Setelah membeli berbagai macam hadiah untuk si kembar, Albert dan Aruna langsung meluncur ke mansion keluarga Hermawan.Pintu utama dibuka oleh pelayan, memperlihatkan sosok Albert dan Aruna yang datang dengan tangan penuh—masing-masing membawa tas belanja mewah yang hampir tumpah. Di belakang mereka, dua staf butik mainan dan perlengkapan anak-anak ikut serta, membawa belasan kantong berisi kotak-kotak cantik berwarna pastel dan menggemaskan.Di ruang tamu, Mawar, Kiara, dan Eliza tengah duduk santai menikmati cemilan sore dan jus segar. Eliza, yang sedang memangku Jasmine, sontak terbelalak melihat kedatangan tamu dan bawaan mereka. Sedangkan Noah, Yura dan Aishwa, sibuk bermain di lantai. “Aruna? Tuan Albert? Ini... semua ini apa?” tanyanya terkejut.Albert tersenyum kalem, tapi sorot matanya memancarkan semangat yang tak terbendung. “Ini hadiah untuk si kembar. Aku tidak mau si galak ini terus-terusan memelototi aku gara-gara salah beli hadiah,” ujarnya sambil mengangkat alis, me
Albert dan Aruna, berada di sebuah toko perlengkapan bayi.Albert mendorong troli, sementara Aruna berjalan di sampingnya, matanya bersinar penuh semangat. Baru beberapa langkah masuk, dia sudah menunjuk ke satu set pakaian bayi berwarna soft pink dengan bordiran kupu-kupu kecil."Albert, lihat ini! Lucu banget, ya," kata Aruna, langsung meraih baju itu dan memeluknya seolah itu bayi sungguhan.Albert menoleh, menatap bajunya, lalu menatap Aruna. “Kita belum tahu mereka akan muat kapan, tapi… sepertinya kamu yang lebih senang daripada si kembar.”Aruna tertawa kecil. “Ya kan nanti juga mereka tumbuh. Gak mungkin seumur hidup pakai baju ukuran newborn.”Albert mengangguk. “Logis juga.”Beberapa menit kemudian, Aruna sudah menggantungkan tiga set baju pesta mini, satu gaun berenda warna lavender, dan dua romper dengan tulisan: “Daddy's Little Princess” and “Mommy's Trouble Maker.”Saat mereka berbelok ke rak mainan, mata Aruna kembali membesar."Mainan! Aduh, lihat boneka kelinci ini, b
Hari itu langit begitu cerah, seperti tahu bahwa akan ada banyak senyum yang mekar di sebuah sudut kecil kota di panti asuhan sederhana yang sudah bertahun-tahun berdiri tanpa banyak sorotan.Albert membuka bagasi mobilnya. Beberapa dus besar berisi perlengkapan bayi terlihat memenuhi ruang. Barang-barang itu sebenarnya hasil kesalahan pembelian. Hingga Albert memilih untuk menyumbangkannya.Namun yang membuat Aruna benar-benar tercengang bukanlah itu.Di belakang mobil Alvaro, sebuah van besar berhenti. Seorang pria turun sambil membuka pintu belakang. Aruna yang sedang membantu menyusun kardus di troli panti asuhan sontak membeku ketika melihat isi mobil itu. Ada tumpukan kardus besar dan rapi berisi pakaian anak-anak, baju remaja laki-laki dan perempuan, sepatu, tas sekolah, buku gambar, alat tulis lengkap, berkotak-kotak susu, buah segar dalam kemasan bersih, hingga mainan baru yang masih terbungkus plastik pabrik."Albert… ini semua… kamu beli?" tanya Aruna dengan suara nyaris ta
Hari itu, menjelang malam, Noah berdiri di ambang pintu kamar Nathan dan Eliza sambil memeluk bantal guling miliknya. Wajahnya tampak ragu, namun matanya jujur.“Mommy… Daddy…” panggilnya pelan.Nathan menoleh, mendekati putranya. “Ada apa, Nak?”Noah menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku... boleh tidur bareng Mommy dan Daddy malam ini? Aku pengen bareng sama adik-adik juga... sekali aja, ya?”Nathan dan Eliza saling pandang. Eliza tersenyum lembut. Ia tahu, ini bukan sekadar permintaan tidur bersama. Ini adalah permintaan dari hati seorang anak yang ingin merasa dekat, menjadi bagian dari kebahagiaan yang baru datang.“Tentu boleh, Sayang,” ujar Eliza, membentangkan selimut dan memberi ruang di tengah.Noah memanjat ranjang dengan semangat, lalu berbaring di antara mereka berdua. Di sisi kanan, Jasmine sedang tertidur di boks bayi mungil, dan di sisi kiri, Violet pun masih terlelap. Udara malam membawa aroma khas bayi, membuat suasana kamar terasa lebih hangat dari biasanya.
Nathan turun dari mobil lebih dulu. Dengan sigap, ia melangkah ke sisi lain dan membuka pintu penumpang. Senyum lembut tergambar jelas di wajahnya saat matanya bertemu dengan istrinya yang masih tampak lelah, namun tak bisa menyembunyikan sorot bahagia di mata itu.“Pelan-pelan ya, sweetheart,” ucapnya penuh kasih.Dengan sabar dan hati-hati, Nathan membantu Eliza turun dari mobil. Tangannya menahan pinggang sang istri, menyokong setiap langkah yang diambil Eliza menuju pintu rumah. Raut wajah Eliza masih menahan nyeri, namun ia tetap tersenyum, terutama ketika melihat bayang rumah yang begitu ia rindukan.Sebenarnya Nathan ingin Eliza duduk di kursi roda, tapi saran dokter berbeda. Pasien pasca operasi justru harus banyak bergerak, agar proses pemulihan berjalan lebih cepat. Maka, meskipun hatinya gelisah, Nathan tetap mengikuti saran medis.“Hati-hati, Nak, jalannya…” suara Mawar terdengar lembut, tapi penuh kecemasan. Di pelukannya, bayi perempuan bermata tajam yang disebut-sebut ‘
"Daddy..." suara Michael terdengar di ujung sana, lirih tapi jelas. "Sherly, melarikan diri."Albert membeku. Matanya menatap kosong ke depan, napasnya terasa berat. “Apa maksudmu?”"Dia kabur dari pengawasan. Kami sudah cari ke semua tempat, tapi tidak ada jejaknya. CCTV terakhir menangkap sosok wanita yang mencurigakan di Bandara Charles de Gaulle. Kemungkinan besar wanita itu menyamar. Dia naik pesawat penerbangan ke Hongkong.""Ke Hongkong?" suara Albert meninggi, refleks, tapi segera diredamnya ketika si bayi menggerak-gerakkan bibir.Aruna langsung melotot. "Jangan teriak!" bisiknya tajam.Nathan yang sedang menyupi istrinya, berhenti sejenak sambil memandang Albert.Albert mengangguk cepat. "Lanjutkan, Michael.""Kami juga sudah periksa apartemennya. Kosong. Semua dokumen penting dan sebagian barang pribadinya hilang. Dia sudah merencanakannya."Albert mengusap pelipisnya dengan jari yang masih bisa bergerak. “Bagaimana bisa kau sampai lengah seperti ini?”"Dia sangat cerdas,