LOGINKetika seluruh keluarga masih sibuk dengan kabar pernikahan Michael yang mendadak, suasana di taman belakang rumah terasa jauh berbeda.Di sana, Samuel duduk santai di kursi taman, dengan segelas cokelat hangat di tangan dan seorang gadis kecil di sampingnya, si manis yang selalu bisa membuat hari-harinya terasa ringan.“Ternyata cerita penyelamatan Kak Yura yang dilakukan Mas Michael keren banget!”Violet memandang Samuel dengan mata berbinar, antusias seperti anak kecil yang baru saja menonton film superhero.Samuel menegakkan punggungnya dengan gaya penuh percaya diri. “Tentu saja keren. Tapi kamu tahu nggak, semua itu nggak mungkin berhasil tanpa bantuanku.”Nada suaranya terdengar setengah bercanda, tapi jelas ada sedikit harapan tersembunyi di baliknya. Harapan agar Violet mengakuinya sebagai pahlawan juga. Samuel ingin Violet memuji kecerdasannya.. Violet langsung bertepuk tangan kecil, wajahnya sumringah. “Tentu saja Mas Sam sangat hebat! Pintar, berani, luar biasa!”Wajah Sa
Udara pagi di Zürich terasa jernih dan menggigit. Dari balik jendela laboratorium yang tinggi, pemandangan Pegunungan Alpen tampak seperti lukisan, tenang, putih, dan sangat indah. Sudah lama Eliza bermimpi bisa datang ke Swiss untuk melihat keindahan penggunungan Alpa seperti ini. Namun di balik keheningan itu, hati Eliza justru terasa riuh yang tak bisa ia redam.Tangannya bergerak hati-hati di bawah mikroskop, meneliti lapisan kulit sintetis yang tengah ia kembangkan. Cahaya biru dari layar komputer memantul di mata jernihnya. Di depan sana, rangkaian angka hasil uji reaksi molekul menandai kemajuan penting dalam risetnya. Cellular Skin Rejuvenation—inti dari penelitiannya di bidang Spesialis Dermatologi Estetika.Sudah dua bulan ia berada di Swiss. Sejak hari pertama, Eliza berusaha menenggelamkan diri sepenuhnya ke dunia riset. Ia menuruti nasihat, atau mungkin lebih tepatnya, perintah halus dari suaminya untuk fokus pada studinya, melupakan segala hal yang bisa mengganggu pikira
Pagi itu, udara terasa segar. Angin sepoi-sepoi meniup rambut Yura yang dibiarkan tergerai, membuat helaian halusnya menari lembut di bawah sinar matahari. Michael duduk santai di kursi rotan halaman belakang, secangkir kopi di tangannya, sementara matanya tak beranjak sedikit pun dari wajah Yura. Yura yang sedang sedang menyiram bunga tiba-tiba merasa risih karena tatapan itu tak kunjung pergi. Ia menoleh, lalu bertanya dengan pipi mulai bersemu merah. “Mas, kenapa dari tadi liatin aku terus kayak gitu?” Michael tersenyum kecil. “Aku takut kamu menghilang kalau aku berkedip.” Yura memiringkan kepala, pura-pura cemberut. “Emangnya aku hantu? Mana mungkin aku langsung menghilang hanya sekali kedipan.” Michael tertawa kecil. “Iya, kamu memang seperti hantu… tapi hantu yang selalu menghantuiku siang dan malam.” Yura langsung memelototinya. “Maksudnya aku serem gitu?” Sambil pura-pura marah, ia mencubit pinggang Michael dengan gemas. Michael tertawa keras, menahan cubitan halus i
Leonard duduk bersandar di dinding. Ia melihat para napi sudah merapat ke jeruji besi sambil memandang ke arah kanan dan kiri. Mereka seperti sedang menunggu sesuatu.Tak lama kemudian penjaga lapas datang sambil membawa membawa piring pelastik berisi nasi beserta lauknya.Para narapidana lansung berebut makanan. Hanya Leonard yang tidak tertarik untuk rebutan. Ia hanya diam dan memperhatikan. "Ini makanan mu, makanlah," kata salah seorang napi kepada Leonard. Dengan malas Leonard mengambil jatah makannya.Bau nasi basi menyeruak dari wadah plastik kecil yang dibagikan penjaga. Leonard memandangi isinya dengan ekspresi ngeri—nasi yang menempel seperti lem, sayur bening tanpa warna, dan potongan kecil sesuatu yang katanya daging, tapi lebih mirip serpihan misterius dari dunia lain.“Selamat makan,” kata seorang tahanan sambil terkekeh. "Kenapa tidak hangat?" Tanya Leonard.“Kalau masih hangat, itu keajaiban, Bro.”Leonard menatap sendok logam di tangannya seperti sedang menatap senj
Leonard duduk di sudut ruangan sempit berwarna abu-abu kusam. Udara pengap bercampur aroma keringat, karbol, dan… entah apa lagi. Dindingnya lembap, dan lampu di langit-langit berkelap-kelip seperti ingin mati tapi tak jadi-jadi.Ia memijat pelipisnya, wajahnya masam. “Astaga… mengapa tahanan di Indonesia sangat jelek begini?” gerutunya dengan aksen Prancis yang kental. “Apakah mereka tidak pernah mendengar kata ventilasi udara?”Salah satu penghuni sel di sebelah hanya mendengus pelan, sementara dari sudut lain terdengar suara sendok jatuh di lantai. Leonard menatap lantai semen dengan ekspresi jijik.“Di Prancis, tahanannya punya sel bersih, ada tempat tidur empuk, televisi kecil, bahkan jendela dengan pemandangan taman!” katanya keras-keras, seolah sedang berpidato.“Di sini? Aku bahkan tidak yakin yang di lantai itu karpet atau lumut!”Seorang tahanan tua di sudut sel tertawa pelan. “Kalau nggak suka, jangan ditahan di sini, Tuan.”Leonard menoleh dengan tatapan kesal. “Kau pikir
Rizky duduk di sofa. Tangannya sedikit gemetar saat meraih ponsel. Ia menatap layar beberapa detik sebelum akhirnya menekan satu nama yang sudah sangat akrab di matanya. Nathan. Panggilan tersambung cepat. Suara Nathan terdengar di seberang, tenang tapi terdengar tegang. “Halo Rizky? Bukankah disana sudah larut? Apa ada kabar tentang Yura?” Rizky menarik napas panjang, berusaha menahan emosi yang nyaris pecah. “Nathan… Yura sudah di sini. Michael dan Samuel baru saja membawanya pulang.” Terdengar jeda panjang di ujung sana, hanya napas Nathan yang terdengar, seperti seseorang yang baru saja menahan degup jantung terlalu lama. “Yura… selamat?” Rizky memandang keatas, lantai dua, seolah ingin memastikan sekali lagi sebelum menjawab. “Ya. Selamat. Tidak ada luka fisik yang serius, hanya kelelahan dan trauma ringan. Tapi dia butuh waktu untuk pulih. Secara mental, terutama.” Nathan terdiam lama. Suara hembusan napasnya terdengar lirih, hampir seperti doa syukur. “Sy







