Pagi ini, kediaman megah keluarga Hermawan diselimuti kesibukan yang tak biasa. Para pelayan mondar-mandir, mengganti gorden dengan yang baru, mengganti alas meja dengan yang lebih anggun, dan menata bunga segar di setiap sudut ruangan. Aroma mawar dan lili bercampur dengan wangi sabun pel, menciptakan suasana rumah yang lebih hidup dari biasanya.Di dapur, para chef sibuk menyiapkan hidangan-hidangan istimewa. Bunyi pisau menghantam talenan, wajan mendesis, dan aroma rempah menyeruak ke segala penjuru. Ada suasana mendebarkan yang menggantung di udara, seolah ada sesuatu yang besar akan segera tiba.Aruna memperhatikan semua itu dengan rasa ingin tahu yang sulit dibendung. Ketika seorang pelayan lewat di depannya, ia pun bertanya pelan, “Mbak, ada acara apa ya? Kok rumahnya rame banget.”“Oh, Tuan Hermawan akan kedatangan tamu penting,” jawab sang pelayan, lalu kembali terburu-buru melanjutkan pekerjaannya.Aruna hanya mengangguk paham. Ia tak bertanya lebih jauh. Sebenarnya ia ingin
Namun Kiara justru memulai ceritanya sendiri, seolah membaca isi hati Aruna. Suaranya pelan, nyaris berbisik."Aku dulu dijodohkan Mama dengan Rudi. Awalnya aku memilih pasrah. Dan beranggapan laki-laki kaya yang suka kawin cerai. Tapi ternyata, dia lebih dari itu." Kiara menunduk, menggenggam tangannya sendiri. "Dia punya enam istri sebelumnya. Lima di antaranya meninggal."Aruna menahan napas. Ia merasakan tubuhnya menegang."Ada seorang tetangga,ibu itu sangat baik sama kakak. Dia datang diam-diam, untuk menemui aku. Dia bilang Rudi bukan manusia biasa. Dia main ilmu hitam. Ibu itu juga yang hubungi Abang Rizky. Minta tolong agar aku dibawa kabur sebelum hari pernikahan."Sejenak, taman menjadi hening. Hanya suara angin yang melintas di antara mereka."Jika waktu itu bang Rizky nggak datang, mungkin aku nggak ada di sini. Mungkin yang ada hanya nama di batu nisan."Kiara juga menceritakan bagaimana ibunya memperlakukannya. Aruna memejamkan mata. Ia merasakan benjolan emosi di ten
“By, garukin punggung Liza dong…” kata Eliza dengan suara manja, sambil mengangkat bajunya tinggi-tinggi, hingga punggung putihnya seperti bulan purnama tersaji di depan mata Nathan.Nathan yang sedang serius menonton video tentang cara menenangkan bayi langsung menoleh. Dalam hitungan detik, ia meletakkan ponsel, menutup selimutnya, dan duduk tegak seperti prajurit yang siap menerima komando.“Yang gatal sebelah mana, Jenderal?” tanyanya dengan nada bercanda, sambil mengelus punggung sang istri.“Dekat sini, By…” Eliza menunjuk dengan tangan lemah gemulai, ekspresi wajahnya seperti ratu yang meminta dilayani. “Tapi… susah dijelasin deh. Pokoknya di sekitar tulang belikat kiri, dua jari ke bawah, satu jari ke kanan.”Nathan menahan tawa. “Waduh, ini punggung apa peta harta karun?”Dia mulai menggaruk. Perlahan. Lalu agak keras.“Pas banget, By! Enak… enak banget. Tapi kiri dikit lagi, ya… Aaaahhh,” desah Eliza.Nathan mulai keringatan. Suara itu. Nada itu. Sangat tidak bersahabat bagi
Aruna mencoba bangkit dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas. Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, seorang pria berbaju putih dengan stetoskop di lehernya segera menahan bahunya dengan lembut namun tegas.“Sebaiknya Anda jangan duduk dulu,” ucap sang dokter, suaranya tenang namun penuh otoritas.“Tidak apa, Aku sudah merasa lebih baik,” ujar Aruna, memaksakan senyum, meski wajahnya sedikit pucat dan penuh bekas luka.Dokter itu menghela napas pendek, lalu menatap Aruna dengan ekspresi serius. “Salah satu tulang rusuk Anda retak, Nona. Untuk sementara, Anda tidak diperbolehkan banyak bergerak, apalagi memaksakan diri. Tubuh Anda masih dalam masa pemulihan.”Barulah rasa nyeri tajam menjalar dari dadanya, membuat Aruna mengerutkan dahi. Ia menelan ludah, kesadarannya mulai terkumpul.“Saya sekarang di mana?” tanyanya perlahan sambil melirik sekeliling ruangan.Kamar ini bukan kamar rumah sakit. Ini seperti kamar di hotel bintang lima. Tempat tidur besar dengan seprai putih
Langit malam menggantung kelabu, seperti firasat buruk yang tak kunjung pergi. Eliza duduk di tepi ranjang dengan tangan menggenggam erat, jemarinya gemetar. Hatinya berdegup kencang, seolah menanti waktu yang menggantung nyawa.“Bagaimana kalau Aruna tidak selamat?” gumamnya, nyaris tak terdengar. Matanya kosong menatap lantai, seolah berusaha mengusir gambaran buruk yang terus menghantui benaknya.Nathan mendekat, berlutut di hadapannya. "Sweetheart, kamu harus tenang," bisiknya lembut, mencoba meredam badai dalam dada istrinya. Tapi Eliza menggeleng cepat.“Bagaimana mungkin Liza bisa tenang, by? Liza dengar sendiri suara pintu didobrak, dan teriakan Aruna. Suara teriaknya bukan teriakan biasa. Itu suara seseorang yang dalam marabahaya!” Suaranya pecah. Air mata jatuh begitu saja. Eliza benar-benar takut ketika membayangkan hal buruk terjadi terhadap Aruna.Nathan menghela napas panjang. Di balik wajahnya yang tenang, ia sendiri sedang tercekik oleh rasa takut. Bagaimana jika orang
Di tempat yang sunyi dan gelap, di sudut kota yang tak tersentuh cahaya manusia, seorang perempuan terkapar dalam kesendirian. Tubuhnya bersimbah darah, napasnya tipis seperti bisikan angin malam. Pecahan kaca dari lemari plastik berserakan, menancap di lantai dan sebagian menusuk kulitnya. Ruangan itu hening, hening yang menakutkan.Pintu kamar sudah jebol. Lemari plastik yang digunakan Aruna untuk mengganjalnya tak sanggup menahan gempuran. Dan kini, tiga bayangan hitam masuk. Langkah mereka perlahan namun pasti, seperti malaikat maut yang datang tanpa suara.“Kalau dia mati, kasus ini berakhir. Tak ada lagi saksi,” kata salah satu dari mereka, suaranya datar dan dingin.Boy, pria yang selalu mengaku mencintai Aruna, namun justru menghancurkan hidup wanita tersebut. Dengan wajah tampan, ia berhasil memikat hati sang wanita. Namun lagi-lagi niatnya hanya untuk menjadikan Aruna mainan. Sama dengan wanita yang ia pacarin sebelumnya.Aruna berusaha membuka matanya. Dunia tampak berputar