Aruna diam, tapi matanya sempat menangkap senyum tipis di bibir Albert, senyum yang anehnya membuat dadanya terasa hangat.Lalu, dengan percaya diri, Albert melangkah masuk ke gedung sambil menyandangkan tas ransel laptop di punggungnya. Adegan itu sukses membuat beberapa pegawai tercengang. Sementara yang lain malah makin penasaran siapa wanita muda yang membonceng bos mereka pagi ini.Albert melangkah ringan menuju lift. Begitu pintu lift terbuka ia masuk ke dalam. Didalam lift hanya ia sendiri, karena ini memang lift khusus untuk pemilik perusahaan serta orang-orang penting. Albert menatap pantulan dirinya di cermin lift. Kemeja rapi, jas hitam, dan senyum yang masih mengembangkan di bibirnya. Gadis kecil, mana mungkin bisa menang melawan suhu," katanya dengan bahasa Indonesia yang belepotan.Di lantai teratas, sekretaris pribadinya sempat menatap heran.“Tuan Albert," sapa nya sambil melihat Albert yang sedang merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.Albert hanya melirik sek
Pagi itu udara Jakarta masih terasa sejuk, sinar matahari belum terlalu terik. Dari balik pintu kamarnya, Albert sudah siap dengan kemeja rapi dan aroma parfum maskulin yang samar-samar menguar. Pria itu sudah memakai jas berwarna hitam pekat, dan sepatu pantofel. Ia memegang secangkir kopi panas, berjalan santai ke ruang tamu. Tepat saat itu, terdengar suara engsel pintu Aruna berderit pelan. Albert spontan menoleh, wajahnya seolah-olah baru saja terkejut menemukan sosok Aruna yang baru keluar. Padahal, diam-diam ia sudah menunggu sejak sepuluh menit lalu. “Pagi,” sapa Albert, menaikkan alis sambil mengangkat cangkirnya. “Kebetulan sekali, kita sarapan bareng.” Aruna melirik cangkirnya, lalu memicingkan mata. “Ini kopi, bukan sarapan.” Albert tersenyum santai dan menyeruputnya. Tapi seketika itu juga, pahit yang menusuk lidah membuatnya hampir batuk. Ia menahan diri, pura-pura menikmatinya sambil mengangguk penuh kenikmatan. “Perfect,” gumamnya, meski dalam hati ia sudah bersumpah
Sudah delapan bulan Albert berada ke Indonesia, tapi hati Albert tetap saja terpaut pada satu nama, Aruna. Bukan sekadar terpaut, lebih tepatnya terjerat, terikat, dan tidak bisa lepas. Banyak yang heran ketika pria setajir Albert, pemilik kerajaan bisnis internasional, tiba-tiba memutuskan untuk mengurus langsung bisnis di Indonesia. Lebih banyak yang terheran, ketika tahu dia memilih tinggal di apartemen sederhana, bukannya penthouse mewah. “Pak… Anda serius mau tinggal di sini?” tanya agen properti waktu itu, nyaris berbisik, seakan takut Albert berubah pikiran. Albert hanya tersenyum tenang. “Tempatnya strategis.” Padahal “strategis” di sini artinya, pintu sebelahnya adalah unit milik Aruna. Setiap pagi, suara ketukan kaki Aruna di koridor jadi musik pengantar sarapan untuk Albert. Kadang dia pura-pura keluar pas Aruna mau berangkat, hanya untuk bilang, “Pagi, Aruna. Cantik sekali hari ini.” Kadang pura-pura kehabisan gula, padahal di dapurnya ada stok untuk satu tahun. A
Sherly masih ribut di kursi interogasi, tangannya terus bergerak dan berusaha lepas dari borgol.“Aku nggak salah! Aku cuma… menghibur! Kalian ini nggak ngerti seni pesta!” bentaknya.Pintu ruang interogasi tiba-tiba terbuka. Dua pria muda masuk dengan aura yang langsung memenuhi ruangan.Michael, dengan setelan kemeja rapi dan tatapan tenang, berdiri di samping pintu.Samuel, dengan senyum tipis yang nyaris nakal, melangkah pelan sambil menyelipkan tangan ke saku celananya. Penampilannya sangat santai. Hanya memakai kaos berkerah berwarna merah dan celana jeans. Layaknya anak remaja pada umumnya. Sherly menatap mereka, bingung.“Eh… kalian siapa? Pengacara aku, ya? Atau…” ia menyipitkan mata. “Kalian bagian dari event ini juga? Wah, totalitas sekali!”Michael hanya menghela napas, lalu duduk di kursi depan Sherly.“Event? Sherly, ini bukan pesta. Ini kenyataan.” suaranya datar tapi penuh tekanan, seolah satu kalimat saja sudah cukup untuk meruntuhkan kebodohan seseorang.Samuel dud
Lampu neon di dalam diskotik kecil itu berkelip liar, memantul di wajah para pengunjung yang sudah setengah mabuk. Di tengah kerumunan, Sherly tampak all out. Rambutnya terurai acak, dress mini berkilau perak, dan tangan memegang gelas cocktail entah keberapa. Musik EDM menghentak, tapi suara Sherly yang tertawa keras nyaris menyaingi DJ malam itu.Sayangnya, kesenangan Sherly tak berlangsung lama. Pintu diskotik tiba-tiba dibuka lebar, dan beberapa pria berseragam polisi Jepang masuk. Langkah mereka tegas, sorot matanya tajam. Semua orang langsung panik, beberapa pengunjung kabur lewat pintu belakang.Tapi Sherly? Bukannya takut, ia justru menatap mereka dengan senyum menggoda.“Oooh… permainan kostum polisi, ya?” katanya sambil mengedipkan mata. “Aduh, kalian kreatif banget sih… aku suka nih konsepnya.”Seorang polisi mendekat, berbicara cepat dalam bahasa Jepang, meminta Sherly ikut mereka. Namun Sherly justru terkikik.“Aduh, kalian tuh mau… apa, ya? Mau bikin drama roleplay gitu?
Enam bulan telah berlalu.Sherly mulai merasa hidupnya aman, seolah semua badai masa lalu telah benar-benar sirna. Tak ada lagi bayang-bayang pengintaian, tak ada lagi kecemasan akan skandal atau kejaran dendam. Kini hidupnya tanpa beban, tanpa rasa bersalah."Ternyata benar kata orang-orang, bahwa Jepang, tempat ternyaman untuk melarikan diri." Sherly berkata sambil mengusap lipstik ke bibirnya."Di sini aku hidup dengan sangat nyaman. Warga Jepang tidak sama seperti warga-warga di negara lain manapun. Di sini tidak ada yang ingin tahu tentang urusan orang lain. Jika bertemu di jalan juga tidak ada seperti orang di Indonesia yang sangat ramah menyapa dan kemudian bertanya di sini ngapain suami mana dan yah masih banyak lagi lah pertanyaan-pertanyaan bodoh yang menyebalkan." Sherly berkata dengan wajah kesal.Malam ini wanita itu berdandan dengan cantik. Tidak seperti penampilannya jika di siang hari. Sherly memakai pakaian yang sangat menggoda. Lengkuk tubuhnya tampak begitu sangat