LOGINSinar matahari sore masuk melalui jendela besar apartemen Leo, menyinari lantai kayu berwarna terang. Zurich terasa tenang—rapi, bersih, dan jauh dari hiruk pikuk yang biasa Anisa kenal.Anisa masih berada di apartemen itu.Padahal, kondisinya sudah jauh lebih baik. Demamnya turun, tubuhnya tidak lagi gemetar, dan kesadarannya sepenuhnya pulih. Namun Leo bersikeras.“Apartemen ini ada dua kamar,” kata Leo waktu itu, nada suaranya tenang namun tegas.“Kalau kamu takut aku menyelinap masuk kamar… kamu tinggal kunci pintunya.”Kalimat itu membuat Anisa tersedak napas sendiri.Bukan karena takut.Justru karena… Leo terlalu tenang saat mengatakannya.Kini, Anisa berada di dapur.Ia duduk di kursi roda yang baru saja dibelikan Leo. Ia mengenakan celemek sederhana. Di hadapannya, sebuah wajan di atas kompor modern—yang sayangnya, lebih tinggi dari kompor di Indonesia pada umumnya.Anisa berjinjit sedikit di kursi roda, mencoba mengintip isi wajan. “Hmm…” gumamnya pelan.Aromanya sudah harum
Taman belakang rumah mewah itu tenang malam itu.Lampu-lampu taman menyala lembut, memantul di dedaunan yang basah oleh embun. Udara Paris terasa dingin namun segar—jenis dingin yang menenangkan, bukan menusuk.Noah duduk sendirian di bangku kayu, ponselnya menyala di tangan. Layar itu kosong. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Namun ia tetap menatapnya, seolah menunggu sesuatu yang tidak akan datang.Langkah kaki terdengar mendekat.Nathan muncul dari arah samping taman, membawa dua cangkir minuman hangat. Ia duduk di samping Noah tanpa banyak kata, lalu meletakkan satu cangkir cokelat panas di depan putranya.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Nathan pelan.Noah tersenyum tipis, mengangkat cangkir itu. “Ya… tentu saja baik,” jawabnya jujur setengah hati.“Hanya deg-degan.”Nathan tertawa kecil, lalu mengangguk. “Daddy mengerti seperti apa rasanya,” kata Nathan.“Dan jujur saja… perasaan itu juga Daddy alami dulu.”Noah menoleh. “Serius?”“Serius,” Nathan tersenyum. “Hari pernikahan i
Di sebuah apartemen modern di Tokyo, malam baru saja turun.Lampu kota menyala berkilau di balik jendela kaca besar. Sherly duduk santai di sofa kulit putih, mengenakan kimono modern tipis. Di tangannya, segelas wine merah—gerakan anggunnya kontras dengan sorot mata yang dingin.Ponselnya bergetar.Nomor asing.Sherly mengangkatnya tanpa tergesa.“Hello?” jawab Sherly.“Saya Nathan.” Suara Nathan terdengar di seberang sana. Tenang. Formal. Tanpa emosi berlebihan.Sherly terdiam sesaat. Jujur, ia sangat terkejut dan tidak menyangka bahwa mantan suaminya itu akan menghubunginya.Hal ini yang membuat ia tertarik. Apakah ada hal serius?“Ah,” katanya sambil tersenyum tipis.“Nathan, nama yang sudah lama tidak kudengar.”Nathan tidak menanggapi nada itu.“Saya menelepon untuk memberi tahu satu hal.”Sherly menyandarkan punggung, menyilangkan kaki.“Mendadak sekali. Tentang apa?” Wanita itu berbicara dengan suara yang sangat halus dan mengoda.“Anak kita,” jawab Nathan lugas.Gelas wine di
Rumah mewah milik Albert, pagi itu terasa hidup.Aroma teh hangat bercampur wangi bunga segar memenuhi ruang tengah. Para pelayan lalu-lalang dengan langkah ringan, membawa baki berisi handuk hangat, botol skincare, hingga kotak-kotak kecil bertuliskan merek asing.Dan di tengah semua itu—Violet…sibuk.Sangat sibuk.Ia berdiri di samping sofa panjang, memperhatikan perawat kecantikan yang sedang menyiapkan perawatan wajah. Sesekali ia mengangguk, sesekali bertanya dengan nada serius.“Yang ini dipakai sebelum masker, kan?”“Iya, Nona.”“Oke, jangan kebalik ya.” Violet mengingatkan."Tentu." Wanita berambut pirang itu tersenyum memandang Violet yang cerewet. Wanita itu seorang tenaga ahli di bidang kecantikan, mustahil rasanya jika akan terbalik mengurutkan perawat wajah tersebut.Rambut Violet disanggul asal. Wajahnya polos tanpa riasan. Fokusnya hanya satu: persiapan jadi pengantin.Sementara itu…Ponsel Violet berada di tangan orang yang sama sekali tidak merasa bersalah.Eliza.W
Mansion Michael terasa… asing.Terlalu besar.Terlalu sunyi.Samuel berdiri di tengah ruang keluarga dengan rambut acak-acakan, kemeja kusut dengan kerah naik ke atas. Entah sudah berapa hari kemeja itu melekat di tubuhnya. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mandi. Mungkin saja sekitar dua hari? Biasanya, mansion ini ramai. Bahkan terlalu ramai.Ada Violet yang mondar-mandir dengan wajah penasaran. Ada tawa kecilnya. Ada suara langkah ringan yang selalu membuat Samuel refleks menoleh.Sekarang—tidak ada.Samuel menjatuhkan tubuhnya ke sofa, menyandarkan kepala ke belakang. Tatapannya kosong menatap langit-langit tinggi.“Baru dua hari,” gumamnya lirih. “Cuma dua hari.”Namun rasa rindu membuat dadanya terasa sesak.Ia meraih ponsel di meja. Membuka layar. Menutupnya lagi.Tidak ada pesan baru dari Violet.Padahal biasanya, belum satu jam saja, gadis itu sudah mengirimkan sesuatu. Foto gaun. Emoji aneh. Atau sekadar bertanya, "Mas lagi ngapain?"Samuel sudah mengirim pesan b
Eliza menghela napas panjang untuk kesekian kalinya sore itu.Ia berdiri di dekat jendela mansion Michael, menatap taman luas di bawah sana, namun pikirannya sama sekali tidak tenang. Bayangan kelakuan putranya dan calon menantu terus berputar di kepalanya.“Ya Tuhan…” gumamnya pelan. “Kenapa anakku makin ke sini makin berani…”Langkah kaki terdengar mendekat.Nathan muncul sambil membawa dua cangkir teh hangat. Wajahnya santai. Terlalu santai untuk seseorang yang istrinya sedang hampir migrain.Ia menyerahkan satu cangkir ke tangan Eliza. “Minum dulu. Kamu kelihatan seperti mau menegur satu mansion sekaligus.”Eliza menoleh cepat. “Mas tahu kenapa aku pusing?”Nathan duduk tenang di sofa. “Karena Noah?"“Dan Aishwa,” Eliza menambahkan cepat. “Dua-duanya. Itu bukan lagi ‘curi-curi waktu’, itu sudah level… berbahaya. Bukan hanya Noah dan Ais saja, Samuel dan Violet juga mas. ”Nathan mengangkat alis. “Berbahaya bagaimana?”Eliza menatap suaminya dengan ekspresi antara kesal dan frus







