"Tentu saja rumah sakit ini sangat menerima donor ASI, kalau mbak ingin donor ASI langsung ke ruang perawatan bayi saja di lantai 4."
Eliza tersenyum. "Baik mbak, terima kasih."Setelah administrasi selesai, ia pun pergi ke lantai 4 sesuai arahan dari wanita yang duduk di kasir tersebut.
Eliza tahu di mana ruang perawatan bayi karena memang Ibnu lahir di sini. Setelah lahir, Ibnu sempat dimasukkan ke box inkubator karena sudah terlalu banyak minum air ketuban. Bahkan bayi Ibnu lahir dengan kondisi bibir biru dan tidak menangis.Jadi, Eliza selalu berkunjung ke ruang bayi sambil mengantarkan ASI untuk anaknya.
Rumah sakit ini sungguh bersejarah.Tempat anaknya dilahirkan dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Dada Eliza seketika merasa sesak kala mengingat itu.
Untungnya, dia sudah tiba di ruangan yang dimaksud.
Jadi, Eliza berusaha tegar--membuka pintu dan melihat tiga perawat di ruang bayi. "Permisi sus."
"Ya dek, ada apa?" tanya perawat yang sedang berjaga di ruang bayi.Memang, penampilan Eliza masih seperti remaja.
Tidak akan ada yang menyangka bahwa dia pernah melahirkan.
"Saya ingin donor ASI," kata Eliza pada akhirnya. "Boleh, silahkan masuk." Perawat itu tersenyum memandang Eliza yang akhirnya masuk ke dalam ruangan yang diisi banyak bayi.Di dalam ruangan ini, Eliza dapat mendengar suara tangis bayi.
Hanya saja, tangisannya begitu mirip dengan tangisan Ibnu.
Mata Eliza memanas. Dia hampir menangis kalau saja seorang perawat tak menegurnya. "Mau donor ASI, Mbak?"
Eliza menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Iya," jawabnya.
"Kebetulan sekali di sini ada bayi yang sangat membutuhkan ASI. Bayinya lahir prematur dan tidak bisa dikasih susu formula," jelas si perawat.
"Oh yang mana sus anaknya?" tanya Eliza. Dia ingin tahu anak yang akan menjadi anak susunya nanti. "Ini," jawab si perawat sambil menunjukkan box bayi yang tadi dilihat oleh Eliza. "Lahir beratnya 1 kilo 2 ons. Sudah 1 minggu ini beratnya tetap tidak bertambah. Ibunya juga belum pernah datang ke sini untuk melihat. Biasanya yang datang hanya ayah dan neneknya."Perawat itu menjelaskan secara singkat.
Eliza sendiri masih memandang bayi yang menangis itu.Tanpa sadar, dia tersenyum kemudian dia memasukkan jarinya di celah kecil yang ada di dinding box. Senyum mengembang di bibirnya ketika menyentuh pipi bayi bertubuh sangat kecil tersebut.
Bayi yang tadi tidur kini membuka matanya dan melihat Eliza. "Halo, apa kabar, nama aku Eliza." Eliza tersenyum memperkenalkan dirinya. Bayi itu memandangnya dengan membulatkan bibirnya yang kecil. "Ibu doakan agar berat badan kamu cepat naik, terus bisa keluar dari box ini. Bisa lihat matahari di saat pagi hari. Sinar matahari sangat bagus untuk bayi yang baru lahir." Eliza tersenyum sambil bercerita dengan si anak. Bayi yang hanya memakai pampes itu terus saja memandang Eliza. "Maaf, ini ASI siapa yang punya?" tanya si perawat tiba-tiba.Rasanya, tidak mungkin jika ASI itu melik gadis yang berdiri di depannya?
Hanya saja, jawaban Eliza membuat perawat itu terkejut. "Ini ASI saya, sus."
"ASI kamu?" Bukan hanya perawat yang berbicara dengan Eliza saja yang memandang, namun kedua perawat lain juga memandang Eliza. "Iya," jawab Eliza. "Kok bisa punya ASI?" tanya perawat yang satunya lagi. "Saya sudah menikah dan memiliki anak," jawab Eliza yang bingung dengan pertanyaan si perawat. "Oh kamu sudah menikah, kami kirain masih sekolah," kata si perawat yang lainnya. Eliza hanya tersenyum mendengar perkataan si perawat. "Ini sus, ASI nya." Eliza meletakkan tas ASI ke atas meja. Dia kemudian mengeluarkan kantong berisi ASI dari dalam tas. "Ini tanggal dan jamnya sudah di buat ya." Perawat melihat tanggal yang tertera di kantong ASI. "Iya, ini ASI nya saya simpan di freezer, karena waktu memompa ASI, saya gak tahu mau dikasih ke siapa." Eliza menunjukkan 8 kantong ASI yang dalam keadaan beku. "Wah asinya banyak sekali mbak," kata si perawat. Eliza hanya tersenyum mendengar ucapan si perawat. "Anaknya mbak bagaimana, jika asinya didonorkan seperti ini?" "Anak saya baru meninggal 1 minggu yang lalu karena itu saya pompa asi karena kebetulan ASI saya sangat banyak."Seketika ruangan itu hening.
"Oh maaf ya Mbak yang sabar," kata si perawat merasa kasihan Eliza menganggukkan kepalanya. "Oh, iya. Beberapa hari lalu, saya sakit flu dan saya minum obat. Saya sudah tulis nama obatnya. Selain itu, saya tidak punya penyakit menular ataupun penyakit bawaan. Insya Allah saya sehat."Dia menunjukkan beberapa kantong ASI yang diberi keterangan obat yang di konsumsi.
"Jika ASI yang ini tidak bisa diberikan untuk bayi, buang saja," ucapnya lagi Sang perawat mengangguk. "Baik, Mbak. Kami akan konsultasikan dulu dengan dokter anaknya, apakah ASI boleh diberikan ke bayi atau tidak? Tapi biasanya selama ini tidak masalah, meskipun ibunya mengkonsumsi obat parasetamol," jawabnya.Eliza tersenyum. "Baiklah kalau begitu saya permisi."
"Iya mbak," jawab si perawat. Eliza lantas kembali melangkahkan kakinya ke arah box bayi yang akan menjadi anak susunya.Dia tersenyum memandang bayi tersebut.
Eliza memasukkan jarinya di celah dinding box dan menyentuh jarinya. "Hai nak, ibu pamit pulang dulu."
*** Nathan sendiri datang ke rumah sakit untuk melihat kondisi putranya.
Dari pagi hingga sore, dia menghabiskan waktu untuk mencari pendonor ASI.
Namun, hasilnya sangat mengecewakan. Bahkan pria itu hampir putus asa dan tidak tahu harus mencari kemana.
"Selamat sore, Mas Nathan," sapa perawat yang bertugas diruang perawatan bayi.
Nathan hanya sedikit menganggukkan kepalanya. "Saya belum menemukan pendonor ASI untuk bayi saya," ucapnya memerhatikan bayi mungilnya yang sedang tertidur.
Anehnya, putranya itu tampak sangat anteng sekali.
Sang perawat tersenyum. "Tidak apa-apa mas, kebetulan tadi siang ada seorang ibu yang mendonorkan ASI nya ke sini. Kami mengatakan kepada ibu itu, ASI yang diberikannya untuk anak mas Nathan."
Mendengar itu, mata Nathan terbuka lebar. "Apa itu benar?"
Drone berhenti dengan sangat pelan tepat di depan mobil hitam yang sudah terparkir di balik deretan pohon pinus, sekitar dua kilometer dari vila.Udara malam terasa menusuk tulang, tapi hanya satu orang yang tampak benar-benar kesal: Samuel.Ia memandang Michael dengan dahi berkerut. “Seharusnya drone tidak perlu terbang sejauh ini,” gerutunya. “Aku hampir kehilangan sinyal!”Michael hanya tersenyum lebar, turun dengan tenang. Setelah itu ia menundukkan tubuhnya, agar Yura bisa turun dengan mudah.“Alatmu ini masih dalam tahap uji coba, kan? Jadi anggap saja aku berbaik hati jadi kelinci percobaannya,” ucapnya santai sambil menepuk bahu Samuel.Samuel memutar bola matanya. “Kelinci percobaan tidak biasanya berciuman di udara, Michael.”Yura menunduk, wajahnya memerah. “Aku juga bilang begitu… tidak perlu sejauh ini,” katanya pelan, masih berusaha mengatur napas setelah udara dingin di ketinggian. Nafasnya naik-turun cepat, dan wajahnya tampak pucat.“Calon suamimu yang ingin terbang l
Michael menegang. Leonard muncul dari pintu kamar Yura, berjalan tenang, tangan santai. Di belakangnya, dua figur tegap muncul, wajah mereka datar, senjata terjaga.Leonard tersenyum miring, menepuk bahu seorang anak buahnya. “Mereka berani itu yang membuatnya menarik.”Leonard memang terkenal rada gila dan suka bermain-main. Namun hal ini yang membuat Michael kesal.Michael melangkah menghalangi tubuh Yura. Matanya redup seperti bara. “Turunkan senjatamu, Leo. Kita bisa selesaikan ini tanpa darah.”Leonard mencondongkan badan, matanya menyapu ruangan. “Kau selalu optimis. Tapi begitu kau bergerak, kau kehilangan hal-hal yang paling kau sayangi.” Ia melambaikan tangan ke arah petugasnya. “Ambil mereka.”Michael tersenyum samar. Ia berbisik kepada Yura. "Naik ke atas punggung ku."Yura sangat takut, namun tetap saja menurut. Ia naik ke atas punggung Michael yang membungkuk. "Sialan, kau ingin pamer kemesraan?" Leonard berkata dengan kesal. Di saat seperti ini, Michael masih saja menge
Kabut di sekitar villa semakin tebal. Meskipun sudah memakai jaket kulit, namun wajah serta telapak tangan tetap saja terasa sangat dingin. Michael dan Samuel bergerak cepat, tubuh mereka nyaris menyatu dengan bayangan pohon-pohon pinus.Setiap langkah terasa seperti perjudian antara hidup dan mati.Hanya suara gesekan sepatu dengan tanah dan hembusan napas mereka yang terdengar samar.Samuel menatap layar kecil di pergelangan tangannya. Garis-garis biru bergerak halus, peta hidup dari seluruh penjaga yang berpatroli di area vila.“Empat orang di sisi timur, dua di balkon atas, satu di dekat generator,” bisiknya pelan.“Kalau kita melangkah sepuluh meter lagi, mereka bisa mendengar detak jantungmu.”Michael menoleh singkat, ekspresinya dingin tapi tegang. “Aku tidak akan membiarkan mereka mendengarnya.”Dalam sekejap, ia mengeluarkan pisau hitam kecil dari dalam saku rompinya, senjata tanpa pantulan cahaya, tajam dan senyap.Langkah-langkah mereka berhenti tepat di balik pagar kawat.
Suara roda pesawat yang menyentuh landasan terdengar berat dan panjang. Lampu-lampu landasan memantul di jendela kabin, menandai bahwa pesawat baru saja mendarat di Bandara Internasional Kertajati, Majalengka. Michael melepas sabuk pengamannya bahkan sebelum pesawat benar-benar berhenti. Sementara di kursi seberangnya, Samuel masih memantau layar hologram kecil di tangannya, menampilkan peta tiga dimensi kota Bandung, dengan beberapa titik berwarna merah yang berkedip. “Aku sudah aktifkan sistem pelacak dari jaringan lokal,” ucap Samuel cepat, suaranya rendah tapi tegas. “Sinyal dari alat pengaman di anting Yura masih stabil. Tapi tekanan nadinya meningkat hampir dua kali lipat dari normal. Dia tidak tidur.” Michael mengerutkan kening. Jemarinya mengepal kuat di atas lutut. “Sudah hampir tengah malam di sana… dia pasti ketakutan.” Tanpa menunggu instruksi apa pun, Michael berdiri dan mengambil jaket hitamnya. Langkahnya cepat, tajam, seperti pria yang tahu waktu tak b
Hening. Begitu pintu kamar tertutup, suara derit kecil dari engsel membuat bulu kuduk Yura meremang. Leonard berdiri di ambang pintu, punggungnya bersandar santai pada kusen kayu, tatapannya menelusuri wajah Yura dengan pandangan yang sulit ditebak. Senyum miring terlukis di bibirnya. “Ternyata selera si Michael itu… sangat bagus,” ucapnya dalam bahasa Inggris yang terdengar halus namun dingin. “Pantas saja dia tidak pernah tertarik pada wanita manapun. Rupanya dia sudah memiliki gadis secantik kau.” Yura hanya diam. Tatapannya menatap lurus ke arah pria itu, mencoba menyembunyikan ketakutan yang perlahan merayap di dadanya. Leonard berjalan beberapa langkah mendekat, suaranya tetap tenang. “Apa kau tahu, Yura? Ada begitu banyak wanita yang menginginkan Michael. Mereka rela melakukan apa saja… bahkan menghancurkan diri sendiri hanya untuk menarik perhatiannya.” Nada bicaranya seperti seseorang yang sedang bercerita, bukan mengancam. Namun di balik kelembutan suaranya, ada ha
Angin di luar villa berhembus lembut.Yura berdiri di dekat jendela, memandang ke luar. Dua pria berseragam hitam tampak berjaga di halaman depan, tapi anehnya… mereka tidak terlihat seperti penjaga. Lebih seperti pengamat.Mengapa penjagaannya tidak seketat yang kubayangkan? batinnya bertanya.Ia melangkah perlahan ke meja kecil di sudut ruangan, mengambil cangkir teh yang sudah dingin. Dalam ketenangan itu, dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menatapnya dari kejauhan.Lalu… suara kecil terdengar.Bukan dari arah pintu, bukan dari luar. Tapi dari telinganya sendiri.“Yura, ini aku… Samuel.”Yura terhenti. Matanya membulat, napas tercekat. Ia menatap ke kanan–ke arah anting kecil berbentuk bunga yang menempel di telinganya.“Coba jangan bicara,” suara itu terdengar lagi, tegas namun terkendali. “Di dalam kamarmu ada CCTV tersembunyi. Jangan menunjukkan reaksi apapun. Pura-pura saja sedang menikmati teh. Kau sedang dipantau, jadi jangan bertindak mencurigakan.”Degup jantung