Suara kicauan burung yang begitu merdu membuat Kinan yang kini tengah menikmati udara segar di pagi hari tersenyum manis. Matanya memandang ke arah beberapa burung yang beterbangan di atas pohon seolah tengah bernyanyi merdu untuknya.
"Indah sekali suaramu, bahkan kalian bisa dengan bebas terbang kemanapun yang kalian suka tanpa rasa takut." Ucapnya dengan sendu.
"Andai saja aku bisa seperti kalian...tak peduli dengan apa yang sudah terjadi, andai saja aku bisa bernyanyi dengan bebas, terbang kesana-kemari tanpa rasa takut dan melawan semua hal buruk yang selalu menghantui..." ucap Kinan lagi, tak terasa air matanya menetes.
Sebuah bayangan buruk tiba-tiba saja melintas dalam benaknya.
"Rasanya sangat nikmat sekali, bahkan aku tidak bisa merasakan apa yang baru saja aku rasakan denganmu ketika aku berhubungan bersama Kinan. Bagiku dia terlalu naif dan polos sekali, sedangkan kamu, sangat agresif dan tentunya lebih cantik." Ucap Januar yang baru saja menuntaskan hasratnya bersama dengan Celine— kakak Kinan.
"Tentu saja Januar, aku lebih baik segalanya dari pada Kinan, aku lebih cantik, lebih agresif dan tentunya aku bisa memuaskanmu." Jawab Celine sambil mengalungkan tangannya pada leher Januar.
"Benar sayang, tidak ada wanita manapun yang lebih baik darimu, terimakasih sayangku," ucap Januar sambil mengecup mesra kening Celine yang seakan terbang melayang mendengarnya.
Tanpa mereka sadari Kinan yang kini tengah bersembunyi di dalam lemari menangis tersedu mendengar semua ucapan mereka. Sebenarnya dia sudah tidak sanggup, ingin sekali segera melabrak keduanya lalu memperlihatkan rekaman yang sedari tadi sengaja dia pasang untuk dia jadikan sebagai bukti perselingkuhan keduanya.
Tapi, lagi-lagi dia mengalah. Kinan hanya diam, air matanya terus mengalir membasahi pipi. sambil membungkam mulut sebisa mungkin dia mencoba tetap diam menahan rasa sakit agar mereka tak mengetahui keberadaannya.
"Sayang, sepertinya bajuku sudah kotor terkena noda, aku akan mengambil baju ganti yang lain agar aku tetap terlihat cantik, oke," terdengar suara Celine mendekat ke arah lemari.
Betapa terkejutnya Celine saat membuka lemari pakaian mendapati adiknya sendiri yang kini tiba-tiba muncul di hadapannya dengan santai.
"Astaga! Kinan!" ujarnya dengan terburu-buru menarik badcover untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka begitupun dengan Januar.
" Apa hari ini kalian begitu menikmatinya sampai kalian tidak sadar ada seseorang di dalam lemari?" tanya Kinan santai.
Januar tak kalah kagetnya. Dia segera mendekat, lalu mencoba membujuk Kinan.
"Kinan, sayang, apa yang kamu dengar itu semua tidak seperti yang sebenarnya terjadi, kita berada disini hanya..."
"Hanya untuk menikmati malam bersama disini dan melupakan si naif Kinan yang begitu bodoh dengan semua ini! Keterlaluan! Kalian benar-benar keterlaluan! Teganya kalian menghianatiku!" ujar Kinan dengan air mata yang berderai membasahi pipinya.
"Bukan begitu, kamu salah faham Kinan, kita berada disini hanya untuk melakukan bisinis saja, kita tidak melakukan apapun," sangkal Januar lagi.
"Tidak melakukan apapun? Kau pikir aku bodoh Januar? Apa kau pikir aku ini anak kecil yang tidak tahu apapun? Sebegitu bodohnyakah aku dimatamu sampai kau berpikir aku tidak tahu apapun tentang semua ini? Aku pikir kau benar-benar mencintaiku...aku pikir kau tidak akan pernah menghianatiku...Tapi ternyata..." Kinan berhenti berkata, dia tak kuasa melanjutkan ucapannya. Dia menghapus air matanya.
Sedangkan Januar menunduk lemah. Dia menyadari kesalahannya. Lalu melirik ke arah Celine yang kini mulai melangkah mendekati adiknya.
"Semua yang kau dengar tadi itu benar, kita memang mempunyai hubungan dari awal pertama kau mengenalkan Januar padaku. Dari pertama kau sibuk bekerja dan selalu tak punya waktu untuk Januar, bahkan saat kau menolak untuk di sentuh olehnya. Kita selalu melakukannya disini." Jelas Celine yang membuat Kinan menatap tak percaya keduanya.
Januar diam saja. Dia merasa sangat bersalah pada Kinan tapi tak mampu berkata lagi. Setelah mendengar semua itu Kinan segera pergi, dia berjalan cepat meninggalkan apartement sambil mengusap air mata yang tak hentinya mengalir.
"Kinan!" panggil Januar dengan hanya mengenakan handuk diikuti oleh Celine yang menarik tangannya.
Beberapa orang mendapatkan kesempatan merekam kejadian tersebut dengan handphone. Menyadari hal itu akan menjadi perbincangan hangat, keduanya kembali memasuki apartemen lalu menutup pintu dengan keras.
——— Beberapa bulan berikutnya dengan sengaja Celine memberikan sebuah kartu undangan pernikahan pada Kinan yang tengah duduk di kursi riasnya."Kami akan menikah!" ucap Celine sambil menaruh kartu itu di atas meja.
Kinan memandang ke arah Celine tanpa menjawab perkataan kakaknya. Dia mengepalkan tangannya dengan perasaannya yang teramat sakit.
"Aku harap kau tidak mengacaukan acara pernikahan kami," ucap Celine sambil pergi.
Kinan bangkit, tapi dia duduk kembali lalu menangis meratapi nasibnya. Beberapa kenangan indah yang dia ingat saat bersama Januar mulai bermunculan.
Kinan tak kuasa menanahan tangisannya. Dia melihat ke arah bingkai foto mereka berdua yang masih terpasang di atas meja. Lalu melemparnya begitu saja ke atas lantai.
"Ada apa ini?! Kinan, kenapa kamu marah-marah?" tanya Listia yang baru saja datang ke kamar putrinya.
Kinan menatap ibunya sambil menghapus air mata. Dia tahu betul apa yang akan dikatakan ibunya. Listia sudah pasti akan membela Celine dan apapun itu, dia tidak akan membiarkan Celine mengalah pada siapapun, terutama Kinan, adiknya sendiri.
"Aku sudah tahu bu, sebentar lagi mereka akan menikah, kenapa bu? Kenapa ibu tidak memberitahu aku tentang hubungan mereka? Kenapa ibu merestui mereka?" tanya Kinan, kini airmatanya kembali mengalir.
"Kinan...ibu pikir ini bukanlah kesalahan mereka, ibu pikir ini hanyalah sebuah takdir dari Tuhan. Lagipula yang harus menikah lebih dulu itu memang kakakmu, bukannya kamu, kamu masih terlalu muda untuk menikah," ucap Listia, dia berusaha berbicara lembut namun dengan arti yang berbeda.
"Tapi kenapa waktu lalu ibu merestui hubunganku dengan Januar, kenapa waktu lalu ibu mengizinkan kita untuk segera menikah, mempersiapkan semuanya dari jauh-jauh hari dan setelah semuanya selesai, setelah tanggal pernikahanku tinggal menghitung hari aku mendapatkan fakta yang berbeda, mengapa begini bu?" tanya Kinan penuh dengan rasa kecewa.
"Bukan begitu nak. Ibu tidak tahu harus berkata apalagi, ibu harap kamu mengerti dan menerima semua ini, biarlah mereka menikah." Kata Listia, dia memegang kedua pipi putrinya mencoba menenangkan Kinan yang melihat tak percaya ke arahnya.
Kinan bangkit, dia berjalan menuju lemari, mengambil koper lalu memasukkan semua pakaiannya. Dia mengambil berkas-berkas penting dalam lemari sambil terus menangis menutup kopernya lalu pergi meski berkali-kali Listia mencoba menahannya.
"Kinan, tolong jangan pergi!" cegahnya sambil menangis menahan tangan Kinan yang langsung melepas tangan ibunya.
Dia melirik ke arah Celine yang kini berdiri sambil melipat kedua tangannya. "Kalau mau pergi, tinggal pergi saja! Jangan lupa datang ke acara pernikahan kami ya!" ucapnya tanpa perasaan.
Kinan semakin yakin dengan pendiriannya. Dia melirik sejenak ke arah ibunya lalu pergi meninggalkan rumah tanpa sepatah kata lagi.
——— "Lea!" panggil salah seorang pria pada Kinan yang tengah berdiri di bawah pohon.Tanpa permisi pria itu langsung saja memeluk Kinan yang dia anggap kekasihnya.
"Lea! Akhirnya kita bertemu lagi, maafkan aku Lea, maafkan aku..." ucapnya diiringi dengan tangisan yang membuat perempuan cantik itu kebingungan.
Kinan yang tengah asik melempar batu ke danau mendadak menghentikan aktivitasnya. Lalu dengan kasar melepas tangan pria asing yang membuatnya sangat terkejut. Tubuhnya bergetar hebat kala memandang wajah pria di hadapannya.
"Maaf, anda salah orang Tuan!" ucap Kinan, tubuhnya berbalik menghadap ke arah pria tersebut.
Pria bernama Axel itu mengernyitkan dahinya. Dia mengucek mata, baru menyadari dan merasa tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Setelah benar-benar sadar, barulah dia meminta maaf.
"Saya permisi dulu," ucap Kinan sambil berlalu pergi.
Axel hanya diam. Tubuhnya terpaku memandang bayangan gadis cantik yang baru saja berlalu dari hadapannya. Masih teringat dalam benaknya sosok wanita yang selama ini dia inginkan. Bayang-bayang itu masih bermunculan.
Sosok yang dia anggap selalu ada dalam ingatannya, sosok yang selalu menghantui pikirannya.
"Lea...aku pikir kamu berenkarnasi dan hidup kembali, Lea...gadis itu sangat mirip dengan Lea..." ucap batinnya yang begitu menjerit merindukan sosok wanita pujaannya.
"Tuan Axel, Tuan Lian meminta anda untuk segera pulang, ada hal penting yang ingin di bicarakan." Kata seorang asisten bernama Angga pada Axel yang seketika tersadar dari lamunannya.
"Baik, aku akan segera pulang!" jawab Axel, dengan matanya yang tak pernah lepas memandang ke arah perginya Kinan tadi.
"Baik, Tuan, akan saya sampaikan pada Tuan Lian."
———Buru-buru dia menghapus air matanya. "Maaf, aku...aku hanya ingat pada keponakanku," ucap Kinan. "Sepertinya kamu sangat menyayangi bayi itu." Ucap Axel. "Tuan, Bibi permisi dulu," kata Kepala pelayan sambil berlalu pergi. "Ya, lanjutkanlah pekerjaan bibi!" jawab Axel. Kinan mulai bekerja. Dia mengerjakan aktivitasnya di bantu oleh Axel yang sengaja libur bekerja hanya untuk menemani serta memantau pekerjaannya seharian. Seharian penuh mereka bekerja sama mengasuh bayi bak sepasang suami istri yang baru di karuniai buah hati. Di mulai dari memandikan, memberi makan, memberi susunya, menidurkannya. Mereka bermain bersama setelah bayi itu bangun kembali. ———"Terimakasih," ucap Axel pada Kinan saat mereka duduk di kursi taman di malam hari yang hening. "Terimakasih untuk apa?" tanya Kinan heran. Dia melirik ke arah Axel. "Terimakasih untuk hari ini, kamu bekerja dengan baik untukku dan Reina." Ucapnya lagi sambil tersenyum manis. "Tidak perlu berterimak
"Silahkan duduk, siapa namamu tadi?" tanya Axel. "Namaku Kinan," "Oh, ya, Kinan. Selamat datang di rumahku, mulai hari ini kamu bisa bekerja disini." Kata Axel memberikan sebuah senyuman manis pada gadis itu. Suara sepasang sepatu terdengar menandakan seseorang datang menghampiri mereka. Ternyata benar, Nenek Axel datang bersamaan seorang wanita muda di sampingnya. Mereka begitu terkejut saat melihat Kinan yang kini duduk bersebrangan bersama Axel di ruang tamu. "Nenek, bukankah itu..." ucap perempuan bertubuh ramping dengan blue dress selutut yang dikenakannya. Belum saja dia bicara, Axel sudah menoleh ke arah mereka. "Itu nenek dan juga teman kakakku." Kata Axel memberitahu. Kinan segera bangkit, sambil tersenyum, dengan sopan dia menyalami nenek dan juga perempuan itu. Tapi mereka seolah enggan bersentuhan dengan Kinan. Keduanya saling berlirikkan satu sama lain. "Segera pekerjakan dia, jangan banyak bicara lagi!" kata nenek, lalu dia kembali pergi di ikuti oleh perempuan
"Jika marah, kenapa harus melempar batu ke danau?" tanya Axel, sambil tersenyum, kini dia sudah berdiri di samping Kinan, yang membuat gadis cantik itu seketika terlonjak kaget. "Astaga!" ujarnya. "Maaf aku sudah membuatmu terkejut," ucap Axel pada Kinan yang tampak ketakutan. "Siapa anda? Kenapa anda tiba-tiba berada disini lagi? Apa yang sebenarnya anda inginkan? Oh, aku tahu, anda ingin memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan 'kan? Anda ini seorang penjahat wanita 'kan?!" tak hentinya sederet pertanyaan itu dia lontarkan seakan tak mengizinkan Axel untuk menjelaskan semuanya. "Bukan begitu Nona, a-aku hanya..." "Memang di dunia ini tidak ada satupun pria yang baik, semua pria itu sama! Pria hanya ingin memanfaatkan kepolosan wanita, kebaikan wanita dan pria hanya menyakiti wanita, semua pria itu penjahat!" ujar Kinan mengomel sambil terus mundur karena Axel berusaha mendekatinya ingin menjelaskan. "Tidak Nona, tidak seperti itu, anda salah. Pemikiran anda salah, tidak semua
"Ya ampun, baru saja keluar rumah satu kali aku sudah mendapatkan sikap tidak baik dari penduduk sini. Tapi, bagaimana aku akan mendapat pekerjaan kalau di rumah terus." Kata Kinan yang baru saja berlalu dari hadapan Axel. Dia berjalan cepat dengan tubuhnya yang bergetar ketakutan karena sikap Axel tadi. Dia merasa terancam, bahkan berpikir buruk tentang Axel yang dianggapnya tengah mengalami gangguan kejiwaan. Tak berapa lama gadis itu sampai di sebuah rumah. Dia segera masuk, lalu dengan cepat mengunci pintu rumahnya."Ada apa Kinan? Kenapa pintunya tiba-tiba di kunci?" tanya salah seorang wanita berrambut pendek yang tengah menikmati secangkir teh hangat di atas meja makan. "Tidak apa-apa, aku ke kamar dulu!" jawabnya sambil terburu-buru masuk ke dalam kamarnya.Kinan duduk di atas ranjang dengan tatapan kosong dalam lamunannya. Dia mengingat kejadian pahit dalam hidupnya beberapa minggu yang lalu. Mendapati pacarnya tengah bermesraan bersama kakaknya sendiri dalam sebuah ruang
Suara kicauan burung yang begitu merdu membuat Kinan yang kini tengah menikmati udara segar di pagi hari tersenyum manis. Matanya memandang ke arah beberapa burung yang beterbangan di atas pohon seolah tengah bernyanyi merdu untuknya. "Indah sekali suaramu, bahkan kalian bisa dengan bebas terbang kemanapun yang kalian suka tanpa rasa takut." Ucapnya dengan sendu. "Andai saja aku bisa seperti kalian...tak peduli dengan apa yang sudah terjadi, andai saja aku bisa bernyanyi dengan bebas, terbang kesana-kemari tanpa rasa takut dan melawan semua hal buruk yang selalu menghantui..." ucap Kinan lagi, tak terasa air matanya menetes. Sebuah bayangan buruk tiba-tiba saja melintas dalam benaknya. "Rasanya sangat nikmat sekali, bahkan aku tidak bisa merasakan apa yang baru saja aku rasakan denganmu ketika aku berhubungan bersama Kinan. Bagiku dia terlalu naif dan polos sekali, sedangkan kamu, sangat agresif dan tentunya lebih cantik." Ucap Januar yang baru saja menuntaskan hasratnya bersama d