"Tentu saja rumah sakit ini sangat menerima donor ASI, kalau mbak ingin donor ASI langsung ke ruang perawatan bayi saja di lantai 4."
Eliza tersenyum. "Baik mbak, terima kasih."Setelah administrasi selesai, ia pun pergi ke lantai 4 sesuai arahan dari wanita yang duduk di kasir tersebut.
Eliza tahu di mana ruang perawatan bayi karena memang Ibnu lahir di sini. Setelah lahir, Ibnu sempat dimasukkan ke box inkubator karena sudah terlalu banyak minum air ketuban. Bahkan bayi Ibnu lahir dengan kondisi bibir biru dan tidak menangis.Jadi, Eliza selalu berkunjung ke ruang bayi sambil mengantarkan ASI untuk anaknya.
Rumah sakit ini sungguh bersejarah.Tempat anaknya dilahirkan dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Dada Eliza seketika merasa sesak kala mengingat itu.
Untungnya, dia sudah tiba di ruangan yang dimaksud.
Jadi, Eliza berusaha tegar--membuka pintu dan melihat tiga perawat di ruang bayi. "Permisi sus."
"Ya dek, ada apa?" tanya perawat yang sedang berjaga di ruang bayi.Memang, penampilan Eliza masih seperti remaja.
Tidak akan ada yang menyangka bahwa dia pernah melahirkan.
"Saya ingin donor ASI," kata Eliza pada akhirnya. "Boleh, silahkan masuk." Perawat itu tersenyum memandang Eliza yang akhirnya masuk ke dalam ruangan yang diisi banyak bayi.Di dalam ruangan ini, Eliza dapat mendengar suara tangis bayi.
Hanya saja, tangisannya begitu mirip dengan tangisan Ibnu.
Mata Eliza memanas. Dia hampir menangis kalau saja seorang perawat tak menegurnya. "Mau donor ASI, Mbak?"
Eliza menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Iya," jawabnya.
"Kebetulan sekali di sini ada bayi yang sangat membutuhkan ASI. Bayinya lahir prematur dan tidak bisa dikasih susu formula," jelas si perawat.
"Oh yang mana sus anaknya?" tanya Eliza. Dia ingin tahu anak yang akan menjadi anak susunya nanti. "Ini," jawab si perawat sambil menunjukkan box bayi yang tadi dilihat oleh Eliza. "Lahir beratnya 1 kilo 2 ons. Sudah 1 minggu ini beratnya tetap tidak bertambah. Ibunya juga belum pernah datang ke sini untuk melihat. Biasanya yang datang hanya ayah dan neneknya."Perawat itu menjelaskan secara singkat.
Eliza sendiri masih memandang bayi yang menangis itu.Tanpa sadar, dia tersenyum kemudian dia memasukkan jarinya di celah kecil yang ada di dinding box. Senyum mengembang di bibirnya ketika menyentuh pipi bayi bertubuh sangat kecil tersebut.
Bayi yang tadi tidur kini membuka matanya dan melihat Eliza. "Halo, apa kabar, nama aku Eliza." Eliza tersenyum memperkenalkan dirinya. Bayi itu memandangnya dengan membulatkan bibirnya yang kecil. "Ibu doakan agar berat badan kamu cepat naik, terus bisa keluar dari box ini. Bisa lihat matahari di saat pagi hari. Sinar matahari sangat bagus untuk bayi yang baru lahir." Eliza tersenyum sambil bercerita dengan si anak. Bayi yang hanya memakai pampes itu terus saja memandang Eliza. "Maaf, ini ASI siapa yang punya?" tanya si perawat tiba-tiba.Rasanya, tidak mungkin jika ASI itu melik gadis yang berdiri di depannya?
Hanya saja, jawaban Eliza membuat perawat itu terkejut. "Ini ASI saya, sus."
"ASI kamu?" Bukan hanya perawat yang berbicara dengan Eliza saja yang memandang, namun kedua perawat lain juga memandang Eliza. "Iya," jawab Eliza. "Kok bisa punya ASI?" tanya perawat yang satunya lagi. "Saya sudah menikah dan memiliki anak," jawab Eliza yang bingung dengan pertanyaan si perawat. "Oh kamu sudah menikah, kami kirain masih sekolah," kata si perawat yang lainnya. Eliza hanya tersenyum mendengar perkataan si perawat. "Ini sus, ASI nya." Eliza meletakkan tas ASI ke atas meja. Dia kemudian mengeluarkan kantong berisi ASI dari dalam tas. "Ini tanggal dan jamnya sudah di buat ya." Perawat melihat tanggal yang tertera di kantong ASI. "Iya, ini ASI nya saya simpan di freezer, karena waktu memompa ASI, saya gak tahu mau dikasih ke siapa." Eliza menunjukkan 8 kantong ASI yang dalam keadaan beku. "Wah asinya banyak sekali mbak," kata si perawat. Eliza hanya tersenyum mendengar ucapan si perawat. "Anaknya mbak bagaimana, jika asinya didonorkan seperti ini?" "Anak saya baru meninggal 1 minggu yang lalu karena itu saya pompa asi karena kebetulan ASI saya sangat banyak."Seketika ruangan itu hening.
"Oh maaf ya Mbak yang sabar," kata si perawat merasa kasihan Eliza menganggukkan kepalanya. "Oh, iya. Beberapa hari lalu, saya sakit flu dan saya minum obat. Saya sudah tulis nama obatnya. Selain itu, saya tidak punya penyakit menular ataupun penyakit bawaan. Insya Allah saya sehat."Dia menunjukkan beberapa kantong ASI yang diberi keterangan obat yang di konsumsi.
"Jika ASI yang ini tidak bisa diberikan untuk bayi, buang saja," ucapnya lagi Sang perawat mengangguk. "Baik, Mbak. Kami akan konsultasikan dulu dengan dokter anaknya, apakah ASI boleh diberikan ke bayi atau tidak? Tapi biasanya selama ini tidak masalah, meskipun ibunya mengkonsumsi obat parasetamol," jawabnya.Eliza tersenyum. "Baiklah kalau begitu saya permisi."
"Iya mbak," jawab si perawat. Eliza lantas kembali melangkahkan kakinya ke arah box bayi yang akan menjadi anak susunya.Dia tersenyum memandang bayi tersebut.
Eliza memasukkan jarinya di celah dinding box dan menyentuh jarinya. "Hai nak, ibu pamit pulang dulu."
*** Nathan sendiri datang ke rumah sakit untuk melihat kondisi putranya.
Dari pagi hingga sore, dia menghabiskan waktu untuk mencari pendonor ASI.
Namun, hasilnya sangat mengecewakan. Bahkan pria itu hampir putus asa dan tidak tahu harus mencari kemana.
"Selamat sore, Mas Nathan," sapa perawat yang bertugas diruang perawatan bayi.
Nathan hanya sedikit menganggukkan kepalanya. "Saya belum menemukan pendonor ASI untuk bayi saya," ucapnya memerhatikan bayi mungilnya yang sedang tertidur.
Anehnya, putranya itu tampak sangat anteng sekali.
Sang perawat tersenyum. "Tidak apa-apa mas, kebetulan tadi siang ada seorang ibu yang mendonorkan ASI nya ke sini. Kami mengatakan kepada ibu itu, ASI yang diberikannya untuk anak mas Nathan."
Mendengar itu, mata Nathan terbuka lebar. "Apa itu benar?"
Perawat itu diam selama beberapa detik ketika melihat senyum menawan pria satu anak tersebut. "Iya mas," jawabnya kemudian. Sudah satu minggu ini selalu bertemu dengan Nathan. Namun baru kali ini perawat itu melihat senyum di wajah tampan pria itu. "Asinya juga sangat banyak mas, jadi ini cukup untuk satu minggu ke depan." "Apa ibu itu mau menjadi pendonor tetap untuk anak saya?" "Saya belum tahu mas," jawab si perawat. "Apa saya bisa menghubungi ibu itu." Nathan sangat senang, karena dia tidak perlu susah-susah untuk mencari pendonor ASI. "Maaf mas, saya juga lupa tadi meminta nomor handphone," sesal si perawat. "Apa ibu itu meninggalkan alamat, agar saya bisa datangi ke rumahnya." Tanya dengan penuh semangat. "Maaf mas, alamatnya juga tidak ada." Nathan mendengus kesal. Dia berharap wanita yang memberikan ASI untuk anaknya bisa segera dihubungi namun ternyata tidak. "Kalau saya boleh tahu nama yang mendonorkan ASI untuk anak saya?" tanyanya dengan begitu pena
Bagi semua orang, kuburan merupakan tempat yang paling menakutkan, namun tidak untuk Eliza. Wanita muda itu terlihat nyaman duduk di depan kuburan anaknya. Air mata mengalir dengan deras seakan tidak ada keringnya. Bahkan mata yang biasanya bulat dan besar, kini sudah terlihat sangat kecil dan sembab. "Nak, ibu mau cari kerjaan, biar gak suntuk di rumah. Ibu mau cari uang untuk beli kambing akikah, Ibnu. Soalnya ibu dah janji, untuk beli 2 kambing. Ibu juga akan membuatkan batu nisan yang cantik." Eliza memeluk tumpukan tanah kuburan anaknya dan berharap bisa melepaskan rasa rindu yang menyesakkan dada. Mau bagaimanapun orang mengatakan harus ikhlas, namun tetap Eliza belum bisa mengikhlaskan anaknya. "Nak, ibu pamit pulang ya soalnya sudah sore. Maafkan ibu yang tidak bisa meluk Ibnu. Andaikan waktu bisa di putar kembali, pagi itu ibu akan langsung bawa Ibnu ke rumah sakit. Agar Ibnu bisa langsung di rawat." Eliza mengusap papan nama anaknya dan kemudian memeluk papan itu cukup l
Sudah 10 hari, namun rasa sakit di kakinya tidak juga hilang, hingga Eliza kesulitan berjalan. "Eliza," panggil seorang pria.Eliza tidak yakin ketika mendengar ada yang memanggil namanya. Namun tetap saja dia menghentikan langkah kakinya serta menoleh ke belakang."Hai, bagaimana kabar kamu?" Tanya pria dengan gaya sok akrabnya. "Baik," jawab Eliza yang sedikit tersenyum."Masih ingat dengan saya?" Dokter berwajah manis itu tersenyum ramah dan bertanya. "Dokter," jawab Eliza. Meskipun malam itu kondisinya sangat buruk, namun Eliza tidak bisa melupakan sang dokter yang sudah berusaha menyelesaikan anaknya. "Iya, saya dokter Rizki, senang bisa berjumpa dengan kamu lagi. Bagaimana kondisi kaki kamu?" Dokter itu bertanya dan memandang kaki Eliza.Saat Eliza lewat di depannya, dia sangat mengingat wanita muda tersebut. Rizki memanggil Eliza karena dia melihat wanita itu berjalan sambil menyeret kakinya."Masih sakit dok, mungkin sebentar lagi sehat." Eliza tersenyum dan memandang ke a
Apa suntik mati katanya? Dokter Rizki tercengang ketika mendengar permintaan Elisa. "Saya takut suntik tapi kalau yang dikasih suntik mati, saya nggak takut." Eliza berkata dengan putus asa."Saya mengerti perasaan kamu, tapi kamu tidak boleh seperti ini. Kamu harus menyayangi diri kamu sendiri. Kasihan anak kamu, dia akan merasa sedih jika melihat ibunya menangis." Dokter itu beranjak dari duduknya dan berdiri di samping Eliza. Eliza dengan cepat menghapus air matanya. Dia hanya diam ketika dokter itu memeriksa detak jantung, perut dan tensi darahnya."Tensi darah rendah 90/70, asam lambung naik," kata dokter Rizky setelah melakukan pemeriksaan terhadap Eliza."Ada harapan untuk mati gak dok?" Eliza bertanya dengan antusias."Mati lagi yang di omongin." Dokter itu memandang Eliza dengan marah. "Yang sudah mati, dikubur, mereka menangis dan memohon agar bisa hidup kembali. Kamu yang masih hidup, malah sibuk ingin mati." Dokter itu berkata dengan kesal."Saya cuma nanya dok," Eli
Jantung Eliza seakan ingin lepas karena terkejut melihat sosok yang berdiri di depan pintu. Pria itu seperti hantu yang seakan bisa membuat dia mati karena serangan jantung. Eliza semakin kesal ketika melihat wajah pria itu yang seakan tidak merasa bersalah padahal sudah membuat dia hampir mati karena serangan jantung. "Maaf mas saya permisi." Eliza keluar ketika pria itu sudah memberikan jalan untuknya. Sedangkan pria itu hanya diam memandang Eliza. "Tadi siapa? "Nathan bertanya ketika dia sudah duduk di depan Rizki. Sahabatnya itu seorang dokter spesialis anak, mustahil rasanya jika Rizky memiliki pasien yang sudah dewasa seperti wanita barusan. "Oh itu, cantik kan? "Rizky tidak menjawab, justru malah balik bertanya. "Selera kamu anak kecil," ejek Nathan "Walaupun kecil-kecil kan sudah bisa buat anak. Dia itu sangat baik dan ibu yang baik. Terkadang usia tidak menjamin seseorang akan lebih dewasa dan bertanggung jawab terhadap anaknya sendiri. "Rizky memandang Nath
Nathan berjalan dengan langkah ringan masuk ke dalam mansion mewah milik keluarganya. Senyum mengembang di bibirnya ketika melihat wanita paruh baya yang sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menikmati secangkir teh hijau. Suasana hatinya sangat baik, hanya karena mendengar bahwa istrinya memberikan ASI untuk bayinya. Kemarahan yang sempat memuncak hilang dalam sekejap. "Apa kamu baru pulang dari rumah sakit?" tanya Mawar. Melihat raut bahagia yang terpancar di wajah putranya yang tampan, Mawar tahu bahwa saat ini suasana hati Nathan sedang bagus. "Iya mi," jawab Nathan dengan tersenyum. Pria itu kemudian duduk di sofa yang berbeda didepan wanita berparas cantik meskipun usianya sudah tidak muda lagi. "Bagaimana kondisi cucu, mami?" Mawar menanyakan tentang cucunya. "Tadi Rizky mengatakan bahwa kondisi anakku sudah jauh lebih baik. Berat badannya sudah bertambah 3 on." "Benarkah? mami sangat senang mendengarnya. Besok mami akan ke rumah sakit, sudah rindu pengen lihat cucu."
Setelah tiga hari meminum obat yang diberikan dokter Rizky, Eliza merasakan kakinya yang jauh lebih baik. Bahkan dia sudah bisa memijalkan kakinya ketika berjalan.Hanya saja efek obat yang dikonsumsi, membuat matanya begitu mudah mengantuk. Atau mungkin karena Eliza yang tidak memiliki kesibukan apa-apa. Biasanya ada Ibnu yang di urus. Ganti celana setiap kali pipis. Memandikan dan bermain bersama bayi berwajah tampan itu. Namun kini semuanya hanya tinggal kenangan. Eliza mencoba untuk mengikhalskan namun ternyata semua itu terasa sangat sulit. "Nak, ibu rindu, rindu sekali." Eliza menatap foto anaknya.Andainya Eliza memiliki ponsel android, mungkin dia bisa melihat ratusan foto bayi Ibnu di sana. Eliza juga bisa menonton video bayinya yang sedang menangis. Melihat Ibnu yang baru saja pandai telungkup. Dan tersenyum ketika melihat bayi Ibnu tertawa terbahak-bahak setiap kali bermain. Namun nyatanya Eliza tidak bisa mendokumentasikan setiap momen indah itu karena dia yang hanya m
Eliza membeku ketika mendengar kata-kata mutiara yang keluar dari mulut kakak iparnya."Aku juga nggak usah, aku males kalau dipegang sama orang seperti kamu," kata kakak Sandy yang bernama Tina. Kedua wanita itu memandang Eliza dengan jijik.Mengangguk paham, Eliza pergi ke dapur untuk membuat minum. Eliza sudah terbiasa mendengarkan caci maki serta hinaan seperti ini. Namun tetap saja hatinya terasa perih dan terluka. Apa lagi kondisi emosinya yang tidak stabil setelah kepergian anaknya.Eliza berusaha berjalan dengan cepat ke dapur. Setibanya di dapur yang berukuran kecil, dia tidak langsung membuat minuman. Namun menangis terlebih dahulu. Terkadang Eliza berpikir, sampai kapan bisa bertahan ditengah-tengah keluarga Sandy, yang selalu menghina dan merendahkannya. Keluarga yang mengaku menjunjung tinggi pendidikan, namun memperlakukan orang layaknya binatang. Apakah ini ciri-ciri orang yang berpendidikan tinggi?Eliza dengan cepat menyudahi tangisnya ketika mendengar Wati memangg
"Dia tidak marah sedikitpun meskipun aku sengaja menghindarinya. Melihat aku datang, dia langsung menunjukkan wajah bahagia. Dia meminta makan udang panggang besar di restoran favoritnya. Aku menurutnya. Aku menyuapi dia makan. Kami bercerita, tertawa, bercanda. Dia juga memberikan nasehat yang banyak untuk ku. Aku sangat pelupa, karena itu aku merekam semua perkataannya. Aku sudah berkata bahwa dia sudah sehat. Bahkan udang yang aku berikan dimakan hingga habis."Pria itu menangis hingga tubuhnya bergetar hebat. Momen terakhir bersama dengan istrinya tidak akan pernah ia lupakan."Kau harus kuat demi anak-anak mu." Nathan tidak sanggup menahan air matanya. Dengan cepat ia menghapus air mata yang sudah lebih dulu mengalir.Apa yang dikatakan Albert, terdengar jelas di telinga Eliza. Ia bahkan ikut menangis mendengar pria itu menceritakan seperti apa sosok istrinya.Eliza memandang kedalam peti mati. Dilihatnya sosok wanita cantik yang sudah di makeup dan memakai rambut palsu panjang
Eliza masih terdiam. Tatapan matanya masih tertuju ke arah Sherly. Sudah tahu istri Albert baru saja meninggal dunia, dengan bodohnya wanita itu menunjukkan didepan umum, bahwa dia selingkuhan Albert. Bukankah ini sungguh lucu?Eliza ingin tertawa ngakak melihat kebodohan Sherly. Bisa dibayangkan seperti apa malunya diperlakukan seperti ini depan umum. Namun ia juga kasihan melihat ekspresi wajah wanita saat ini. Walau bagaimanapun Sherly ibu kandung Noah. "Sweet heart." Nathan memanggil suaminya istrinya yang masih terus memandang Sherly. Nathan kemudian menarik tangan istrinya agar tidak hanya diam di sana. Eliza menoleh ke arah Nathan sambil mengikuti langkah kaki suaminya. "Kasihan ya." "Gak ada malunya," kata Nathan tanpa ekspresi. Kelakuan Sherly yang tidak tahu malu membuat ia merasa jijik. Nathan tidak mengira bahwa wanita yang dulunya angkuh, sombong, bermartabat dan terhormat, sekarang tak ubahnya seperti wanita murahan. Ketika menceraikan wanita itu, ia sudah memberik
Sherly sampai di kediaman Albert. Berhubung hari ini kematian nyonya rumah. Orang-orang bebas ngelayat di masion Albert. Para bodyguard yang berjaga hanya memeriksa setiap orang yang akan masuk kedalam rumah. Mereka hanya memastikan bahwa bahwa pelayat tidak ada yang membawa benda tajam ataupun senjata api. Hal ini yang membuat Sherly bisa masuk dengan mudah. Rasa percaya diri yang terlalu tinggi membuat wanita itu langsung berlari mengejar Albert. Tanpa rasa malu ia langsung memeluk pria itu dari belakang."Sayang, maaf aku baru datang." Sherly berkata sambil menahan suara Isak tangisnya.Sebagai artis profesional, menangis bukanlah hal yang sulit baginya. Bahkan Apa yang dilakukannya tampak begitu sangat natural. Tatapan mata anak-anak Albert langsung mengarah ke arah wanita yang dengan berani memeluk Daddy mereka. Wajah Albert merah padam begitu juga dengan matanya. Mata yang sejak tadi terus meneteskan air, kini seperti mata setan yang berwarna merah pekat. "Apa yang kau lakuk
Suara tertawa seorang wanita menggemah di dalam kamar. Wajah wanita itu tampak sangat bahagia. Bukan hanya sekedar tertawa saja, wanita itu sampai guling-guling di atas tempat tidur dan kemudian lompat-lompat kegirangan. Berita yang didengarnya sungguh sangat membuat ia bahagia."Hahaha, akhirnya aku bisa menjadi Nyonya Albert. Kuasai harta kemudian bunuh!" Seburuk apa Albert memperlakukannya selama ini, kembali terbayang di pelupuk matanya. Wanita itu sangat marah hingga wajahnya merah padam. Harga diri yang dulu sangat tinggi, sudah diinjak-injak oleh Albert. Hal ini yang membuat Sherly sangat marah dan benci. Bahkan pria itu sudah memasung kaki dan tangannya hingga tidak bisa pergi.Kematian Anna, merupakan keberuntungan untuknya. Padahal ia sudah pasrah di jadikan gundik selama oleh Albert. Gundik atau lebih sering di kenal dengan istilah istri siri, istri simpanan atau selir. Ternyata posisi ini lebih bermartabat dari pada posisinya. Karena, pada kenyataannya pria itu hanya menj
"Dokter tolong selamatkan istriku. Dokter tolong selamatkan istriku." Albert berteriak sambil menekan tombol yang ada di samping tempat tidur istrinya. Namun pria itu tampaknya tidak puas dia kemudian berlari keluar dari kamar dan berteriak memanggil dokter. Dari arah sebelah kiri beberapa orang dokter langsung berlari menuju ke ruang ICU tempat Anna dirawat "Ada apa?" tanda dokter tersebut."Dokter, Kenapa mulut istriku mengeluarkan darah yang sangat banyak." Albert berkata dengan kaki dan tangan gemetar.Dokter itu langsung masuk ke dalam ruang perawatan dilihatnya darah yang terus saja keluar dari mulut pasiennya. Albert tidak ingin lagi menunggu di luar dia juga ikut masuk ke dalam. Air mata yang tadi sudah sempat berhenti. Kini kembali menetes. Dokter itu memberikan suntik, hingga darah berhenti keluar dari mulut Anna. "Honny, kamu baik-baik saja?" Albert bertanya sambil memegang tangan istrinya. Wanita itu sudah tidak menjawab. Ia hanya diam ketika dokter kembali memasang
"Ya aku tahu, aku bisa mengatasinya. Kamu tenang saja. Tapi bagaimana caranya kamu bisa tahu tentang dia?""Tubuhku yang sakit, tapi otakku masih tetap berjalan dan juga bekerja. Apa kamu tahu aku ini istri dari Albert Aliando. Aku memiliki uang yang banyak. Tidak sulit bagiku Untuk mencari informasi. Termasuk wanita yang dekat denganmu." Anna menjawab pertanyaan suaminya dengan sangat jujur. "Ternyata kamu masih terus saja mencemaskanku." Bukannya marah, Albert justru senang ketika mengetahui Anna masih sangat peduli terhadapnya. "Aku sangat mencinta mu, kamu adalah cinta terakhirku. Aku ingin yang terbaik untukmu." Anna berkata dengan tulus. "Terimakasih honey," kata Albert."Perusahaan yang saat ini kamu pimpin, merupakan hasil kerja keras kita berdua. Kita mendirikannya dari mulai bisnis kecil hingga sampai memiliki perusahaan yang besar. Hanya saja setelah kita memiliki anak, kamu memintaku untuk fokus menjaga anak-anak. Sehingga aku tidak aktif lagi di perusahaan." Wanita i
Albert merasa sangat senang ketika melihat wajah Anna hari ini. Wajah istrinya tidak pucat seperti biasanya. Bahkan wanita itu bernapas tanpa mengunakan alat pernapasan."Honey, bisakah kamu ambilkan rambut palsuku di sana?" Wanita itu tersenyum sambil menunjuk ke arah nakas. "Tentu bisa baby." Nathan mengambilkan rambut palsu milik istrinya. "Mengapa ingin memakai rambut palsu?" Albert memasangkan rambut itu di kepala sang istri. Wanita itu tersenyum sambil merapikan rambut yang sudah dipasangkan oleh suaminya. "Aku ingin terlihat cantik. ""Di mataku kau yang paling cantik." Albert berkata sambil menatap wajah istrinya. "Albert, kamu tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Kamu adalah cinta pertama dan terakhir ku. Apa kamu ingin kapan kita berjumpa?" Albert tersenyum dan mencium punggung tangan istrinya. Kenangan ketika pertama melihat Anna kini kembali melintas dalam pandangannya. Penilaian pertama ketika melihat istrinya itu sudah pasti cantik. Selain cantik, Anna sosok gadis pol
Wajah wanita cantik itu tampak cemberut sambil memandang suaminya. Berbeda dengan Nathan. Pria itu memandang Eliza dengan penuh kemenangan."Kenapa liatin seperti itu?" Nathan berkata tanpa rasa bersalah."Liza sudah bilang kalau Liza mau tidur." Eliza berkata dengan wajah kesal. Keputusan Eliza untuk tidur di dalam kamar ternyata salah. Karena nyatanya dia tidak tidur sama sekali setelah makan siang. Hal ini disebabkan suaminya yang selalu saja mengganggunya. Pada akhirnya Nathan baru berhenti menganggu setelah mereka menuntaskan kewajiban suami istri."Iya Hubby tahu, sini tidur biar dipeluk," kata Nathan dengan tersenyum."Nggak mau." Dengan cepat Eliza menolak. "Loh kenapa tidak mau, bukannya kamu senang dipeluk?" Tanya Nathan."Tangan hubby nggak bisa dipercaya." Dengan waspada Eliza menutup bagian dada dan juga aset bawahnya. Setelah itu ia menarik selimut dan menutup tubuhnya dengan selimut. "Setelah olahraga ranjang, dijamin tidur semakin enak." Nathan berkata sambil menga
Rizky bangun dan melihat jam yang menempel di dinding. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Kondisi kamar juga dalam keadaan kosong. Setelah tidur cukup lama tubuh pria itu terasa lebih segar. Ia menjangkau handphone yang ada di nakas. Yang pertama kali diperiksanya adalah panggilan telepon. Dilihatnya panggilan masuk dari dokter Teddy. Dengan cepat pria itu langsung menghubungi temannya tersebut. "Halo Dokter Rizky," sahut dokter Teddy dari seberang sana. "Ya Dokter Teddy, apa tadi kamu menghubungiku?""Yang menghubungi anda adalah nyonya Rini."DegJantung Rizki berdetak ketika mendengar jawaban dari sang dokter. Jika Rini yang menghubungi itu artinya Kiara mengetahui apa yang terjadi terhadap adiknya. "Yang menerima telepon istri, anda. Ibu Rini langsung berbicara dengan istri anda.""Apa yang dikatakan Kiara dengan mama mertua saya?" Tanya Rizky.Rizky menarik napas panjang dan kemudian menghembuskannya secara perlahan-lahan. Ia harus bisa tenang menghadapi masalah