Suasana rumah telah tenang. Sarapan pagi berakhir, semua anggota keluarga beranjak ke kegiatan masing-masing. Eliza kembali ke kamar, dibantu Kiara. Rizky sedang menerima panggilan dari rumah sakit. Sementara Olivia asyik bermain dengan Noah dan Aishwa yang baru saja bangun.Namun tidak dengan Nathan.Ia masih berdiri di beranda belakang, memandangi taman yang basah oleh embun pagi. Di tangan kirinya, secangkir kopi yang sudah dingin. Tatapannya kosong, seolah menatap jauh ke depan.Mawar, yang sejak tadi memperhatikan anak semata wayangnya itu dari balik kaca, akhirnya menyusul keluar. Langkahnya tenang, gaunnya berwarna lembut, seperti sosoknya yang selalu mendamaikan."Nathan," ucapnya lembut.Nathan menoleh, lalu menegakkan tubuhnya. "Mami."Mawar berdiri di sampingnya, ikut menatap taman."Mami perhatikan, sepertinya kamu tidak senang dengan hubungan Tuan Albert dan juga Aruna?"Nathan diam. Ia tahu ibunya tidak akan membicarakan sesuatu jika tidak penting. Dalam keluarganya, Maw
Sinar matahari pagi perlahan menembus tirai-tirai jendela lebar, membelai lembut seluruh sudut mansion keluarga Hermawan. Aroma harum dari dapur utama segera menguar, menggoda indra penciuman siapa pun yang terjaga. Roti panggang yang renyah, telur rebus, jus segar dari buah pilihan, susu hangat, kopi serta nasi goreng lengkap dengan ayam goreng, tersaji rapi di atas meja makan kayu jati berkualitas tinggi.Di ujung meja, Mawar telah duduk anggun, senyumnya mengembang saat matanya menatap layar ponsel. Di sebelahnya, Hermawan turut memperhatikan, sesekali tersenyum kecil pada sang istri. Entah apa yang mereka bicarakan, namun jelas ada kebahagiaan yang memancar dari wajah keduanya."Mami sedang apa?" tanya Kiara, yang sibuk membantu pelayan mengatur peralatan makan. Nada suaranya ringan, tapi matanya penuh rasa ingin tahu.Mawar terkikik kecil. "Mami minta dibelikan tas dari koleksi terbaru," jawabnya sambil memamerkan layar ponsel kepada Hermawan.Hermawan menimpali dengan senyum tip
Beberapa menit kemudian, suara blender memenuhi dapur yang sunyi. Aroma manis apel segar mulai tercium.“Apa perlu aku tambahkan madu?” gumamnya sendiri.Setelah merasa cukup, Aruna menuang jus ke dalam gelas kaca bening. Ia menata semuanya di atas nampan kecil, lalu melangkah kembali ke ruang keluarga.Albert masih di tempat yang sama. Namun kini, wajahnya tampak lebih rileks. Ketika melihat Aruna datang, matanya berbinar pelan.“Tidak ada pisang, Tuan. Ini jus apel, semoga cocok.” ucap Aruna sambil meletakkan nampan di meja.“Terima kasih, kau sangat perhatian.” balas Albert, mengambil gelas itu dengan kedua tangannya.Aruna duduk di seberang, tak jauh darinya. Hening sejenak, hanya terdengar suara detik jam yang berdetak pelan.Albert menyesap jus itu perlahan. Lalu, dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, ia berkata, “Ternyata, tidak selalu buruk, berada di sini, di mansion ini.”Aruna menatapnya, menunggu kelanjutan kata-kata itu.“Dulu aku takut Olivia merasa bosan di sini
Udara malam di Jakarta terasa sangat panas. Meski pendingin ruangan di kamar Albert telah disetel ke suhu 16 derajat, rasa gerah tetap menempel di kulit. Dengan napas berat, ia duduk di tepi ranjang, lalu melepas kaosnya yang basah oleh keringat.“Indonesia memang sangat panas,” gumamnya.Ia melirik jam tangan. Pukul 10.00 malam. Tidak terlalu larut.Albert berdiri, menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan, lalu melangkah keluar kamar. Ia berniat ke dapur untuk membuat minuman dingin, berharap bisa menyegarkan tenggorokannya yang kering.Namun, langkahnya terhenti saat melihat sosok Aruna duduk sendiri di sofa ruang keluarga. Lampu temaram menyinari wajah gadis itu yang sedang memandangi layar ponsel, tampak tenggelam dalam pikiran.“Aruna?” sapanya pelan.Wanita itu tersentak kaget, nyaris menjatuhkan ponselnya. Matanya membulat, lalu menghela napas lega. “Tuan Albert,” ucapnya gugup.Albert tersenyum kecil, lalu berjalan perlahan dan duduk di sofa, sengaja memilih jarak yang sop
Malam di mansion Hermawan kian hening. Pengamanan tetap berjalan ketat, namun suasana dalam rumah perlahan menjadi lebih ringan. Tidak memegangkan seperti malam-malam sebelumnya.Eliza menyiapkan dua cangkir teh chamomile. Kemudian menata Cukis, serta puding jeruk yang menjadi favorit Nathan. Meskipun perutnya sudah sangat besar, dan bergerak juga sulit, Namun Eliza tidak menghiraukannya. Ia menyiapkan menu cemilan seperti ini untuk Nathan seakan sudah menjadi kewajibannya. "Nyonya Eliza, biar Mbak yang antar makanannya. "Seorang pelayan menawarkan jasanya. Mengingat perut Eliza yang sudah sangat besar. Sudah pasti akan sangat kesulitan untuk membawa Napan berisi makanan seperti ini. Eliza tersenyum dan kemudian menganggukkan kepalanya. "Boleh Mbak Yuli." Eliza pun berjalan di sebelah wanita tersebut. Untuk berjalan memang dilarang. Namun terkadang menghabiskan waktu hanya duduk di kursi roda, serasa juga tidak sehat. Karena itu Eliza tetap memilih untuk melakukan jalan seperti ini
Sore itu, taman belakang mansion Hermawan terasa begitu teduh. Mentari sudah mulai condong ke barat, sinarnya yang keemasan menyelinap di antara dedaunan rindang. Angin sore berembus pelan, membawa aroma bunga mawar dan harum rumput segar.Di sudut taman, berdiri sebuah gazebo kayu berwarna coklat. Tirai tipis melambai ringan diterpa angin. Di dalamnya, Aruna dan Eliza, duduk santai. Di atas meja, tersaji aneka camilan sore. kue lapis, roti isi, dan sepiring buah segar. Satu gelas jus jeruk dingin tampak berembun di depan masing-masing.Eliza, kondisiku sekarang sudah jauh lebih baik. Aku pamit pulang, ya."Aruna berbicara dengan senyum lembut.Terlalu lama tinggal di sini membuatnya merasa tak enak hati. Ia sadar, kebaikan yang diberikan Eliza dan keluarga Hermawan sudah sangat besar. Tubuhnya sudah sembuh, luka-luka pun sudah sembuh. Efek obat mujarab yang membuat luka cepat kering dan sembuh. Para pelaku kejahatan yang sempat mengincarnya kini telah ditangkap. Ini artinya keadaanny