Matahari mulai merendah saat mobil-mobil keluarga Hermawan kembali memasuki halaman mansion. Olivia yang duduk di jok belakang tampak berseri, kedua tangannya menggandeng erat lengan Aruna, seolah enggan berpisah.Albert yang duduk di depan hanya melirik melalui spion, melihat kedekatan putrinya dengan Aruna. Ada sesuatu yang hangat berdesir di dadanya, rasa yang sulit ia jelaskan.Sudah sangat lama ia tidak melihat senyum bahagia sang putri. Selama ini Olivia selalu tersenyum, namun senyum itu hanya untuk menghibur dirinya. Menurut pandangan Oliva, Albert orang yang tidak bisa menerima kenyataan.Begitu pintu mobil terbuka, Olivia lebih dulu turun, berlari kecil ke dalam rumah sambil berseru, “Kami pulang...!”Nathan dan Hermawan yang sedang berbincang di ruang tengah, langsung menoleh. Mawar dan Eliza pun ikut keluar dari ruang makan, penasaran.Melihat Olivia berlari masuk sambil tersenyum cerah, diikuti Albert dan Aruna yang berjalan berdampingan membawa tas belanjaan, sorot mata
Eliza duduk di ruang keluarga, menunggu dengan gelisah.Kondisi saat ini benar-benar tidak aman. Mereka bahkan belum tahu siapa yang berniat mengusik keluarga Hermawan.Apakah prediksi Eliza benar, bahwa semua ini berkaitan dengan Sherly?Atau, ada orang lain yang bermain di balik bayang-bayang?Tak lama, pintu utama terbuka. Nathan pulang dari kantor. Wajah pria itu tampak lelah.“Hubby sudah pulang?” sapa Eliza, berusaha tersenyum.Nathan mengangguk, lalu duduk di sofa di samping istrinya.Tangannya langsung terulur, mengusap perut besar Eliza dengan lembut.“Hai, kembar, bagaimana hari ini? Apa kalian baik-baik saja, ya?” tanyanya dengan nada hangat.Mengapa permasalahan ini timbul di saat Eliza sedang mengandung besar seperti ini. Begitu banyak kecemasan yang membuat hati pria itu semakin tidak tenang. Eliza tersenyum, hatinya sedikit lega mendengar suara lembut suaminya.Hal seperti ini memang sering dilakukan Nathan setiap pulang kantor. Ia selalu menyapa kedua bayi mereka yang
Begitu banyak barang-barang yang dibeli oleh Olivia. Setelah leleh barulah mereka ke café untuk menikmati minuman dingin serta makanan lezat. Olivia terus mengajak Aruna berbicara, mulai dari hal-hal ringan, sampai cerita masa kecilnya bersama Albert.Lambat laun, ketakutan yang semula menyelimuti Aruna perlahan hilang. Ada rasa hangat yang mulai tumbuh di dalam hatinya, saat melihat betapa tulus dan apa adanya Olivia bersikap. Gadis itu bukan anak manja seperti yang ia bayangkan. Justru Olivia tampak penuh perhatian, bahkan menginginkan kebahagiaan untuk ayahnya.Setelah beberapa jam berkeliling, belanjaan mereka pun sudah cukup banyak. Olivia melirik Aruna, lalu tersenyum puas.“ksk Aruna, terimakasih sudah nemenin aku hari ini. Aku seneng banget. Daddy tuh jarang jalan-jalan sama aku. Tapi kalau sama kamu, aku jadi bisa keluar bareng,” ucap Olivia tulus.Aruna menatap gadis itu, hatinya terasa hangat. “Aku yang harus terima kasih. Kamu gadis yang baik, Olivia.”Tanpa ragu, Olivia m
Siang itu, matahari bersinar cerah. Cuaca cukup bersahabat, langit biru dengan awan putih berarak pelan.Dua mobil hitam berhenti di depan sebuah mall mewah di pusat kota. Beberapa pengawal tampak turun lebih dulu, memastikan keadaan aman sebelum akhirnya pintu mobil dibuka."Ayo kakak Aruna, aku sudah tidak sabar." Olivia berkata dengan penuh semangat. Gadis remaja itu sudah merubah panggilannya sesuai perintah Aruna. Aruna sudah mengajarkan kepadanya, bagaimana cara memanggil orang yang lebih tua, jika di Indonesia. Dengan sangat patuh, Olivia langsung menurut."Iya," jawab Aruna dengan sedikit tersenyum dan kemudian turun dari mobil. Bersyukur Albert tidak ikut, hingga membuat Aruna lebih nyaman. Jika ada Pria itu pasti membuatnya tidak leluasa.Olivia melangkah keluar lebih dulu, mengenakan gaun santai berwarna pastel yang membuat wajahnya makin segar. Aruna menyusul di belakang, dengan busana sederhana namun tetap elegan. Meski awalnya terlihat canggung, Aruna berusaha menyesuai
Pagi itu, udara di mansion Hermawan terasa lebih berat dari biasanya.Cahaya matahari yang seharusnya menghangatkan, justru terasa redup. Di balik tirai ketegangan yang menyelimuti rumah itu.Nathan duduk di ruang kerja, menatap layar komputer yang memutar ulang rekaman CCTV semalam.Di sampingnya, berdiri Teddy, anak buah kepercayaan yang sudah lama mengabdi di keluarga Hermawan.“Menurut kamu, siapa yang cukup berani mengirim orang untuk mencelakai kita?” tanya Nathan pelan, namun tajam, matanya tak lepas dari layar.Teddy menelan ludah. “Melihat cara orang itu bergerak, mereka pasti sangat mengenali seluk-beluk mansion ini, Tuan.”Deg.Jantung Nathan berdebar cepat. Kalimat itu mengingatkannya pada dugaan Eliza semalam.Apakah benar, semua ini ada kaitannya dengan Sherly?Pikirannya makin tidak tenang.Meski sulit percaya, mantan istrinya berani berbuat sejauh ini, dia tahu, Sherly bukan wanita yang waras.Bahkan dulu, Sherly tega menggugurkan kandungannya sendiri. Ia dengan senga
Suara keras dari taman belakang masih terngiang di telinga Nathan.Dengan pistol di tangan, ia melangkah cepat menuju pintu belakang.“Diam di sini, sayang,” perintahnya singkat kepada Eliza.Eliza mengangguk, wajahnya tegang. Ia tahu, malam ini tidak seperti malam biasanya.Nathan membuka pintu perlahan.Udara dingin langsung menyambut. Taman belakang yang gelap hanya diterangi cahaya rembulan.Crak!Suara ranting patah lagi. Kali ini di dekat gazebo.Nathan melangkah pelan. Matanya tajam mengawasi sekitar. Lalu dalam sekejapBayangan hitam melompat cepat ke arahnya!Bugh!Sebuah tendangan menghantam pergelangan tangannya, membuat pistol terlepas.Refleks, Nathan bergerak mundur dan memasang kuda-kuda.Di depannya, berdiri sosok berpakaian serba hitam. Wajah tertutup kain, layaknya ninja. Gerakannya lincah. Tubuhnya ringan seperti bayangan.“Siapa kau!” bentak Nathan. Namun tak ada jawaban.Sosok itu langsung menyerang lagi, cepat, nyaris tidak terlihat.Sebuah pukulan melayang ke ar