Hari itu langit begitu cerah, seperti tahu bahwa akan ada banyak senyum yang mekar di sebuah sudut kecil kota di panti asuhan sederhana yang sudah bertahun-tahun berdiri tanpa banyak sorotan.Albert membuka bagasi mobilnya. Beberapa dus besar berisi perlengkapan bayi terlihat memenuhi ruang. Barang-barang itu sebenarnya hasil kesalahan pembelian. Hingga Albert memilih untuk menyumbangkannya.Namun yang membuat Aruna benar-benar tercengang bukanlah itu.Di belakang mobil Alvaro, sebuah van besar berhenti. Seorang pria turun sambil membuka pintu belakang. Aruna yang sedang membantu menyusun kardus di troli panti asuhan sontak membeku ketika melihat isi mobil itu. Ada tumpukan kardus besar dan rapi berisi pakaian anak-anak, baju remaja laki-laki dan perempuan, sepatu, tas sekolah, buku gambar, alat tulis lengkap, berkotak-kotak susu, buah segar dalam kemasan bersih, hingga mainan baru yang masih terbungkus plastik pabrik."Albert… ini semua… kamu beli?" tanya Aruna dengan suara nyaris ta
Hari itu, menjelang malam, Noah berdiri di ambang pintu kamar Nathan dan Eliza sambil memeluk bantal guling miliknya. Wajahnya tampak ragu, namun matanya jujur.“Mommy… Daddy…” panggilnya pelan.Nathan menoleh, mendekati putranya. “Ada apa, Nak?”Noah menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku... boleh tidur bareng Mommy dan Daddy malam ini? Aku pengen bareng sama adik-adik juga... sekali aja, ya?”Nathan dan Eliza saling pandang. Eliza tersenyum lembut. Ia tahu, ini bukan sekadar permintaan tidur bersama. Ini adalah permintaan dari hati seorang anak yang ingin merasa dekat, menjadi bagian dari kebahagiaan yang baru datang.“Tentu boleh, Sayang,” ujar Eliza, membentangkan selimut dan memberi ruang di tengah.Noah memanjat ranjang dengan semangat, lalu berbaring di antara mereka berdua. Di sisi kanan, Jasmine sedang tertidur di boks bayi mungil, dan di sisi kiri, Violet pun masih terlelap. Udara malam membawa aroma khas bayi, membuat suasana kamar terasa lebih hangat dari biasanya.
Nathan turun dari mobil lebih dulu. Dengan sigap, ia melangkah ke sisi lain dan membuka pintu penumpang. Senyum lembut tergambar jelas di wajahnya saat matanya bertemu dengan istrinya yang masih tampak lelah, namun tak bisa menyembunyikan sorot bahagia di mata itu.“Pelan-pelan ya, sweetheart,” ucapnya penuh kasih.Dengan sabar dan hati-hati, Nathan membantu Eliza turun dari mobil. Tangannya menahan pinggang sang istri, menyokong setiap langkah yang diambil Eliza menuju pintu rumah. Raut wajah Eliza masih menahan nyeri, namun ia tetap tersenyum, terutama ketika melihat bayang rumah yang begitu ia rindukan.Sebenarnya Nathan ingin Eliza duduk di kursi roda, tapi saran dokter berbeda. Pasien pasca operasi justru harus banyak bergerak, agar proses pemulihan berjalan lebih cepat. Maka, meskipun hatinya gelisah, Nathan tetap mengikuti saran medis.“Hati-hati, Nak, jalannya…” suara Mawar terdengar lembut, tapi penuh kecemasan. Di pelukannya, bayi perempuan bermata tajam yang disebut-sebut ‘
"Daddy..." suara Michael terdengar di ujung sana, lirih tapi jelas. "Sherly, melarikan diri."Albert membeku. Matanya menatap kosong ke depan, napasnya terasa berat. “Apa maksudmu?”"Dia kabur dari pengawasan. Kami sudah cari ke semua tempat, tapi tidak ada jejaknya. CCTV terakhir menangkap sosok wanita yang mencurigakan di Bandara Charles de Gaulle. Kemungkinan besar wanita itu menyamar. Dia naik pesawat penerbangan ke Hongkong.""Ke Hongkong?" suara Albert meninggi, refleks, tapi segera diredamnya ketika si bayi menggerak-gerakkan bibir.Aruna langsung melotot. "Jangan teriak!" bisiknya tajam.Nathan yang sedang menyupi istrinya, berhenti sejenak sambil memandang Albert.Albert mengangguk cepat. "Lanjutkan, Michael.""Kami juga sudah periksa apartemennya. Kosong. Semua dokumen penting dan sebagian barang pribadinya hilang. Dia sudah merencanakannya."Albert mengusap pelipisnya dengan jari yang masih bisa bergerak. “Bagaimana bisa kau sampai lengah seperti ini?”"Dia sangat cerdas,
“Sesuai dugaan Anda, wanita itu telah melarikan diri.”Suara dari seberang terdengar tenang, terlalu tenang untuk sebuah informasi yang seharusnya mengguncang. Seolah kabar itu hanyalah hal remeh dalam agenda harian.“Ha… ha… Tikus got itu ternyata masih ingin bermain-main. Ternyata dia masih berjuang untuk melarikan diri.”Pria yang menerima laporan itu justru tertawa terbahak, seperti mendengar lelucon yang begitu menggelitik perutnya. Tak ada rasa gentar, hanya kepuasan aneh dalam tawa itu.“Lalu apa yang harus saya lakukan? Anda sempat mengatakan untuk membiarkan kepolisian yang menangani. Tapi wanita itu berhasil mengecoh mereka dengan mudah. Sekarang, apakah saya harus mulai bertindak?”“Di mana dia sekarang?”Nada suara pria itu tetap tenang, namun ia mulai memutar kursinya perlahan, seperti tengah berpikir... atau menikmati sebuah permainan yang belum selesai.“Saat ini dia berada di Jepang. Wanita itu memilih tempat yang cukup terpencil untuk bersembunyi, lokasi yang tidak mu
Sherly masih bersembunyi di sebuah apartemen kecil di sudut Paris. Bayang-bayang kejatuhan mulai membayanginya, dan satu per satu, semuanya runtuh.Video-video pemerasan yang selama ini ia simpan sebagai senjata, kini justru berbalik menyerang. Bocor. Menyebar ke tangan jurnalis investigasi. Lalu disusul data transaksi mencurigakan—jumlah besar uang mengalir ke rekening anonim di luar negeri.Otoritas keuangan Eropa tak tinggal diam. Nama Sherly masuk dalam daftar “High Risk Individual”. Rekening-rekening bank-nya dibekukan. Semua kerja sama bisnis mulai ditangguhkan. Rumah-rumah mode papan atas yang dulu bersaing memperebutkan dirinya, kini mencabut kontrak secara resmi dan terang-terangan menyebut namanya dalam daftar hitam.Sherly panik. Setiap langkahnya terasa seperti berjalan di atas kaca yang mudah pecah. Namun bersyukur, ia sudah mengamankan uangnya ke rekening Asia tenggara. Rekening bank yang satu ini, tidak diketahui oleh siapapun. Rekening ini juga milik ibunya yang sudah