Albert sangat menikmati detik-detik bersama dengan Aruna. Albert menggulung lengan bajunya, berdiri di dapur kecil Aruna. “Aku cuci sayurnya, kamu potong bumbunya, ya,” katanya sambil membawa baskom berisi cabai, bawang, dan sayur segar ke bak cuci.Aruna melirik sekilas. “Kamu yakin bisa?” tanyanya, nada suaranya setengah menggoda.Albert terkekeh pelan. “Kalau untuk kamu, aku bisa apa saja.”Aruna pura-pura tidak menanggapi, tapi sudut bibirnya terangkat. Ia mengambil pisau, mulai mengiris bawang merah. Albert, yang sedang mencuci sayur, diam-diam memperhatikannya. Setiap kali Aruna menunduk, rambutnya yang lembut jatuh menutupi wajah, membuatnya terlihat semakin manis.“Baunya harum banget,” ujar Albert sambil menghirup aroma bawang yang sedang ditumis.“Itu bawang, bukan aku,” jawab Aruna cepat, tapi pipinya memerah.Albert tersenyum nakal, lalu berpura-pura sibuk meniriskan sayur. Sesekali, tangan mereka bersentuhan saat memindahkan bahan-bahan, dan setiap kali itu terjadi, kedu
Udara di penjara perempuan Jepang itu menusuk tulang. Bukan hanya dingin yang merayap dari lantai beton lembab, tapi juga dingin yang memancar dari tatapan para narapidana. Tatapan yang diam-diam menguliti keberanian Sherly sedikit demi sedikit. Matahari siang memang masih tinggi, tapi di dalam sini, cahaya hanya menjadi hiasan yang tak mampu mengusir kelam.Langkah Sherly terdengar ragu ketika melewati lorong sempit. Sudut-sudut penjara seperti memiliki mata sendiri, mengintainya dari kegelapan. Ia terbiasa hidup dalam kemewahan, diapit bodyguard, dilindungi oleh tembok kaca dan mobil mahal. Tapi di sini, kemewahan itu tak ada artinya. Yang ada hanyalah rasa takut yang menggerogoti napas.Rambutnya tiba-tiba ditarik keras ke belakang."Aah… sakit!" jerit Sherly, napasnya terputus."Hai… wanita binal," suara berat terdengar di belakangnya. Aroma rokok basi bercampur keringat menyusup ke hidungnya.Sherly berusaha menoleh, tapi cengkraman di rambutnya terlalu kuat. Wajahnya pucat, kaki
Nathan baru saja memarkir mobil di garasi. Jam kerja yang panjang membuat pundaknya terasa berat, tapi semua lelah itu seperti menguap begitu ia membayangkan wajah dua putri kecilnya. Senyum tipis terbit di bibir seorang ayah yang rindu dengan anak-anaknya.Begitu pintu rumah dibuka, suara tawa kecil langsung menyergapnya. Nathan tidak ke kamar. Langkahnya justru lebar dan cepat menuju ruang keluarga.Pemandangan pertama yang ia lihat membuat hatinya luluh seketika. Di atas karpet empuk, dua bayi perempuannya sedang merangkak saling berhadapan, sama-sama menatap satu mainan berbentuk kelinci merah muda.“Daddy!” panggil Eliza yang duduk bersila di lantai. Ia tersenyum melihat suaminya datang. Tapi Nathan nyaris tak menjawab, matanya sudah terpaku pada dua gadis kecil itu.Kedua pipi tembam itu memerah, rambut halus menempel di dahi karena keringat. Violet menarik satu telinga kelinci, sementara Jasmin mencengkeram kaki kelinci sekuat tenaga.“Hei… hei… kalian lagi musyawarah atau ma
Aruna diam, tapi matanya sempat menangkap senyum tipis di bibir Albert, senyum yang anehnya membuat dadanya terasa hangat.Lalu, dengan percaya diri, Albert melangkah masuk ke gedung sambil menyandangkan tas ransel laptop di punggungnya. Adegan itu sukses membuat beberapa pegawai tercengang. Sementara yang lain malah makin penasaran siapa wanita muda yang membonceng bos mereka pagi ini.Albert melangkah ringan menuju lift. Begitu pintu lift terbuka ia masuk ke dalam. Didalam lift hanya ia sendiri, karena ini memang lift khusus untuk pemilik perusahaan serta orang-orang penting. Albert menatap pantulan dirinya di cermin lift. Kemeja rapi, jas hitam, dan senyum yang masih mengembangkan di bibirnya. Gadis kecil, mana mungkin bisa menang melawan suhu," katanya dengan bahasa Indonesia yang belepotan.Di lantai teratas, sekretaris pribadinya sempat menatap heran.“Tuan Albert," sapa nya sambil melihat Albert yang sedang merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.Albert hanya melirik sek
Pagi itu udara Jakarta masih terasa sejuk, sinar matahari belum terlalu terik. Dari balik pintu kamarnya, Albert sudah siap dengan kemeja rapi dan aroma parfum maskulin yang samar-samar menguar. Pria itu sudah memakai jas berwarna hitam pekat, dan sepatu pantofel. Ia memegang secangkir kopi panas, berjalan santai ke ruang tamu. Tepat saat itu, terdengar suara engsel pintu Aruna berderit pelan. Albert spontan menoleh, wajahnya seolah-olah baru saja terkejut menemukan sosok Aruna yang baru keluar. Padahal, diam-diam ia sudah menunggu sejak sepuluh menit lalu. “Pagi,” sapa Albert, menaikkan alis sambil mengangkat cangkirnya. “Kebetulan sekali, kita sarapan bareng.” Aruna melirik cangkirnya, lalu memicingkan mata. “Ini kopi, bukan sarapan.” Albert tersenyum santai dan menyeruputnya. Tapi seketika itu juga, pahit yang menusuk lidah membuatnya hampir batuk. Ia menahan diri, pura-pura menikmatinya sambil mengangguk penuh kenikmatan. “Perfect,” gumamnya, meski dalam hati ia sudah bersumpah
Sudah delapan bulan Albert berada ke Indonesia, tapi hati Albert tetap saja terpaut pada satu nama, Aruna. Bukan sekadar terpaut, lebih tepatnya terjerat, terikat, dan tidak bisa lepas. Banyak yang heran ketika pria setajir Albert, pemilik kerajaan bisnis internasional, tiba-tiba memutuskan untuk mengurus langsung bisnis di Indonesia. Lebih banyak yang terheran, ketika tahu dia memilih tinggal di apartemen sederhana, bukannya penthouse mewah. “Pak… Anda serius mau tinggal di sini?” tanya agen properti waktu itu, nyaris berbisik, seakan takut Albert berubah pikiran. Albert hanya tersenyum tenang. “Tempatnya strategis.” Padahal “strategis” di sini artinya, pintu sebelahnya adalah unit milik Aruna. Setiap pagi, suara ketukan kaki Aruna di koridor jadi musik pengantar sarapan untuk Albert. Kadang dia pura-pura keluar pas Aruna mau berangkat, hanya untuk bilang, “Pagi, Aruna. Cantik sekali hari ini.” Kadang pura-pura kehabisan gula, padahal di dapurnya ada stok untuk satu tahun. A