Di dalam kamar VVIP rumah sakit yang dingin dan sunyi, hanya ada Ilona dan Romy yang masih mematung. Keduanya telah menjadi orang asing.
Tak ada lagi suara bentakan Nyonya Mike, tak ada lagi tekanan dari siapapun. Yang tersisa hanya kesunyian dan kenyataan pahit yang menggantung di antara mereka. "Maaf…" suara Romy tercekat, hampir tak terdengar. Ilona menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Mereka saling mencintai, dan perjalanan mereka untuk sampai ke tahap ini bukanlah sesuatu yang mudah. Dua tahun mereka menjalin hubungan secara diam-diam, melawan restu yang tak pernah datang. Ilona adalah gadis miskin tanpa keluarga yang jelas, sedangkan Romy berasal dari keluarga terpandang yang menjunjung tinggi martabat dan garis keturunan. Pernikahan mereka pun hanya terjadi karena Ilona hamil—sebuah kenyataan yang menjadi satu-satunya alasan keluarga Romy menerima kehadirannya. Namun kini, alasan itu telah tiada. Bayi yang mereka nantikan, satu-satunya pengikat di antara mereka, telah pergi sebelum sempat menghirup udara dunia. Dan jauh di dalam hatinya, Ilona tahu bahwa kematian bayinya bukan sekadar takdir. Ada campur tangan seseorang di dalamnya. Selama tujuh bulan pernikahan mereka, ia mengalami siksaan, cacian, dan hinaan tanpa henti dari keluarga Romy, terutama Nyonya Mike. Tubuhnya lemah karena stres dan tekanan batin yang begitu besar. Dan kini, semua itu berujung pada kehilangan yang tak tergantikan. Romy menghela napas panjang, seolah tengah berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kata-kata berikutnya. "Aku harus pergi," ucapnya akhirnya. "Semua biaya rumah sakit akan aku tanggung. Dan setelah keluar dari sini, kau tidak perlu lagi pulang ke rumah." Ilona membisu. Rasanya tubuhnya mati rasa, tak mampu bereaksi. "Aku pergi." Begitu saja. Romy berbalik dan melangkah keluar tanpa menoleh sedikit pun. Ilona menggigit bibirnya, mencoba menahan isakan yang mulai memenuhi dadanya. Tapi air matanya tak bisa dibendung. Ia membiarkan dirinya larut dalam kesedihan, menangisi nasibnya yang begitu kejam. Ia telah kehilangan anaknya. Dan kini, ia kehilangan suaminya juga. Tak ada lagi tempat untuknya. Namun, di tengah kesunyian yang melingkupinya, suara itu datang. "Owek! Oweek!" Tangisan bayi menggema di lorong rumah sakit. Ilona mengangkat kepalanya perlahan. Tangisan itu begitu memilukan, seolah mencerminkan perasaannya yang hancur. Hatinya terasa tertarik keluar oleh suara itu. Dengan tubuh yang masih lemah, ia memaksakan diri untuk turun dari ranjang. Lututnya sempat bergetar, tapi ia bertahan. Perlahan, ia melangkah keluar kamar, mengikuti suara tangisan yang semakin lama semakin jelas. Di depan kamar sebelah, seorang wanita paruh baya tampak kebingungan, menggendong seorang bayi yang terus menangis. Wanita itu tampak frustasi, berusaha menenangkan bayi yang tak kunjung diam. Ilona menelan ludah, perasaan iba menguasai hatinya. "Boleh saya bantu menggendongnya?" tanyanya dengan suara pelan, mencoba menawarkan bantuan. Wanita itu menoleh cepat, tatapannya penuh curiga. "Siapa kau?" tanyanya ketus. "Oh… saya pasien di kamar ini," Ilona menjawab sambil menunjuk kamarnya yang hanya berjarak satu pintu dari mereka. Wanita itu tampaknya tidak tertarik untuk berbasa-basi. Ia kembali fokus pada bayi yang menangis kencang di gendongannya. "Diam! Mama kamu sudah mati!" bentaknya kasar. Deg! Jantung Ilona berdetak tak karuan. Kata-kata itu begitu menusuk, begitu kejam. Seorang bayi yang baru lahir, tak berdosa, kehilangan ibunya begitu cepat. Dan harus menerima bentakan dan kata-kata kasar yang tidak dia mengerti. Ilona menatap bayi itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Wajah mungilnya memerah karena tangisan yang tak kunjung berhenti, bibir kecilnya terbuka seolah mencari sesuatu. "Ke mana ibunya?" tanyanya dengan suara bergetar, meskipun ia sudah mendengar jawabannya. "Meninggal saat melahirkan," jawab wanita itu tanpa ekspresi, seolah kematian adalah hal yang biasa. Ilona menelan kesedihannya sendiri. Bayi ini… kehilangan ibunya, sama seperti anaknya yang kehilangan dirinya. Dada Ilona terasa sesak. Tangisan bayi itu makin lama makin parau, seperti memohon sesuatu yang tak kunjung didapatkan. "Dia lapar," bisik Ilona lirih. Wanita itu tidak menjawab, hanya menghela nafas kasar, terlihat bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Di tangannya ada botol susu, tapi sedikitpun bayi itu tidak mau menghisapnya. Ilona menarik napas dalam-dalam. "Boleh saya susui?" tanyanya pelan, suara yang keluar dari bibirnya hampir seperti harapan yang ia takutkan akan ditolak.Hujan sore itu turun perlahan, seperti ingin menyelaraskan suasana hati Ilona yang masih berkecamuk. Meskipun tubuhnya duduk diam di ruang tamu, jiwanya masih berputar antara amarah, harapan, dan kebingungan. Di hadapannya, duduk seorang pria sederhana yang mengaku sebagai ayah kandungnya—Rudy Prasetyo.Ia tak pernah membayangkan pertemuan ini akan terjadi. Selama ini, Ilona hanya mengenal gelapnya rahasia tentang asal-usul dirinya. Ia tumbuh tanpa tahu siapa orang tua kandungnya. Sekarang, tiba-tiba muncul lelaki dengan mata berkaca-kaca yang memanggilnya "Nak" dengan suara bergetar.Ilona ingin mempercayai, namun hatinya masih membeku. Luka-luka masa lalu seperti belum memberi izin untuk sembuh.Tiba-tiba, suara lembut yang tak asing memecah keheningan."Mama di sini, Ilona."Ilona langsung menoleh. Suara itu—ya Tuhan—itu suara yang sangat ia kenal. Tapi tidak… itu tidak mungkin.Namun kenyataan menamparnya manis saat sosok Anita, perempuan yang lebih dulu mengakui sebagai ibu kandu
Ilona berdiri di ambang pintu ruang tamu, tubuhnya tegang, matanya sembab. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang membuat dadanya sesak. Semua terlalu mendadak, terlalu asing… dan terlalu menyakitkan.Seseorang dari masa lalu—dari awal mula kehidupannya—akan datang menemuinya. Seseorang yang katanya adalah ayah kandungnya sendiri. Seseorang yang tak pernah ada saat ia terluka, lapar, atau bahkan sekadar ingin digendong.Ia menoleh pada Egar yang sejak tadi menemaninya dalam diam."Suruh masuk saja, Mas," ucap Ilona akhirnya, suaranya pelan namun tegas.Egar hanya mengangguk. Ia melangkah keluar dan memberi isyarat pada Dion dan Roy untuk mengantarkan tamu yang telah ditunggu. Tak lama, seorang lelaki paruh baya memasuki ruang tamu itu. Wajahnya sederhana, pakaiannya pun jauh dari bayangan seorang CEO besar. Tidak ada jas mewah, tidak ada jam tangan mahal, hanya kemeja lengan panjang dan celana kain biasa. Tapi ada keteduhan yang aneh di wajahnya. Sesuatu yang sulit dijel
Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar detak jam dinding dan nafas mereka yang saling bersahutan dalam diam. Ilona masih terduduk di sofa, jemarinya saling meremas, wajahnya penuh tanya, dada sesak oleh pertarungan emosi yang tak ia mengerti."Jadi… aku harus menemuinya?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan yang takut terdengar oleh kenyataan.Egar yang duduk di sampingnya tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona, mengusap punggungnya dengan lembut. Mata pria itu menatap dalam ke mata istrinya, mencoba mengirimkan ketenangan dalam badai yang tak ia bisa hentikan."Tidak harus," jawab Egar lirih. "Tapi… apa salah dia?"Ilona menoleh perlahan. Matanya merah, namun tidak penuh amarah—justru penuh kebingungan. "Karena dia… aku lahir ke dunia."Egar menatapnya, kali ini lebih serius. "Kamu menyesal terlahir?" tanyanya, pelan namun tajam.Ilona menggeleng cepat. "Aku tidak menyesal terlahir. Karena… aku bertemu denganmu. Karena aku lahir, ada anak-anak kita. Ada keluarga ini," jawa
"Sayang..." panggil Egar saat melangkah masuk ke dalam rumah, suaranya rendah namun penuh beban. Suasana di ruang tamu terasa lebih hening dari biasanya, seolah rumah itu tahu bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi di depan gerbangnya.Ilona segera berdiri dari kursi dan mendekat. "Siapa, Mas?" tanyanya, nada khawatir menyusup di balik suaranya. Wajah Egar terlihat berkabut, seolah menyembunyikan badai yang belum sempat reda.Egar tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona dan mengajaknya duduk. "Kita duduk dulu. Aku nggak mau kamu kaget," katanya lembut, namun tetap terasa ada sesuatu yang berat dalam ucapannya.Ilona mengikuti, walau dadanya mulai tak tenang. Instingnya berkata ada yang tak biasa dari kedatangan tamu itu. Bukan hanya tentang orang asing yang tak menyebutkan tujuannya, tapi tentang bagaimana Egar memandangnya sekarang—ada luka, ada keraguan, dan ada perlindungan yang lebih tebal dari biasanya."Apa kamu mau menemuinya?" tanya Egar akhirnya, menatap mata i
Hari itu, cuaca terasa lebih panas dari biasanya. Meski matahari hanya menggantung malu-malu di balik awan, udara di sekitar rumah Ilona dan Egar seperti dipenuhi ketegangan yang tak terlihat. Sejak keamanan rumah mereka diperketat, setiap suara, setiap gerakan, menjadi sesuatu yang mencurigakan. Begitu juga siang itu—suara keributan di depan rumah membuat Ilona dan Egar saling berpandangan."Siapa itu?" gumam Ilona, menegakkan tubuh dari sandarannya."Apakah Mama?" tanya Egar, meski ragu. "Tapi, Dion dan Roy kan kenal sama Mama. Nggak mungkin mereka sampai teriak-teriak begitu."Ilona menggeleng, menajamkan telinga. "Itu bukan suara Mama. Itu suara laki-laki."Egar berdiri, menyambar kaus yang tergantung di kursi. "Kamu di sini saja, Sayang. Aku akan lihat siapa itu."Ilona hendak membantah, tapi tatapannya langsung redup. Ia terlalu lelah untuk berdebat hari ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman justru terasa seperti penjara, dan kini ditambah dengan kedatangan ta
Pagi baru saja menyapa ketika Ilona menarik gorden jendela ruang keluarga dan menatap ke luar. Cahaya mentari yang hangat menyinari halaman, namun ada yang berbeda. Matanya menyipit ketika melihat empat sosok asing berdiri di halaman rumahnya. Mereka tidak mengenakan seragam resmi, tetapi gestur mereka jelas menunjukkan sikap profesional—berdiri tegak, mata terus bergerak memantau sekitar, tangan menyentuh alat komunikasi di telinga."Loh, itu siapa? Kenapa ada beberapa orang yang tidak dikenal? Ada apa ini?" tanya Ilona heran.Egar, yang baru saja datang dari dapur sambil membawa dua cangkir kopi, berhenti sejenak. Ia menatap keluar melalui pintu kaca besar yang menghadap halaman depan. Wajahnya tenang, tapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Itu tim pengamanan tambahan dari Jojo," jawabnya sambil menyerahkan kopi pada Ilona. "Tapi mereka tidak menginap seperti Dion dan Roy. Mereka seperti satpam, berjaga secara bergantian, sistem shift."Ilona tidak langsung menjawab. Ia m