"Itu urusanmu!"
Hayati memutar bola matanya, lalu mengibaskan tangan seolah tak peduli. "Lagian, kenapa kamu miskin? Sudah, cepat tanda tangani ini!" Hayati melempar selembar kertas bermaterai ke atas perut Ayu. Dengan tangan gemetar, Ayu mengambilnya. Matanya bergerak cepat membaca isi dokumen. Dadanya seketika terasa sesak. "I—ini?" Dalam surat itu tertulis bahwa semua biaya rumah sakit akan dianggap sebagai utang piutang oleh Ibu mertuanya. Tidak hanya itu, Ayu juga tak boleh menuntut apapun dari Jaka. Bahkan, jika suatu hari Jaka berniat menikah lagi. Air mata Ayu terjatuh. Ia menatap Hayati dengan mata membulat, hatinya mencelos. "Apa maksud surat ini, Ma?" Hayati menatapnya dingin. "Sudah, tanda tangani saja! Kamu masih ingin hidup, kan?" Hayati terus berbicara, "Kalau kamu nggak mau tanda tangan, aku juga nggak akan tanda tangan dokumen rumah sakit." Ayu terisak, kepalanya berputar dalam ketakutan. Ini benar-benar tidak adil! Ayu tahu, dirinya sedang ditipu. Tapi apakah ada pilihan lain? Dengan tangan gemetar, Ayu akhirnya menandatangani surat perjanjian utang piutang. "Bagus!" Hayati menarik kasar dokumen itu dan memasukkannya ke dalam tasnya. Ia berbalik dan pergi dari ruangan, meninggalkan Ayu sendirian dalam keputusasaan. Ayu menangis lagi. Dadanya naik turun seiring isakan yang coba ia tahan. Kosong. Ruangan ini terasa begitu sepi meski orang-orang berlalu-lalang di sekitarnya. Tak ada genggaman tangan yang menenangkan. Dan tak ada seseorang yang meyakinkan Ayu bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Sudah siap, Bu? Saya akan membawa Ibu ke ruang operasi sekarang." Seorang perawat mendorong ranjang Ayu. Suaranya tenang, tetapi tak bisa menghangatkan kehampaan yang menyelimuti hati Ayu. Melihat Ayu menangis, perawat bertanya, "Kenapa Ibu menangis? Apa Ibu takut?" Ayu mengerjap, buru-buru menyeka pipinya dengan punggung tangan. Ia tersenyum samar. "Enggak, Mas. Aku cuma enggak sabar nunggu bayiku lahir." Perawat itu mengangguk, menatapnya dengan iba. "Sabar ya, Bu. Semoga bayi dan Ibu sehat." Ayu tersenyum tipis walaupun hatinya tetap terasa kosong. Perawat terus mendorong ranjang Ayu, melewati lorong rumah sakit yang dingin dan berbau antiseptik. Lampu-lampu di langit-langit berganti dengan cepat dalam pandangannya, seakan waktu berjalan lebih cepat dari yang bisa ia ikuti. Begitu memasuki ruang operasi, udara terasa lebih dingin. Cahaya putih menyilaukan menyambutnya, memantul di permukaan alat-alat bedah yang tertata rapi di meja stainless steel. Bau obat-obatan menusuk hidungnya. Di sekelilingnya, tujuh orang berseragam hijau dan biru sudah bersiap. Beberapa di antaranya sibuk menyesuaikan alat, sementara yang lain berbicara dengan suara rendah. Ayu menelan ludah. Pandangannya terpaku pada gunting, pisau bedah, dan alat-alat lain yang tampak asing namun mengancam. Jantungnya berdegup semakin kencang. Tangannya gemetar di atas kain operasi yang menutup tubuhnya. Ayu memejamkan mata. Berusaha menarik napas dalam, tapi udara yang masuk terasa berat. "Satu, dua, tiga..." Tubuhnya terangkat sejenak saat beberapa perawat dan asisten dokter memindahkannya ke meja operasi. Dingin. Kasur bedah itu lebih dingin dari yang ia bayangkan, menusuk punggungnya hingga ke tulang. Ketakutan mencengkeramnya lebih erat. Sarung tangan lateks melesat dengan suara khas saat para dokter dan perawat menariknya dengan cekatan. Ayu menelan ludah. Detak jantungnya makin tak beraturan, seakan menggema di dalam ruang operasi yang kini terasa semakin sempit. "Duduk sebentar ya, Bu!" Suara dokter anestesi terdengar lembut, tapi Ayu tetap merasa tegang. Dengan hati-hati, Ayu mengikuti instruksi. Badannya membungkuk, tetapi punggungnya menegang. Sementara itu, tangannya gemetar mencengkeram sisi meja operasi. Tusukan jarum mendarat di punggung bawahnya, tepat di tulang ekor. Nyeri tajam menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya meringis. Ayu menggigit bibir, mencoba meredam suara yang hampir lolos. Matanya tetap terpejam rapat, berharap ketakutannya bisa berkurang. Ayu mencoba melafalkan doa dengan suara nyaris berbisik. Napasnya pendek dan terburu-buru. Setelah tubuhnya direbahkan kembali, seorang perawat menutupi dadanya dengan kain steril berwarna putih. Ayu berusaha mengatur napasnya. Tapi, setiap suara di ruangan itu terasa semakin menegangkan. "Apakah Ibu merasakan sesuatu di sini?" Dokter anestesi mencubit kakinya. Ayu mencoba fokus pada sensasi itu. Tidak ada. Hanya hampa. Ia menggeleng pelan. "Enggak, Dok," jawabnya, meskipun bibirnya bergetar. "Baiklah, kalau begitu kita akan mulai operasinya ya, Bu. Santai saja, tidak perlu takut." Ayu tak menjawab. Doa-doanya terus mengalir, lebih cepat, lebih putus-putus. Jemarinya mencengkeram erat kain yang menutupi tubuhnya. Lalu, Ayu merasakan sesuatu. Sentuhan dingin di perutnya. Alkohol. Kapas steril yang diusap dengan gerakan tegas. Napasnya tercekat. Ini benar-benar akan terjadi. "Tunggu, Dok! Saya masih bisa merasakannya, Dok!" Suara Ayu melengking, nyaris putus asa. Matanya membelalak saat melihat dokter kandungan mengangkat pisau bedah.Aku tidak pernah menyangka, bahwa aku dan Mas Baim akan punya masa depan seindah ini. Siapalah aku? Aku hanyalah anak dari penjual sayur di pasar pagi. Dan aku… menyaksikan sendiri bagaimana kedua orang tuaku meregang nyawa di hadapanku. Hari itu, kami sedang mengangkut sayuran ke lapak. Tiba-tiba, sebuah mobil rubicon melaju kencang dan oleng, menghantam mereka. Ibu meninggal di tempat. Ayah masih hidup, tapi kritis. Di rumah sakit, dua polisi datang membawa selembar kertas dan meminta ayahku menandatanganinya, bahkan saat tangannya tak mampu lagi menggenggam pena. Tak lama setelah itu... beliau pun pergi menyusul ibu. Aku... hancur. Baru lulus SMA. Baru datang dari Semarang ke Jakarta, dengan harapan bisa hidup bersama orang tua dan mencari pekerjaan. Tapi dalam sekejap, aku kehilangan semuanya. Aku dititipkan di Asrama Yatim dan Dhuafa. Tak lama, datanglah sepasang suami istri—katanya Gubernur Jakarta dan istrinya—menjemputku. Mereka bilang, aku akan menikah. Dan aku hanya
Baim berdiri sekitar dua meter dari Ayu. Jemarinya mencengkeram erat pegangan stroler, sendi-sendi tangannya tampak tegang, seperti menahan sesuatu yang lama mengendap. Suara langkahnya terdengar berat saat ia mendekat. "Teganya kamu mau ninggalin kita, huh?" ucapnya, pelan tapi tajam—seperti luka yang baru saja disiram garam. Ayu tersentak. Nafasnya tercekat sejenak. "D-dari mana Mas tahu saya di sini?" Suaranya nyaris tak terdengar, matanya menatap sekeliling, gugup, seolah berharap tempat itu bisa menelannya hidup-hidup. "Umi Euis." Baim menatap langsung ke matanya. "Aku di sana waktu dia telepon kamu." Ayu mengerjap. Bibirnya gemetar. "Umi...?" bisiknya, tak percaya. Namun perlahan, senyum samar terbit di wajahnya saat stroller itu mendekat. Di dalamnya, Arjuna dan Srikandi menendang-nendang kecil, tangan mungil mereka bergerak, seakan mengenali aroma yang tak asing. "Arjuna... Srikandi..." Suaranya parau, bergetar. Ia berjongkok, meraih Arjuna ke pelukannya. Seketika
Sudah seminggu sejak tragedi berdarah itu. Luka di tubuh Narendra mungkin dijahit dan dirawat, tapi luka di hati Ayu masih menganga, tak tersentuh.Hari itu, ia berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit, tangan kanan menggenggam tas kecil yang sudah lusuh di ujung resleting. Isinya hanya beberapa helai baju—cukup untuk pergi, bukan untuk kembali.Ia berhenti di depan pintu ICU. Menarik napas panjang, lalu membukanya perlahan.Cahaya putih dari ruangan menyambutnya dengan sunyi yang menggigit. Di dalam, tubuh Narendra terbaring kaku di atas ranjang. Wajahnya pucat. Selang menancap di hidung dan tangannya, kabel-kabel menjulur ke monitor yang memancarkan bunyi ritmis,bip… bip… bip,penanda bahwa jantungnya belum menyerah.Ayu melangkah pelan, duduk di tepi ranjang, lalu menggenggam tangan Narendra. Dingin. Tak ada balasan."Mas…" bisiknya, suara serak tertahan di tenggorokan. "Aku pamit, ya…"Matanya mulai basah. Suara di dadanya memberontak, tapi tak tahu harus berkata apa. Ia mengu
Beberapa warga menarik baju Jaka hingga tubuhnya terpental ke jalan. Pisau itu terlepas. Seseorang menendangnya jauh dari jangkauan.Jaka bangkit tergagap, napas memburu. Seperti baru terjaga dari mimpi buruk, ia berbalik dan lari membelah kerumunan yang nyaris mengeroyoknya.Tapi di ujung gang, langkahnya terhenti.Cahaya merah-biru menyambar wajahnya. Beberapa polisi berdiri siaga. Senjata teracung, suara mereka membelah malam:"Berhenti! Angkat tanganmu!"Jaka terpaku. Napasnya tak beraturan. Tangan gemetar, darah mengering di sela jemarinya. Perlahan ia mengangkat kedua tangan. Tanpa perlawanan, tubuhnya didorong ke tanah dan diborgol. Sorot matanya kosong—seperti jiwa yang baru tercerabut dari tubuhnya.Tak lama kemudian, sirine meraung dari arah lain. Ambulans berhenti di mulut gang. Petugas medis turun, membawa tandu dan peralatan. Mereka menyibak kerumunan yang kini saling berbisik ngeri.Narendra segera diangkat dari tanah. Tubuhnya nyaris tak bergerak, hanya dada yang masih
Jleb...Suara daging yang robek tertahan dalam udara, tajam dan mengerikan. Pisau menembus perut Narendra—seketika tubuhnya menegang, matanya membelalak seolah tak percaya apa yang baru saja terjadi. Nafasnya tersendat pendek.Tangan kirinya meraba pangkal pisau yang masih tertanam dalam perutnya. Jemarinya gemetar, mencoba menahan luka yang terasa membakar dari dalam. Darah mulai merembes, menghangatkan bajunya, lalu menetes deras ke jalan."Dasar pengkhianat!" suara Jaka melengking, garau dan penuh amarah. Sorot matanya liar, bibirnya mengatup keras seperti sedang menahan badai dari dalam dadanya. Ia mendorong pisau itu lebih dalam—gerakan cepat dan penuh dendam."Egh…" desah Narendra, lebih mirip embusan angin dari paru-paru yang kehilangan kendali. Kakinya melemas, bahunya turun perlahan, lalu tubuhnya ambruk dalam gerakan lambat. Pisau ditarik. Suara basah yang memuakkan terdengar ketika bilah itu meninggalkan tubuhnya. Darah memancar deras, membasahi jalan paving, menggenang c
Rani mendesis marah. Ia mendorong si pegawai dengan kasar. "Kurang ajar kamu, ya! Gini-gini aku masih punya uang!"Pegawai itu tak gentar. Ia mengangkat kartu kredit berwarna emas dan mengibaskannya di udara."Heh… jangan mimpi terus! Selama ini ayah kamu itu korupsi. Kamu cuma numpang gaya! Nih, kartu kamu nggak bisa dipakai!" Ia menjatuhkan kartu itu ke lantai dengan gerakan menghina.Wajah Rani memerah, nyaris ungu. Ia memungut kartu itu dengan gerakan tergesa lalu menutupi wajahnya dengan syal dan memakai kacamata hitam, berusaha menyembunyikan amarah dan rasa malu yang sudah telanjur menggelegak. "Apa kalian. Jangan ada yang berani merekamku. Pergi kalian semua. Bubar!" Ia menyibakkan tangan berharap kejadian itu tak ada satu orangpun yang tahu.Namun terlambat—kerumunan sudah melihat segalanya. Beberapa kamera ponsel menangkap setiap detiknya.Di dalam mobil, Ayu masih terpaku. "Mas… kamu nggak turun?" tanyanya hati-hati.Narendra mendengus pelan, hampir seperti tertawa kecil t