Begitu tiba di depan pintu kamarnya, Aruna langsung menoleh dengan wajah penuh amarah, atau lebih tepatnya, amarah yang dibumbui rasa malu tak karuan.“Turunkan aku sekarang!” katanya keras.Albert menurut, menurunkan Aruna perlahan. Namun saat kakinya menapak lantai, Aruna tak menunggu lebih lama. Ia mencubit keras lengan Albert, tanpa ampun.“Aw! Aruna!” seru Albert sambil meringis.“Apa kamu sudah puas?!” Aruna menatapnya tajam, mata indahnya menyipit seperti kucing marah. “Dari tadi kamu sengaja banget bikin aku malu di depan semua orang!”Albert menahan tawa sambil mengusap lengannya yang memerah.“Aku belum melakukan apa-apa, bagaimana mungkin aku bisa puas?” jawabnya santai.Tapi ucapannya membuat Aruna terdiam.Wajahnya langsung memanas. Ia menatap Albert dengan tatapan waspada.“Jangan-jangan, pikiranmu udah ke mana-mana, ya?” desis Aruna pelan.Albert hanya mengangkat satu alis.“Maksudmu ke mana?” tanyanya, penuh kepura-puraan.Pikiran Aruna melayang pada pelukan tadi, pada
Jarak dari danau ke vila cukup jauh. Tapi entah mengapa, Albert tak tampak kelelahan sedikit pun. Ia melangkah mantap sambil menggendong Aruna dalam gendongan bridal style, seolah tubuh wanita itu sangat ringan seperti kapas.Aruna sendiri sudah mencoba memberontak, berulang kali.“Albert, aku bisa jalan sendiri,” bisiknya lirih.Namun pria itu hanya menoleh sekilas dengan mata teduhnya.“Diamlah. Kamu menggigil.”“Tapi, semua orang bakal lihat,” protes Aruna makin panik.“Kita habis jatuh ke danau, bukan dari surga. Biasa aja.”Biasa aja katanya?!Aruna ingin menjerit. Tapi tubuhnya masih terlalu dingin, dan entah kenapa, hatinya justru terasa hangat.Begitu kaki Albert menginjak halaman vila yang berumput hijau, suara teriakan membuyarkan keheningan.“Hai?!” seru Olivia keras, berdiri dengan tangan di pinggang. Matanya membelalak melihat pemandangan tak biasa itu.“Kalian berdua abis ngapain?!”Eliza yang duduk santai di kursi goyang di teras menutup mulut, berusaha keras menahan ta
"Albert, udaranya semakin dingin."Suara Aruna terdengar lirih, diiringi oleh getaran halus dari jemari yang mulai membeku. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menghalau dingin yang perlahan merayap hingga ke tulangnya.Selain karena hawa dingin, ia sebenarnya ingin mengajak pria itu segera kembali ke vila. Sudah entah berapa kali ia membujuk, namun jawaban Albert tetap sama."Tunggu sebentar lagi, Aku masih ingin menikmati suasana sore ini."Bukan suasana sore yang membuat pria itu nyaman, namun dekat dengan Aruna.Albert tiba-tiba membuka jaket kulit yang ia kenakan dan menyampirkannya di bahu Aruna."Pakailah ini, kamu menggigil," ucapnya pelan, tanpa menoleh.Sikap Albert membuat Aruna serba salah. Ada rasa senang, gugup, canggung, dan entah apa lagi yang mengaduk-aduk dadanya. Lelaki itu... terlalu tenang. Terlalu menawan dalam ketenangan yang ia pamerkan sore ini.Beberapa menit berlalu dalam hening. Aruna kembali mencuri pandang ke arah Albert yang saat ini tengah menatap langi
Di teras vila, Eliza duduk santai di kursi goyang. Perutnya yang besar dibelai lembut oleh Nathan, yang duduk di sampingnya. Tangan mereka saling bertaut, hangat.“Hubby sudah tidak sabar melihat dua bayi ini lahir,” bisik Nathan sambil menempelkan telinganya ke perut Eliza. “Pasti keduanya sama cantiknya seperti kamu.”Eliza tertawa kecil. “Jangan manis-manis, nanti Liza meleleh.”Nathan mencium kening istrinya dengan lembut. “Kalau kamu meleleh, hubby siap menjilat."Eliza menatap wajah suaminya, dengan bibir manyun ke depan. “Emangnya Liza eskrim?" Nathan tersenyum nakal mendengar jawaban dari istrinya. "Lebih enak dari sekedar eskrim. Eskrim hanya manis dan lembut saja. Tapi kalau kamu, ada manisnya, lembut, lengit, ada rasa gurih-gurihnya, dan aromanya juga, khas. Semakin dijilat, cairannya semakin banyak.""Hubby!" Teriak Eliza, setelah memahami arah pembicaraan suaminya."Auw, sakit sweet heart," kata Nathan sambil berusaha menahan tangan Eliza yang saat ini sedang ingin menc
Langit siang itu membentang dalam nuansa biru pucat, dihiasi awan tipis yang mengambang malas di atas danau kecil di belakang vila. Permukaan air memantulkan cahaya matahari, berkilau tenang dan jernih, menciptakan suasana yang begitu menenteramkan.“Daddy, ayo naik,” seru Olivia riang sambil menggenggam satu buah dayung. Sementara itu, Aruna sudah lebih dulu duduk tenang di atas sampan, menanti gadis kecil itu dengan senyum hangat.Mereka memang telah merencanakan momen ini—mengelilingi danau berdua, menikmati alam yang damai. Namun, sebelum Olivia sempat naik ke sampan, Albert datang menghampiri dan menawarkan diri untuk ikut.“Ya, Daddy akan naik,” ujarnya penuh semangat sebelum langsung melompat naik ke atas perahu.Olivia tersenyum jahil, lalu menyerahkan dayung di tangannya. “Ini, untuk Amora. Eh, maksudku untuk Aruna. Tiba-tiba perutku mules. Aku harus ke kamar mandi. Sepertinya aku nggak jadi ikut,” ucapnya cepat, lalu mendorong sampan hingga menjauh ke tengah danau.“Olivia!
Sementara itu, jauh dari vila, di sebuah rumah petak tua dekat terminal bus yang tersembunyi di balik pasar malam, Lina terduduk lemas, bersandar di dinding kusam. Napasnya masih terengah, tubuhnya penuh debu dan keringat. Rambutnya acak-acakan, tangannya gemetar karena dingin dan ketakutan.Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah ponsel kecil. Tak ada nama dalam daftar kontak. Hanya satu nomor asing yang disimpan tanpa label.Dengan tangan yang menggigil, Lina menekan tombol hijau.Beberapa detik kemudian, suara perempuan di seberang menyambutnya. Datar, namun penuh tekanan.“Halo?”Sherly.“Aku lolos,” jawab Lina cepat. “Tapi sepertinya mereka mulai tahu. Nathan, Albert dan Hermawan pasti akan mencari tahu dan menyelidiki masalah ini. Ini bukan masalah remeh," kata Lina. Semua jejak hanya mengarah ke Sherly. Lina memang sengaja melakukan hal ini, agar bos nya tidak ketahuan. Namun ia tidak akan mengatakan hal itu kepada wanita bodoh di seberang sana.Hening. Sunyi yang mencekam,