Sendok di tangan Leon menggantung di udara. Bubur di mulut Laura mengendap, tak sempat ditelan. Matanya melebar saat suara Baim menghantam keromantisan di antara mereka berdua. "Mas Baim?" suara Laura tercekat. Batuk menyerang dadanya. Leon sigap meraih gelas di nakas, menyodorkannya tanpa bicara. Satu tangan lain menepuk punggungnya, ringan namun penuh kewaspadaan. Di ambang pintu, Baim berdiri. Napasnya memburu. Sorot matanya merah, rahang mengeras, dan suara yang keluar dari mulutnya terdengar lebih seperti geraman. "Apa yang kalian lakukan?" Leon menoleh, lalu tersenyum tipis—senyum yang bukan untuk menyapa, melainkan menusuk. "Tenanglah," ucapnya santai. "Ini rumah sakit. Tidak perlu membuat keributan." Baim melangkah masuk. Sepatunya menghantam lantai dengan dentum halus tapi penuh ancaman. "Apa hakmu bicara seperti itu? Dan menyentuh istri orang seolah..." ia menahan nafas
Ayu menoleh, wajahnya berantakan—mata sembab, pipi basah, bibir bergetar."Mas... Haruskah seperti ini caranya?" suaranya parau. "Mas tahu sendiri gimana anak-anak kalau jauh dari saya. Mereka belum siap..."Baim menatap lurus ke depan. Rahangnya mengeras."Ada di dekat kamu pun nggak akan membuat keadaan jadi lebih baik, Ayu. Kamu terus terluka setiap hari. Dan tanpa sadar, perasaanmu membuat anak-anak ikut terluka."Ia jeda sejenak, menoleh sekilas padanya."Aku pikir kamu bisa pisahkan urusan pribadi dan pekerjaan."Suaranya datar, tapi dinginnya seperti sembilu."Tapi kamu biarkan perasaanmu mengambil alih."Ayu menunduk. Matanya mulai memerah lagi, tapi ia tak menyela."Darahmu yang sudah mengalir ke tubuh anak-anak..."Baim menggeleng perlahan, seperti tak habis pikir. "...membuat mereka ikut merasakan apapun yang kamu rasakan."Ia akhirnya menatap Ayu, tegas."Dan itu mengecewakan."Ayu ter
"Mas... Maafin saya..."Suara Ayu pecah di ujung kalimat. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi dagunya. Ia menunduk dalam-dalam, seakan berat menahan pandang Baim yang tak berkedip.Baim menghela napas, pelan tapi tajam. Tatapannya menusuk."Fatma... Ambil Arjuna. Pakai sisa ASIP yang masih ada untuk menyusui mereka."Fatma ragu sejenak sebelum meraih bayi dari pelukan Ayu. Arjuna menggeliat, mengerang kecil, seperti ikut merasa ada yang retak."Ayu." Nada suara Baim mengeras. "Ikut aku. Kemasi barangmu."Ayu mendongak cepat. Matanya membulat."Apa? Maksud Mas Baim...?""Mulai sekarang, kamu tinggal di asrama."Tanpa menunggu jawaban, Baim memutar badan, melangkah keluar."Mas!" Ayu menyambar pergelangan tangannya, genggamannya gemetar."Tolong jangan... Saya salah, saya akui. Tapi jangan pisahkan saya dari anak-anak. Mas, saya mohon..."Suaranya pecah di tengah isakan. Tubuhnya ikut bergetar.Fatma dan Sari saling pandang, sama-sama terdiam. Aura ruangan bayi mendadak tebal ole
Ayu... Aku dan Laura, mempunyai buah hati yang harus kita lindungi. Aku harus memberi kesempatan pada Laura, jika dia memang ingin memperbaiki kesalahannya," ujar Baim lembut.Ayu mengangguk pelan. Tapi air matanya jatuh tanpa bisa dibendung, meski ia telah berusaha menahannya dengan sekuat hati."Iya... Saya mengerti," jawabnya tercekat. Bibirnya dipaksa melengkung membentuk senyum, namun air matanya mengalir semakin deras. "Saya bersyukur, akhirnya kalian bisa kembali seperti dulu."Isaknya pecah. Dada Ayu terasa sempit seolah tak ada ruang lagi untuk bernapas. Ia buru-buru membuka pintu mobil, melompat turun dengan tas di tangan, lalu berlari kecil tanpa sepatah kata."Ayu..." panggil Baim khawatir. Ada semburat penyesalan di wajahnya, seperti menyadari sesuatu yang telah ia hancurkan.Baim buru-buru keluar dari mobil, mengejar langkah Ayu yang sudah berusaha menjauh. Tangannya meraih lengan Ayu. "Ayu... Ayu dengarlah..."Ayu menepis tangan itu. Isaknya masih tergantung di tenggoro
"Argh...!"Bruk!!Suara teriakan dan tubuh yang terhempas ke aspal memecah malam. Ayu membuka matanya perlahan, tak berani melihat apa yang terjadi di depannya.Bukan Baim. Para pemuda itu yang justru berlari tunggang-langgang. Salah satu tersungkur, lututnya berdarah, sementara yang lain terbirit-birit tanpa sempat menoleh. Pisau yang tadi mereka acungkan, kini ada di tangan Baim."Baim berdiri dengan tenang. Hanya napasnya yang masih terengah. Pisau itu dilemparkannya ke saluran air tanpa sedikit pun ekspresi di wajahnya—dingin, nyaris kosong.Ayu mulai bernapas lega meski tangan dan kakinya masih gemetar. Ia berlari menghampiri."Mas Baim..." teriaknya. "Astaga, Mas Baim nggak apa-apa, kan?" Tangannya sibuk menyentuh bahu, dada, serta lengan Baim untuk memeriksa kemungkinan adanya luka. "Di mana yang kena? Tadi aku lihat—"Baim meraih tangan Ayu, menghentikan gerakannya.Ayu belum berhenti memandangi Baim. Na
"Dasar! Laki-laki plin plan!" desis Ayu, nyaris tercekik amarah dan luka yang saling bertabrakan di dadanya.Langkah kakinya menghantam lantai lorong rumah sakit yang semakin sepi. Air matanya jatuh tanpa henti, tapi ia terus berjalan, seolah hanya itu yang bisa dilakukannya. Dadanya sesak—bukan hanya karena pertengkaran barusan, tapi karena perasaan ditinggalkan yang tak bisa ia tolak.Tanpa sadar, ia telah masuk ke bagian lorong yang lebih gelap. Lampu neon meredup. Suara detak jam dinding terdengar terlalu jelas.Ia berhenti. Menoleh ke belakang—mencari. Mungkin... berharap Baim akan muncul dari balik tikungan, berlari mengejarnya, menyesal, memanggil namanya.Tapi lorong itu kosong. Hampa. Hening.Air matanya mengalir lebih deras. Ia mengatupkan mulut agar tidak terisak, tapi gagal. Isaknya pecah, dan tubuhnya terlipat begitu saja ke lantai.Ayu jongkok. Tangannya terlipat di atas lutut, kepala menunduk dalam-dalam."Dasar jahat... Kenapa harus mesra-mesraan di depanku?" bisiknya