Nathan kini duduk di meja kerjanya.
Matanya tertuju ke layar komputer namun pikirannya hanya terfokus dengan bayinya.
Dia sudah mengatakan masalah ibu asi kepada maminya dan berharap sang mami bisa dengan cepat mendapatkan pendonor ASI untuk anaknya. Namun ternyata mencari pendonor ASI bukanlah hal yang mudah!Padahal, Maminya sudah mencari lewat perantara asisten rumah tangga, tetangga dekat rumah, dan teman-teman sesama sosialitanya. Namun tidak menemukan wanita yang bisa menjadi donor ASI. Karena untuk menjadi pendonor ASI ,wanita itu memang memiliki ASI yang banyak. Dan biasanya jika anak sudah berusia 1 tahun ke atas, produksi ASI pun berkurang.
Kepala Nathan serasa ingin meledak ketika memikirkan ini semua.Jika tidak segera mendapatkan ibu susu untuk bayinya, dia mencemaskan tumbuh kembang anak malang tersebut.
Pria itu menjangkau ponsel yang diletakkannya di atas meja dan menghubungi asisten pribadinya. Setelah berbicara dengan orang kepercayaannya itu, Nathan menutup sambungan telepon. "Permisi bos." Seorang pria bertubuh tinggi dan tegap masuk ke ruangan Nathan. "Duduk!" perintah Nathan. Pria yang bernama Dirga itu menarik kursi yang ada di depan Nathan, kemudian duduk dengan tubuh tegap. "Kumpulkan para karyawan wanita yang saat ini memiliki bayi!" Nathan memberikan perintah. "Maaf bos, untuk apa? Lalu, bayi umur berapa?" tanya Dirga bingung. "Mereka yang menyusui, aku butuh ASI," jawab Nathan. Dirga diam dengan mulut yang sedikit terbuka ketika mendengar pengakuan bosnya yang sangat mengejutkan. Apa bosnya memiliki kebiasaan aneh?Suka mengkonsumsi ASI?
ASI itu memang sangat bagus, bahkan di beberapa negara dan dikonsumsi pria dewasa.
Gizinya jauh lebih tinggi dari susu sapi. Namun tidak harus minum ASI juga.
"Apa kau mendengar apa yang aku katakan?" Nathan memandang Dirga dengan wajah dinginnya. "Dengar pak, ASI yang dibutuhkan apa langsung di konsumsi dari sumbernya atau di peras?" Dengan bodohnya pria berusia 30 tahun itu bertanya. "Langsung dari sumber," jawab Nathan. Bisa saja orang menipunya, mengatakan ASI padahal susu formula. Karena itu Nathan harus benar-benar yakin bahwa ASI yang didapat anaknya murni 100%. Dia juga akan memberikan uang untuk pendonor ASI dengan nominal yang cukup tinggi. Dirga menelan air liurnya berulang-ulang kali. "Apa istri si bos tidak marah?" "Maksudmu, apa?" Nathan memandang asistennya itu dengan penuh kemarahan. "Tidak saya bercanda, saya permisi untuk cari ASI." Dengan cepat Dirga pergi keluar untuk menyelamatkan diri. "Sudah satu Minggu ini si bos semakin garang saja, sudah seperti anak gadis datang bulan," gumam Dirga. Tak lama Dirga datang dengan semua karyawan wanita yang menyusui. "Bos, para karyawan wanita yang menyusui sudah menunggu!" "Suruh masuk satu persatu," kata Nathan. "Baik," jawab Dirga. Otaknya masih kacau apa lagi Nathan meminta masuk satu persatu. Dirga keluar dari ruangan dan memandang wajah karyawan wanita yang berjumlah 20 orang. "Pak Dirga, ada apa?" tanya salah seorang karyawan wanita. Mereka benar-benar panik karena langsung di minta untuk menemui big bos. Apakah ada undang-undang terbaru mengenai buruh dan ketenagakerjaan? Pertanyaan ini selalu saja membuat mereka panik. "Ibu Yani, langsung masuk." Dirga memanggil berdasarkan daftar nama di tangannya. Pagi ini mereka dibuat panik dengan permintaan aneh si bos. Manajer personalia dibuat tidak bernapas karena harus mengumpulkan karyawan wanita yang menyusui dalam waktu 30 menit. "Saya pak Dirga." Wanita bernama Yani itu terlihat pucat karena harus masuk ke dalam ruangan Nathan lebih dulu. Ini kali pertama wanita itu berjumpa dengan Nathan, pewaris tunggal kerajaan bisnis Hermawan. "Iya," jawab Dirga yang berdiri di depan pintu. Wanita berusia 35 tahun itu berjalan dengan lambat menuju pintu berwarna hitam di depannya. "Silahkan." Dirga membukakan pintu. Wanita itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan yang terasa dingin dan besar. Tatapan matanya tertuju ke arah pria tampan yang duduk di kursinya dengan tatapan datar. Setelah melihat sendiri, dia baru mengakui bahwa bos mereka sangat tampan dan rupawan. Sayang sedikit saja, wajahnya sanggar. "Permisi pak." "Duduk!" Perintah Nathan. Karyawan bernama Yani itu menurut dan duduk di kursi yang ada didepan Nathan. "Apa ibu sedang menyusui?" Nathan bertanya langsung pada intinya. "Iya pak," jawab wanita itu gugup. Setelah ini apakah ada pemecatan? Apakah ini hanya cara perusahaan untuk mengurangi tenaga kerja? Pertanyaan ini terus saja mencul di pikirannya. "Bayi umur berapa?" "Satu tahun setengah pak, saya sudah berencana memberhentikan asi. Karena ASI saya yang sudah mulai kering. Saya juga memberikan bayi susu formula sejak berusia 2 bulan. Karena ASI saya tidak mencukupi. "Keluar! Lanjut yang lainnya." "Baik pak," wanita itu langsung keluar dari dalam ruangan. Apakah jawabannya benar atau tidak, dia juga tidak tahu. Hal ini sungguh membingungkan. "Ibu Rima," panggil Dirga. "Iya saya pak Dirga," jawab wanita bertubuh gemuk dengan dada yang besar. "Masuk," kata Dirga. Pria muda itu menelan air ludahnya berulang-ulang kali ketika melihat tubuh subur si wanita. Memandang tubuh wanita itu, Dirga sudah bisa membayangkan bahwa si bos akan kenyang bahkan muntah. "Permisi pak Nathan." Wanita bertubuh gemuk itu berdiri di dekat meja Nathan. "Duduk!" Nathan menunjuk dengan dagunya. Mata pria itu tampak terbuka lebar ketika melihat sosok wanita yang duduk di depannya. Dia yakin wanita ini bisa menjadi ibu susu untuk anaknya. "Nama siapa?" tanya Nathan. "Saya Rima pak, bagian produksi." Wanita itu menjelaskan. "Usia?" "Usia saya 30 tahun pak." "Memiliki bayi usia berapa?" Nathan langsung memberikan pertanyaan. "Usia bayi saya 8 bulan pak," jawab si wanita. "Apa sampai sekarang masih ASI?" "Masih pak, hanya saja saya tetap memberikan anak saya susu formula karena ASI Saya tidak banyak." Nathan memandang wanita itu dengan kening berkerut. Bahkan alis matanya yang tebal saling terpaut. "Kamu mengatakan asimu tidak banyak?" Nathan masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan si wanita. "Tidak pak, ini Saya memang punya besar tapi ASI sedikit." Wanita itu menunjukkan bagian dadanya. Kepala Nathan pusing dan berdenyut ketika mendengar jawaban si wanita. Dia kemudian menyuruh wanita itu pergi dan meminta yang lain untuk masuk. Mulai dari pagi hingga sampai jam 12.00 mencari satu orang pendonor ASI ternyata sangat sulit. Setiap wanita yang masuk kedalam ruangnya mengaku bahwa mereka memberi anaknya susu formula karena ASI yang tidak cukup. Para karyawan wanita itu mengatakan, penyebab produksi ASI yang sedikit karena pengaruh suntik dan pil KB. Nathan semakin frustasi karena tidak menemukan ibu susu untuk anaknya! Tidak adakah wanita yang pas untuk sang putra?***
"Mbak, saya ingin membayar tagihan rumah sakit anak saya."
Di sisi lain, Eliza kini berada di rumah sakit.
Dia menunjukkan kuitansi pembayaran dan bukti hutang serta jaminan yang dia berikan.
Dibayarnya kekurangan biaya dan mengambil kembali cincin pernikahannya yang dititipkan waktu itu.
Wanita yang duduk di kasir--segera mengambil berkas pembayaran Eliza yang belum lunas.
Hanya saja, ucapan Eliza menghentikan proses administrasinya sejenak.
"Mbak, saya mau donor ASI, apa rumah sakit ini menerima donor ASI?"
"Asi?"
Albert menatapnya tanpa berkedip. Senyum tipis muncul di wajahnya, bukan senyum menggoda seperti biasanya, melainkan senyum hangat yang jarang sekali terlihat. Diluar dugaannya, Aruna justru mengaku perasaannya sendiri.Ia mengulurkan tangan, perlahan menurunkan tangan Aruna yang menutupi wajahnya. “Jangan tutupi wajahmu. Aku ingin melihatmu saat kamu jujur.”Aruna terpaksa menatapnya lagi, meski matanya bergetar. “Jangan… jangan tertawakan aku, ya.”“Aku tidak akan menertawakan mu,” jawab Albert mantap. Ia lalu mencondongkan tubuhnya sedikit, jarak wajah mereka semakin dekat. “Karena kenyataannya… aku juga merasakan hal yang sama.”Aruna membeku. Matanya membesar, napasnya tercekat. “Ka-kamu… apa?”“Aku suka sama kamu, Aruna.” Suara Albert dalam, tenang, tapi penuh ketulusan. “Sejak awal ksmu sudah tahu perasaan ku, tapi kamu terlalu pandai berpura-pura tidak tahu. Malam ini… kita membohongi perasaan sendiri."Aruna nyaris tak bisa menahan air matanya. Rasa lega, bahagia, dan terkeju
Suasana di dalam mobil kian hening, hanya terdengar suara mesin yang berdengung halus dan musik jazz lembut yang mengalun pelan dari speaker.Aruna memberanikan diri menggeser duduknya sedikit lebih dekat ke Albert. Ia pura-pura merapikan gaunnya, padahal sebenarnya ingin lebih dekat dengan pria itu.Albert melirik sekilas, sudut bibirnya terangkat. “Apa kamu selalu segugup ini saat bersamaku?” tanyanya, nada suaranya terdengar santai tapi penuh godaan halus.Aruna buru-buru menggeleng, tapi wajahnya sudah merah padam. “A-aku nggak gugup… cuma… yah, aku belum pernah seperti ini sebelumnya.”“Seperti ini?” Albert mengulang, kali ini tatapannya tajam ke mata Aruna.“Pergi makan malam… denganmu.”Albert terdiam sebentar, lalu kembali tersenyum samar. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangkat tangan Aruna dan menyelipkan jemari gadis itu lebih erat ke dalam genggamannya. “Kamu tidak perlu gugup. Malam ini, cukup jadi dirimu sendiri.”Aruna hampir tidak bisa bernapas. Kata-kata sederha
Jarum jam menunjuk tepat ke angka tujuh. Aruna masih berdiri di depan pintu dengan wajah frustasi. Tangan kirinya sibuk memainkan gelang berlian di pergelangan, sementara tangan kanan menekan layar ponsel yang kosong dari kabar. “Ya ampun… apa aku ditinggal beneran? Masa aku sudah dandan kayak Cinderella, tapi Pangerannya nggak datang?!” gumamnya sambil hampir menangis. Detik berikutnya—tok… tok… tok. Ketukan pelan di pintu apartemen membuat jantungnya hampir meloncat keluar. Aruna sampai menahan napas, matanya membelalak. “Ja-jangan bilang… itu….” Ia berlari kecil, hampir tersandung gaun panjangnya, lalu dengan gugup membuka pintu. Dan di sanalah, sosok tinggi dengan jas hitam elegan berdiri. Wajah Albert tenang, tatapannya tajam, dan senyum tipis terukir di sudut bibirnya. “Maaf terlambat,” ucap Albert singkat, padahal jam di dinding baru saja berdenting menandai pukul tujuh. Tepat waktu. Aruna terdiam. Matanya berkilau seakan-akan semua perhiasan yang ia pakai kalah terang di
Malam itu kamar terasa lebih hangat dari biasanya. Eliza baru saja memastikan Violet dan Jasmin pulas di ranjang kecil mereka masing-masing, sementara Noah sudah terlelap di kamarnya. Saat anak-anak sudah tidur, rumah terasa begitu tenang, seperti hanya menyisakan dunia kecil untuk Nathan dan Eliza berdua.Ketika menutup pintu kamar, pandangan Eliza langsung bertemu dengan Nathan yang duduk di tepi ranjang. Senyumnya tipis, tapi sarat makna. Ada bahasa rindu di matanya, yang tak butuh kata untuk menjelaskannya.“Sweetheart…” panggilan itu lirih, namun suaranya dalam dan penuh kerinduan.Eliza melangkah mendekat. Belum sempat duduk, tubuhnya sudah ditarik ke dalam pelukan hangat suaminya. Pelukan itu erat, seolah Nathan takut istrinya menghilang jika dilepas.“Aku kangen sekali sama kamu,” bisiknya serak.Eliza tersenyum lembut, membalas pelukannya sambil membenamkan wajah di dada bidang Nathan. “Liza juga rindu, hubby… rasanya seminggu ini panjang sekali.”Nathan mengusap lembut rambu
Pintu apartemen menutup pelan, meninggalkan keheningan yang menekan dada. Aruna berdiri mematung di ruang tamu, matanya tak lepas dari pintu yang baru saja dilalui Albert.Entah kenapa, hatinya terasa begitu sesak. Tatapan Albert tadi... dingin. Bukan lagi hangat seperti biasanya. Seolah ada kecewa yang disembunyikan pria itu.Dengan langkah pelan, Aruna menuju sofa. Ia duduk tepat di tempat Albert tadi, lalu menatap koper besar di depannya.Tangannya bergetar ketika menyentuh resleting. “Oleh-oleh... untukku?” bisiknya, bibirnya bergetar tapi matanya berbinar.Begitu koper terbuka, matanya langsung membelalak. Kotak-kotak perhiasan tertata rapi di dalamnya. Ia membuka salah satunya, dan saat itu juga ruangan temaram dipenuhi kilau cahaya berlian biru yang begitu besar.“Ya ampun! Ini kayak yang di drama-drama Korea itu, lho! Masa iya aku beneran kayak cewek-cewek cantik yang tiba-tiba dikasih kalung miliaran?” Aruna sampai menutup mulutnya sendiri, takut teriakannya kedengaran tetang
Albert menaruh kopernya di ruang tamu apartemennya. Alih-alih beristirahat, ia langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian.Tubuhnya terasa sangat lelah dan lengket setelah seharian penuh berkutat dengan urusan bisnis di Jepang. Begitu semua selesai, ia langsung terbang pulang ke Jakarta bersama Nathan tanpa membuang waktu.Kini Albert mengenakan pakaian santai. Kaos polos dan celana pendek selutut. Penampilannya tampak segar, seolah lelah perjalanan panjang hilang begitu saja.Ia berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya, lalu menyemprotkan parfum ke bajunya. Setelah yakin dirinya cukup rapi dan menarik, Albert keluar dari apartemen dengan menyeret koper besar. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu apartemen Aruna.Dengan sekali tekan bel, pintu segera terbuka. Albert sedikit terkejut, sebab biasanya Aruna membutuhkan waktu untuk membukakan pintu. Seolah kali ini wanita itu memang sudah menunggu di baliknya.“Boleh masuk?” tanyanya sambil mengangka