Begitu banyak barang-barang yang dibeli oleh Olivia. Setelah leleh barulah mereka ke café untuk menikmati minuman dingin serta makanan lezat. Olivia terus mengajak Aruna berbicara, mulai dari hal-hal ringan, sampai cerita masa kecilnya bersama Albert.Lambat laun, ketakutan yang semula menyelimuti Aruna perlahan hilang. Ada rasa hangat yang mulai tumbuh di dalam hatinya, saat melihat betapa tulus dan apa adanya Olivia bersikap. Gadis itu bukan anak manja seperti yang ia bayangkan. Justru Olivia tampak penuh perhatian, bahkan menginginkan kebahagiaan untuk ayahnya.Setelah beberapa jam berkeliling, belanjaan mereka pun sudah cukup banyak. Olivia melirik Aruna, lalu tersenyum puas.“ksk Aruna, terimakasih sudah nemenin aku hari ini. Aku seneng banget. Daddy tuh jarang jalan-jalan sama aku. Tapi kalau sama kamu, aku jadi bisa keluar bareng,” ucap Olivia tulus.Aruna menatap gadis itu, hatinya terasa hangat. “Aku yang harus terima kasih. Kamu gadis yang baik, Olivia.”Tanpa ragu, Olivia m
Siang itu, matahari bersinar cerah. Cuaca cukup bersahabat, langit biru dengan awan putih berarak pelan.Dua mobil hitam berhenti di depan sebuah mall mewah di pusat kota. Beberapa pengawal tampak turun lebih dulu, memastikan keadaan aman sebelum akhirnya pintu mobil dibuka."Ayo kakak Aruna, aku sudah tidak sabar." Olivia berkata dengan penuh semangat. Gadis remaja itu sudah merubah panggilannya sesuai perintah Aruna. Aruna sudah mengajarkan kepadanya, bagaimana cara memanggil orang yang lebih tua, jika di Indonesia. Dengan sangat patuh, Olivia langsung menurut."Iya," jawab Aruna dengan sedikit tersenyum dan kemudian turun dari mobil. Bersyukur Albert tidak ikut, hingga membuat Aruna lebih nyaman. Jika ada Pria itu pasti membuatnya tidak leluasa.Olivia melangkah keluar lebih dulu, mengenakan gaun santai berwarna pastel yang membuat wajahnya makin segar. Aruna menyusul di belakang, dengan busana sederhana namun tetap elegan. Meski awalnya terlihat canggung, Aruna berusaha menyesuai
Pagi itu, udara di mansion Hermawan terasa lebih berat dari biasanya.Cahaya matahari yang seharusnya menghangatkan, justru terasa redup. Di balik tirai ketegangan yang menyelimuti rumah itu.Nathan duduk di ruang kerja, menatap layar komputer yang memutar ulang rekaman CCTV semalam.Di sampingnya, berdiri Teddy, anak buah kepercayaan yang sudah lama mengabdi di keluarga Hermawan.“Menurut kamu, siapa yang cukup berani mengirim orang untuk mencelakai kita?” tanya Nathan pelan, namun tajam, matanya tak lepas dari layar.Teddy menelan ludah. “Melihat cara orang itu bergerak, mereka pasti sangat mengenali seluk-beluk mansion ini, Tuan.”Deg.Jantung Nathan berdebar cepat. Kalimat itu mengingatkannya pada dugaan Eliza semalam.Apakah benar, semua ini ada kaitannya dengan Sherly?Pikirannya makin tidak tenang.Meski sulit percaya, mantan istrinya berani berbuat sejauh ini, dia tahu, Sherly bukan wanita yang waras.Bahkan dulu, Sherly tega menggugurkan kandungannya sendiri. Ia dengan senga
Suara keras dari taman belakang masih terngiang di telinga Nathan.Dengan pistol di tangan, ia melangkah cepat menuju pintu belakang.“Diam di sini, sayang,” perintahnya singkat kepada Eliza.Eliza mengangguk, wajahnya tegang. Ia tahu, malam ini tidak seperti malam biasanya.Nathan membuka pintu perlahan.Udara dingin langsung menyambut. Taman belakang yang gelap hanya diterangi cahaya rembulan.Crak!Suara ranting patah lagi. Kali ini di dekat gazebo.Nathan melangkah pelan. Matanya tajam mengawasi sekitar. Lalu dalam sekejapBayangan hitam melompat cepat ke arahnya!Bugh!Sebuah tendangan menghantam pergelangan tangannya, membuat pistol terlepas.Refleks, Nathan bergerak mundur dan memasang kuda-kuda.Di depannya, berdiri sosok berpakaian serba hitam. Wajah tertutup kain, layaknya ninja. Gerakannya lincah. Tubuhnya ringan seperti bayangan.“Siapa kau!” bentak Nathan. Namun tak ada jawaban.Sosok itu langsung menyerang lagi, cepat, nyaris tidak terlihat.Sebuah pukulan melayang ke ar
“Selama ini hal-hal seperti ini tidak pernah terjadi. Liza di sini sudah bertahun-tahun,” ucap Eliza pelan, matanya menatap lekat Nathan.Nathan mengusap pelipisnya yang terasa berdenyut. “Aku juga heran, kenapa tiba-tiba ada yang berani memantau kondisi rumah kita?”Kepalanya makin pusing. Ia benar-benar tak punya bayangan, siapa yang cukup nekat melakukan hal seperti ini?Eliza menarik napas panjang. “Menurut Liza, pelakunya sepertinya bukan sepenuhnya mengincar keluarga kita.”Dahi Nathan mengernyit. “Kalau bukan kita, siapa yang jadi target?”Nathan merenung. Orang asing di rumah ini hanya Aruna. Hidup wanita muda itu juga sangat rumit dengan permasalahan yang sangat berat. Namun kasus Aruna dan mantan kekasihnya sudah ditangani polisi. Keluarga pria itu jelas tidak akan seberani ini. Bahkan mereka tidak tak mengetahui kalau Aruna tinggal di sini.“Apakah kamu mencurigai Aruna?” tanya Nathan ragu.Eliza menggeleng. “Rasanya nggak mungkin, By. Keluarga mantan pacarnya pasti nggak b
Pintu kamar dibuka pelan, disusul derap langkah kaki yang tertahan. Nathan masuk dengan raut wajah serius. Kemejanya masih terlipat rapi di lengan, namun ada sisa ketegangan yang jelas terpahat di sudut matanya.Di atas tempat, Eliza tengah duduk bersandar di kepala ranjang. Seperti biasanya, Eliza tidak memakai pakaian apapun terkecuali celana berbentuk segitiga, dan juga sepotong kain berbentuk kacamata. Raut wajah Nathan langsung berubah ketika melihat penampilan istrinya. Meskipun sudah terbiasa melihat Eliza seperti ini, tapi tetap saja naluri laki-lakinya tidak bisa di menolak dan mengakui bahwa Eliza sangat menggoda."Bajunya mana? "Nathan bertanya dengan tersenyum. Masalah yang barusan membuat kepalanya pusing, mendadak hilang. Hanya karena melihat Eliza saja. Mungkin bagi Nathan. Eliza obat sakit kepala paling mujarab.“panas by," jawab Eliza dengan wajah cemberut."Ini ac-nya sudah sangat dingin sekali." Nathan memandang Eliza dengan mengerutkan keningnya. Dia yang baru sa