia ingin tersenyum, tapi otot wajahnya tak sanggup bergerak. Pandangannya jatuh ke lantai. Napasnya pelan, namun berat.Maafkan aku, Nak... Maafkan ibu susumu..

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Sebuah Pengakuan

    "M-Mbak Laura... sejak kapan di sini?" suara Ayu nyaris tenggelam, menggantung di ujung lidahnya.Tubuhnya kaku di ambang pintu kamar. Pandangannya tertumbuk pada sosok Laura yang berdiri di belakang Umi Euis, seolah baru muncul dari bayangan.Jantung Ayu mencelos. Bagaimana dia bisa tahu aku tinggal di sini?Laura melangkah maju dengan senyum yang tak menyentuh matanya. Gerakannya tenang, terlalu tenang. "Sudah lumayan lama. Aku memang sengaja menunggu Baim pulang."Mata Ayu membesar. Bahunya naik turun, napasnya mulai tak teratur. "Jadi...""Sudahlah, jangan bicara di sini." Suara Umi Euis memotong, lembut tapi tegas. "Ayu, ajak tamu kamu ke ruang tamu, ya.""I-iya, Umi..."Langkah Ayu terdengar ringan tapi terburu. Suaranya menyisakan gema samar di sepanjang lorong. Laura menyusul, pandangannya menyapu dinding pucat, karpet usang, dan rak sepatu yang sedikit miring. Seulas senyum tipis muncul di bibirnya, entah mengejek atau sekadar menilai."Silakan duduk, Mbak," ucap Ayu sambil m

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Penolakan Yang Berbalut Rindu

    "Menantu bodoh! Siapa yang kamu telepon?" desis Hayati, wajahnya menegang, satu tangan memegangi pergelangan yang memerah.Ayu berdiri tegak. Napasnya memburu, tapi senyum tipis menggantung di bibirnya—bukan senyum manis, melainkan dingin dan sinis."Kenapa? Anda mulai takut?"Langkah cepat terdengar dari arah dapur. Umi Euis datang membawa nampan berisi wedang uwuh, aroma rempah menyeruak seketika. Matanya membesar melihat ketegangan di ruang tamu."Heh... ada apa ini? Kalian bertengkar?"Hayati menunjuk Ayu dengan dagu terangkat."Bilang sama anak yatim ini supaya tahu sopan santun. Dia barusan memelintir tanganku!"Umi Euis tertegun sejenak, lalu buru-buru meletakkan nampan di meja dan menghampiri Ayu."Ayu... ada apa, Nak? Kenapa sampai seperti ini?"Ayu tidak menjawab. Matanya tetap memandang ke depan, tak berkedip. Tapi perlahan, air mata mengalir di pipinya.Hayati mendengus."Ingat Ayu. Kamu masih punya utang sama aku. Kalau kamu nggak nurut, utang itu bakal berlipat!"Lalu ia

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Pertengkaran Yang Tak Terelakkan

    "Mama?" suara Ayu tercekat.Tubuhnya membeku. Tatapannya terpaku pada sosok Hayati yang berdiri kaku di ambang pintu. Sorot matanya tajam, menyala penuh bara.Langkah Hayati menghentak lantai. Tatapannya menusuk saat melihat Ayu duduk berdekatan dengan Baim."Bagus. Keluarga suamimu sedang dilanda masalah, dan kamu malah enak-enakan bersenang-senang dengan pria lain. Dasar tukang selingkuh!" suaranya melengking, membelah udara.Ayu bangkit. Tangannya mengepal di sisi tubuh."Selingkuh? Dari siapa?" suaranya meninggi. Kesabarannya retak."Mas Jaka? Jadi sekarang Mama mengakuiku sebagai menantu?"Ia tersenyum masam. "Padahal sejak awal, aku ini cuma pembantu buat kalian. Bahkan Mas Jaka lebih sering hamburkan uang buat perempuan jalanan daripada pulang bawa beras."Kening Hayati berkerut. Wajahnya menegang. Matanya memerah, hampir menyala."Tentu saja. Pembantu memang sebutan paling pantas buat kamu. Lalu maumu apa? Dicintai? Kamu itu cuma anak penjual sayur. Jangan mimpi tinggi!"Ayu m

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Rasa Yang Tak Pernah Pudar

    Ayu menoleh secepat kilat. Napasnya tercekat."Mas Baim?" suaranya nyaris tak terdengar.Langkah Baim ringan saat mendekat, tapi sorot matanya penuh arti. Bibirnya melengkung lepas, senyum yang tak bisa ditahan."Tega banget, ninggalin aku gitu aja."Ayu mundur setengah langkah, tangan meremas ujung bajunya."D-dari mana Mas tahu aku di sini?"Baim mengangkat alis, setengah mengejek. "Kamu pikir kamu punya banyak tempat buat sembunyi?"Diam. Ayu menunduk, seperti ada beban berat yang ditahan di tenggorokan. Pandangannya tak berani bertemu mata itu—mata yang dulu, dan mungkin masih, membuatnya lemah.Baim tak bergerak, hanya berdiri cukup dekat untuk membuat napas Ayu semakin sempit."Sampai kapan kamu akan terus menghindar?"Perlahan, Ayu mendongak. Tatapannya hanya sebentar—cukup untuk mengaduk dadanya. Detak jantungnya jadi gaduh. Ia buru-buru menoleh ke arah lain."Ngapain Mas ke sini?" tanyanya, mencoba terdengar datar, tapi suaranya goyah."Anak-anak merindukanmu," kata Baim, pel

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Ada Rasa Yang Belum Usai

    "Kamu masih belum percaya sama aku?" Narendra tersenyum tipis, dingin, tanpa hangat sedikit pun di matanya.Ayu terdiam. Pandangannya terkunci pada wajah itu—bukan karena rindu, tapi karena asingnya. Tatapan mata Narendra bukan seperti yang biasa ia kenal. Ada sesuatu yang gelap, seperti kabut yang menyelimuti."Tatapan ini... persis seperti pertama kali kami bertemu," batinnya.Kilasan itu datang tanpa permisi.—Dua tahun lalu. Di antara keramaian pasar Glodok, suara teriakan pedagang dan aroma bawang putih bercampur keringat. Ayu—gadis lugu dengan celemek lusuh—menenteng dua kantong sayuran, terburu-buru menuju lapak orang tuanya.Bruk!Tubuhnya bertabrakan dengan seseorang. Plastik di tangannya robek, tomat-tomat berserakan di tanah. Lelaki itu, berdasi tapi berkemeja santai, buru-buru membungkuk."Maaf… maaf banget. Aku nggak lihat jalan."Ayu hanya menunduk, canggung. Tapi lelaki itu menatapnya cukup lama. Sorot matanya menyala—bukan karena empati, tapi rasa tertarik yang belum

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status