“Kau hanya mengarang cerita. Gia tidak pernah meninggalkan wasiat seperti itu,” ujar Egar, matanya menyipit menatap Helena penuh kewaspadaan.Dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Helena. Bisa saja wanita itu hanya mengada-ada. Lagi pula, Egar tidak memiliki ketertarikan sedikit pun kepada Helena, meskipun wanita itu memiliki pesona dan gaya hidup mewah.Egar mengakui, Helena memang sosok yang berani. Semasa Gia masih hidup, ia kerap bercerita tentang betapa salutnya ia terhadap adik perempuannya yang satu itu. Helena memiliki koneksi yang luas, bahkan di luar negeri. Dia berani menekan keluarganya sendiri dengan memanfaatkan para investor, menjadikan dirinya lebih berkuasa dibanding para pria di keluarga besar mereka.Namun, meskipun Helena memiliki keberanian, itu tidak berarti Egar harus mengikuti jalannya. Pernikahan bukanlah solusi, justru akan menambah masalah baru. Mungkin pernikahan itu bisa membantunya mengendalikan keluarga Bernadi, tapi tidak ada yang bisa menjam
“Jangan bertanya, lihat saja nanti.”"Sekalipun tidak ada pilihan lain, aku tidak akan menikah denganmu."Egar berkata dengan tegas, menolak keinginan Helena tanpa keraguan. Pernikahan bukan solusi, dan dia tak akan terperangkap dalam permainan Helena. Dia yakin semuanya akan baik-baik saja tanpa harus mengikuti keinginan wanita itu.Yumi adalah anak kandungnya. Tak ada satu orang pun yang berhak merawat putrinya selain dirinya sendiri. Masalah sebenarnya adalah harta peninggalan Gia yang kini berada di tangan Nyonya Bira. Itu yang harus ia pertanggungjawabkan.Helena tersenyum tipis, seolah tak terpengaruh oleh penolakan itu. “Wajar kalau Kak Gia sangat mencintaimu. Kau memang penuh pesona, Egar. Kau punya pendirian yang kuat, tidak mudah goyah. Tapi, kau tetap harus menikah denganku.”Egar menggeleng. “Kau sangat keras kepala,” gumamnya.Helena memang tak pernah menyerah. Sekali dia menginginkan sesuatu, dia akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya. Dan kini, dia ingin menikahi E
“Aku lelah,” ujar Ilona ketika beberapa kali persidangan dan masih belum menemukan titik terang. Helena benar-benar keras kepala dan tidak mau mengalah.Dia memiliki segalanya, kuasa hukum terbaik dan uang. Tapi, Egar tidak pernah menyerah. Dan siapa sangka ibunya sama sekali tidak mau membantu. Tapi, ternyata ada seorang baik yang bersedia membantu Egar. Entah apa motifnya, Egar tidak peduli yang penting dia memiliki dukungan.Setelah enam kali persidangan, menghabiskan waktu lima bulan, akhirnya Helena menyerah dan kalah. Egar bernafas lega.“Alhamdulillah, akhirnya Yumi tetap bersama kita,” ucap Egar memeluk Ilona yang kini perutnya sudah membuncit.“Tapi, aku masih ragu,” jawab Ilona.Egar menatap sang istri dengan sorot mata penuh keheranan dan tanda tanda. “Apa yang kamu ragukan?”“Mengapa akhirnya dia mengalah begitu saja, takutnya dia memiliki rencana lain. Dan semua ini semakin kacau,” jawab Ilona.“Kita coba percaya saja. Karena sebenarnya akhir-akhir ini mama juga ikut turu
“Mau apa mama kemari?” tanya Egar.Dua bulan setelah kelahiran Gana, tiba-tiba Nyonya Bira datang ke rumah mereka. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba wanita paruh baya itu sudah berada di teras.“Kenapa?” tanya Nyonya Bira ketus.“Gapapa, hanya heran saja Mama datang kemari. Apakah Mama ingin melihat Gana?”“Aku tidak peduli. Aku datang hanya memastikan apakah kau masih bertahan? Dan kau hebat bisa mengalahkan Helena, si wanita gila itu,” jawab Nyonya Bira.“Terima kasih atas bantuan Mama,” ucap Egar.“Kau kira, kau bisa melawannya dengan kekuatanmu itu? Kau hampir saja kalah dan masuk penjara.”Egar mengangguk, dia tahu semua yang dikatakan ibunya itu benar. Jika, pada saat itu Nyonya Bira tidak mengambil langkah, maka dia tidak akan bisa menyaksikan kelahiran putranya. Dia pasti kini sedang mendekam di balik jeruji besi.“Bagaimana pembangunan perusahaan Mama?” tanya Egar akhirnya. Dia selalu berusaha berdamai dengan sang ibu. Dia yakin, kedatangan ibunya kali ini pasti untuk
“Dasar buta.”Egar tidak menjawab, apapun yang dia katakan pastinya akan selalu salah di mata ibunya.“Mama akan tinggal disini,” ujar Nyonya Bira tiba-tiba.Egar dan Ilona saling pandang, pastinya mereka terkejut mendengar keinginan Nyonya Bira. Rasanya tidak percaya seorang Nyonya Bira mau tinggal di rumah yang katanya seperti gubuk.“Mama gak salah?” tanya Egar.“Tidak. Kenapa kalian gak menerima ku?”“Boleh kok, Ma.” Ilona menjawab dengan cepat, karena tidak mungkin menolak. Menolak keinginan ibu mertuanya itu sama saja dengan menyulutkan api perang.“Siapkan kamar untukku!” perintahnya.“Baik, Ma.”Ilona memberikan Gana kepada Egar, dia akan menyiapkan sebuah kamar untuk di tempati Nyonya Bira. Meskipun awalnya dia sedikit kebingungan, sebab kamar di rumah itu hanya ada dua. Selama ini telah mereka gunakan untuk kamar Yumi dan kamar mereka.Kini, ada tambahan penghuni lainnya. Dan itu artinya, mau tidak mau ada salah satu yang mengalah. Merelakan kamarnya ditempati oleh Nyonya Bi
“Loh, kenapa, Ma?” tanya Egar mengejar sang ibu.Meskipun dia sudah tahu jawabannya, tempat itu bukan tempat yang cocok untuk Nyonya Bira. Beliau tidak bisa tinggal di tempat yang sederhana seperti itu. karena terbiasa hidup penuh kemewahan.Lagian juga aneh rasanya mendengar Nyonya Bira yang tiba-tiba ingin tinggal bersama Egar dan Ilona. Hati Egar saja masih penuh tanda tanya mengapa ibunya mau tinggal disana, dan ternyata tidak perlu menunggu jawabannya terlalu lama, Mamanya akhirnya menyerah sendiri.“Mama tidak bisa tertular miskin,” jawabnya.“Oh, inilah keadaan kami, Ma. Tapi, menurut kami ini bukan miskin kok, tapi gaya hidup kami seperti ini. Dan juga, kemampuan kami sesuai dengan gaya,” ujar Egar tersenyum.“Aku akan tinggal di komplek perumahan perusahaan saja.”“Itu lebih baik, Ma. Pastinya akan lebih mewah daripada disini yang terletak di perkampungan. Nanti mama bisa menular kebiasaan ibu-ibu kampung sini. Duduk bersama dibawah pohon mangga ujung jalan menunggu tukang sa
“Ilona, kamu kapan akan jualan lagi?” tanya salah satu tetangga saat Ilona sedang memilih sayuran pada mamang sayur yang mangkal di bawah pohon mangga di depan rumah bu Sari.Tempat itu memang menjadi favorit para ibu-ibu menunggu tukang sayur datang. Bahkan itu seperti markas bagi mereka, dimana pertukaran informasi begitu cepat disana. Bahkan berita yang dibawa pun sangatlah akurat sumbernya.Ilona tersenyum. “Belum tahum bu. Gana masih sangat kecil.”“Padahal kamu bisa minta Bu Sari yang jagain dan kamu jualan loh. Soalnya kalau kamu gak jualan, bingung mau beli sarapan yang enak gak ada.”“Iya, benar sekali. Makanan Ilona itu pas rasanya,” sambung yang lain.“Jangan be
"Siapa?" tanya Ilona bingung, karena tiba-tiba ada orang yang datang ke rumah mereka.Dan itu juga, pertama kalinya ada yang memanggil Egar dengan sebutan abang. Apakah orang itu mengenal suaminya? Tapi, siapa? Kenapa bisa tahu alamat mereka?"Saya Andra," jawabnya memperkenalkan diri."Oh." Ilona hanya ber oh singkat, mengangguk pelan, meskipun masih dalam kebingungan karena dia tidak mengenal lelaki tersebut. Juga tidak pernah mendengar Egar menyebut nama itu. Rasanya nama itu benar-benar asing di telinganya."Apakah benar ini rumah Bang Egar?" tanya Andra sekali lagi mengulangi pertanyaannya."Oh, benar," jawab Ilona akhirnya. Padahal, awalnya dia berniat untuk tidak memberitahukan kalau itu rumah Egar, tapi entah mengapa lidahnya tidak bisa diajak kompromi. Padahal otaknya sudah memerintahkan untuk menjawab "bukan", lidahnya malah menjawab "benar"." Apa Bang Egar ada?" tanya Andra lagi.Ilona menggeleng. "Tidak ada, dia lagi di gudang."Andra mengangguk pelan. "Kapan abang akan
Hujan sore itu turun perlahan, seperti ingin menyelaraskan suasana hati Ilona yang masih berkecamuk. Meskipun tubuhnya duduk diam di ruang tamu, jiwanya masih berputar antara amarah, harapan, dan kebingungan. Di hadapannya, duduk seorang pria sederhana yang mengaku sebagai ayah kandungnya—Rudy Prasetyo.Ia tak pernah membayangkan pertemuan ini akan terjadi. Selama ini, Ilona hanya mengenal gelapnya rahasia tentang asal-usul dirinya. Ia tumbuh tanpa tahu siapa orang tua kandungnya. Sekarang, tiba-tiba muncul lelaki dengan mata berkaca-kaca yang memanggilnya "Nak" dengan suara bergetar.Ilona ingin mempercayai, namun hatinya masih membeku. Luka-luka masa lalu seperti belum memberi izin untuk sembuh.Tiba-tiba, suara lembut yang tak asing memecah keheningan."Mama di sini, Ilona."Ilona langsung menoleh. Suara itu—ya Tuhan—itu suara yang sangat ia kenal. Tapi tidak… itu tidak mungkin.Namun kenyataan menamparnya manis saat sosok Anita, perempuan yang lebih dulu mengakui sebagai ibu kandu
Ilona berdiri di ambang pintu ruang tamu, tubuhnya tegang, matanya sembab. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang membuat dadanya sesak. Semua terlalu mendadak, terlalu asing… dan terlalu menyakitkan.Seseorang dari masa lalu—dari awal mula kehidupannya—akan datang menemuinya. Seseorang yang katanya adalah ayah kandungnya sendiri. Seseorang yang tak pernah ada saat ia terluka, lapar, atau bahkan sekadar ingin digendong.Ia menoleh pada Egar yang sejak tadi menemaninya dalam diam."Suruh masuk saja, Mas," ucap Ilona akhirnya, suaranya pelan namun tegas.Egar hanya mengangguk. Ia melangkah keluar dan memberi isyarat pada Dion dan Roy untuk mengantarkan tamu yang telah ditunggu. Tak lama, seorang lelaki paruh baya memasuki ruang tamu itu. Wajahnya sederhana, pakaiannya pun jauh dari bayangan seorang CEO besar. Tidak ada jas mewah, tidak ada jam tangan mahal, hanya kemeja lengan panjang dan celana kain biasa. Tapi ada keteduhan yang aneh di wajahnya. Sesuatu yang sulit dijel
Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar detak jam dinding dan nafas mereka yang saling bersahutan dalam diam. Ilona masih terduduk di sofa, jemarinya saling meremas, wajahnya penuh tanya, dada sesak oleh pertarungan emosi yang tak ia mengerti."Jadi… aku harus menemuinya?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan yang takut terdengar oleh kenyataan.Egar yang duduk di sampingnya tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona, mengusap punggungnya dengan lembut. Mata pria itu menatap dalam ke mata istrinya, mencoba mengirimkan ketenangan dalam badai yang tak ia bisa hentikan."Tidak harus," jawab Egar lirih. "Tapi… apa salah dia?"Ilona menoleh perlahan. Matanya merah, namun tidak penuh amarah—justru penuh kebingungan. "Karena dia… aku lahir ke dunia."Egar menatapnya, kali ini lebih serius. "Kamu menyesal terlahir?" tanyanya, pelan namun tajam.Ilona menggeleng cepat. "Aku tidak menyesal terlahir. Karena… aku bertemu denganmu. Karena aku lahir, ada anak-anak kita. Ada keluarga ini," jawa
"Sayang..." panggil Egar saat melangkah masuk ke dalam rumah, suaranya rendah namun penuh beban. Suasana di ruang tamu terasa lebih hening dari biasanya, seolah rumah itu tahu bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi di depan gerbangnya.Ilona segera berdiri dari kursi dan mendekat. "Siapa, Mas?" tanyanya, nada khawatir menyusup di balik suaranya. Wajah Egar terlihat berkabut, seolah menyembunyikan badai yang belum sempat reda.Egar tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona dan mengajaknya duduk. "Kita duduk dulu. Aku nggak mau kamu kaget," katanya lembut, namun tetap terasa ada sesuatu yang berat dalam ucapannya.Ilona mengikuti, walau dadanya mulai tak tenang. Instingnya berkata ada yang tak biasa dari kedatangan tamu itu. Bukan hanya tentang orang asing yang tak menyebutkan tujuannya, tapi tentang bagaimana Egar memandangnya sekarang—ada luka, ada keraguan, dan ada perlindungan yang lebih tebal dari biasanya."Apa kamu mau menemuinya?" tanya Egar akhirnya, menatap mata i
Hari itu, cuaca terasa lebih panas dari biasanya. Meski matahari hanya menggantung malu-malu di balik awan, udara di sekitar rumah Ilona dan Egar seperti dipenuhi ketegangan yang tak terlihat. Sejak keamanan rumah mereka diperketat, setiap suara, setiap gerakan, menjadi sesuatu yang mencurigakan. Begitu juga siang itu—suara keributan di depan rumah membuat Ilona dan Egar saling berpandangan."Siapa itu?" gumam Ilona, menegakkan tubuh dari sandarannya."Apakah Mama?" tanya Egar, meski ragu. "Tapi, Dion dan Roy kan kenal sama Mama. Nggak mungkin mereka sampai teriak-teriak begitu."Ilona menggeleng, menajamkan telinga. "Itu bukan suara Mama. Itu suara laki-laki."Egar berdiri, menyambar kaus yang tergantung di kursi. "Kamu di sini saja, Sayang. Aku akan lihat siapa itu."Ilona hendak membantah, tapi tatapannya langsung redup. Ia terlalu lelah untuk berdebat hari ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman justru terasa seperti penjara, dan kini ditambah dengan kedatangan ta
Pagi baru saja menyapa ketika Ilona menarik gorden jendela ruang keluarga dan menatap ke luar. Cahaya mentari yang hangat menyinari halaman, namun ada yang berbeda. Matanya menyipit ketika melihat empat sosok asing berdiri di halaman rumahnya. Mereka tidak mengenakan seragam resmi, tetapi gestur mereka jelas menunjukkan sikap profesional—berdiri tegak, mata terus bergerak memantau sekitar, tangan menyentuh alat komunikasi di telinga."Loh, itu siapa? Kenapa ada beberapa orang yang tidak dikenal? Ada apa ini?" tanya Ilona heran.Egar, yang baru saja datang dari dapur sambil membawa dua cangkir kopi, berhenti sejenak. Ia menatap keluar melalui pintu kaca besar yang menghadap halaman depan. Wajahnya tenang, tapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Itu tim pengamanan tambahan dari Jojo," jawabnya sambil menyerahkan kopi pada Ilona. "Tapi mereka tidak menginap seperti Dion dan Roy. Mereka seperti satpam, berjaga secara bergantian, sistem shift."Ilona tidak langsung menjawab. Ia m
Bunyi dentuman keras beberapa menit yang lalu masih terngiang di telinga Egar. Suasana dalam mobil terasa hening dan tegang. Yumi yang tadi menangis sudah berhenti nangisnya, dia hanya terkejut, sementara Gana meringkuk di dalam pelukaj Ilona, sesekali merengek kecil. Ilona memeluk keduanya erat, seolah ketakutan itu masih mengejarnya.Mobil kini berhenti di pinggir jalan, tak jauh dari lokasi kejadian. Dion, salah satu pengawal pribadi yang ditugaskan oleh Anita —sedang berbicara serius dengan Roy di luar mobil."Saya akan keluar," ujar Egar akhirnya, merasa perlu ikut mengecek kondisi mobil dan situasi sekitar.Namun Dion segera menoleh dan berkata dengan tenang tapi tegas, “Tidak, biar Roy saja, Tuan. Tetap di dalam. Ini bisa jadi belum aman.”Egar mengernyit, tak biasa dikendalikan begitu, tapi dia tahu Dion dan Roy adalah orang-orang pilihan. Mereka bukan sekadar sopir atau pengawal biasa, mereka adalah bekas anggota pasukan khusus yang kini bekerja penuh untuk menjaga keluarga i
Pagi itu terasa istimewa di rumah kecil milik Egar dan Ilona. Matahari baru saja muncul malu-malu di balik awan tipis, namun Yumi sudah duduk manis di meja makan, mengenakan seragam TK barunya yang berwarna biru muda. Rambutnya yang hitam tebal dikepang dua rapi oleh Ilona, dihiasi pita mungil yang membuatnya tampak seperti boneka hidup.Akhirnya, hari yang dinanti-nantikan itu tiba. Yumi akan mulai masuk sekolah hari ini. "Nanti, Yumi akan banyak teman, kan, Ma?" tanya Yumi sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulut mungilnya. Matanya berbinar penuh harap.Dia bangun paling pagi dan langsung mandi. Dia begitu bersemangat untuk memulai pengalaman barunya menjadi seorang siswi."Tentu, Sayang. Banyak sekali teman-teman yang menunggu Yumi," jawab Ilona sambil tersenyum lembut."Hore! Yumi bisa main sama teman!" seru Yumi sambil mengangkat kedua tangannya kegirangan.Egar tertawa kecil melihat tingkah anak gadisnya. "Iya, Nak. Yumi pasti cepat berteman, karena Yumi anak yang baik.""Iya,
Angin sore itu berembus lembut dari jendela mobil yang sengaja dibuka, membawa aroma asin dari laut yang masih membekas di tubuh mereka. Ilona menyandarkan kepalanya pada sandaran jok, memejamkan mata sejenak, menikmati ketenangan setelah seharian bermain bersama keluarga. Tapi jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan yang sulit diabaikan.Pikiran dalam kepalanya terasa saling bertabrakan. Begitu banyak hal yang melintas di kepalanya."Tapi, entah mengapa aku merasa akan ada sesuatu yang lebih besar akan terjadi," gumam Ilona, suaranya hampir tertelan angin.Suaranya sangat lirih dan lemah.Egar, yang duduk di sebelahnya meraih tangan Ilona dan menggenggamnya dengan lembut, melirik sekilas ke arah istrinya. Ia merasakan tekanan yang sama, kekhawatiran yang membayangi kebahagiaan singkat mereka hari ini. Dia juga tidak yakin semua akan berakhir di hari ini. Apalagi hingga saat ini keluarga Ilma belum ada yang menemui Ilona. Egar merasa masih ada bayang-bayang yang akan mengancam."Sebe