Beranda / Rumah Tangga / Menjadi Ibu Untuk Anakku / 6. Tante Cantiknya Kiano

Share

6. Tante Cantiknya Kiano

Penulis: Luisana Zaffya
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-25 16:45:20

"Kami bukan siapa-siapa mu lagi, Megan. Aku dan Kiano hanyalah orang asing di hidupnya. Dan kita terlibat dalam situasi ini karena sebuah keprofesionalan. Tidak seharusnya kau menjadi emosional seperti ini," desis Mikail tepat di bibir Megan. Napas panas pria itu menerpa seluruh permukaan wajah Megan, yang membuat jantung wanita itu nyaris melompat dari dadanya. Saking kuatnya getaran yang ditimbulkan oleh Mikail pada tubuhnya.

Megan tak mengatakan apa pun, selain nyaris melompat dari dadanya. Saking kuatnya getaran yang ditimbulkan oleh Mikail pada tubuhnya.

Megan tak mengatakan apa pun, kedua matanya melekat kuat dalam kuncian Mikail. Dan hanya sepersekian detik, Megan berpikir Mikail tersesat dengan keinginan pria itu. Tetapi rupanya kewarasan pria itu berbicara lebih tegas dan keras, yang membuat Mikail mengerjap sekali sebelum kemudian mendorong tubuh pria itu menjauh dari tubuhnya. Seolah terbangun dari kesadarannya.

"Kau sudah pernah melukai anakku dan menyisakan luka yang membekas di hidupnya, Megan. Sekali lagi jika kau meninggalkannya tepat di depannya, aku akan membuatmu menyesal." Mikail berhasil mengeluarkan suaranya dengan tanpa getaran. Emosi di kedua matanya menguat. Membuat wajah dan seluruh tubuh Megan membeku. "Kau mengatakan akan menerima semua konsekuensi dari keegoisanmu, kan? Tidak seharusnya kau menjadi begitu emosional karena sikapnya. Dia hanya tidak tahu apa yang dikatakannya, jangan menanggapinya secara berlebihan."

Kata-kata Mikail benar-benar menusuk tepat di jantung Megan. Meremas dadanya, hingga tak menyisakan apa pun di dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia merasakan hatinya begitu kosong sekaligus penuh oleh penyesalan yang teramat sangat. Menganga lebar di dalam dadanya.

"Aku tak akan memperingatkanmu untuk kedua kalinya, Megan," pungkas Mikail, sebelum membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari toilet wanita.

"Aku tahu kau sengaja mengundangnya ke meja makan kita hanya untuk mengusikku." Kalimat Megan berhasil menghentikan langkah Mikail yang sudah hendak mencapai pintu toilet. "Kau menggunakannya untuk mengusikku. Menghukumku dan membalas dendam padaku."

Tubuh Mikail membeku, ketika pria itu memutar kepalanya ke samping dan mendengus dalam cemoohannya. Mikail berkata dengan nadanya yang dingin dan tak punya hati. "Hukuman? Balas dendam?" Mikail memberi jeda sejenak dalam cemoohannya. "Kau tak layak mendapatkan sedikit pun perhatianku, Megan. Juga perhatian dari anakku. Percayalah, ini bukan pertama kalinya aku membawa anakku makan siang maupun makan malam dengan rekan kerjaku. Jadi apa yang membuatmu merasa special dan layak mendapatkan perhatian kami?"

Air mata menggenang memenuhi pelupuk mata Megan dan tubuh wanita itu jatuh di lantai setelah Mikail meninggalkannya di kamar mandi. Dengan kedua telapak tangan menangkup wajahnya, sebelum kemudian terisak dengan pilu. Tak mampu menahan segala macam emosi yang menerjang dan menelannya mentah-mentah. Menenggelamkannya dalam kepedihan yang tiada henti.

***

Lima belas menit kemudian, Jelita muncul dan menjemput Megan yang menunggu di tempat parkir. Tepat di samping mobilnya.

"Kenapa kau begitu lama, Jelita?" sergah Megan jengkel.

"Aku tak bisa pergi begitu saja, Megan. Aku harus membuat alasan sealami mungkin tanpa menyinggung perasaan tuan Matteo. Apalagi anakmu."

Megan tak ingin mendengar lebih. "Cepatlah. Aku butuh segera pergi dari tempat ini."

Jelita mengangguk. Dengan sigap membuka kunci dan pintu mobil untuk Megan, lalu memutari bagian depan mobil dan bergegas duduk di balik kemudi. Membawa mobil meninggalkan halaman restoran sesegera mungkin.

Sepanjang tengah perjalanan, Jelita tak berhenti melirik ke arah Megan yang sengaja membisu. Membiarkan keheningan menyelimuti keduanya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Jelita memecah keheningan ketika mobil berhenti di lampu merah. Sekedar membuyarkan lamunan Megan karena tahu wanita itu tidak baik-baik saja.

Megan mengerjap sekali. Memutar kepala dan menatap Jelita dengan keletihan yang lebih pekat dari ketika ia duduk di dalam mobil. "Sangat buruk."

Jelita mengguman pelan menanggapi jawaban Megan. Jika Megan masih membalas pertanyaannya, kekhawatirannya perlahan menyusut meski masih tetap tak bisa tenang.

Megan kembali membisu. Terngiang kalimat yang diucapkan oleh Mikail dan hatinya kembali direndam perih yang teramat. "Apakah menurutmu emosiku terlalu berlebihan di hadapannya?"

Jelita menatap lampu yang berubah hijau dan menginjak gas. "Dia anakmu, Megan. Tidak ada yang berlebihan."

Megan termenung, menepis kalimat tanpa hati Mikail dan menggantinya dengan kalimat Jelita. Tentu saja lebih mudah menerima kalimat Jelita. "Apakah dia sangat kecewa padaku?"

"Dia menyukaimu. Ikatan batin memang tak bisa berbohong."

Kening Megan berkerut. "Benarkah?"

"Tentu saja. Apa kau tidak bisa melihat caranya menatapmu, dia begitu menyukaimu, Megan. Dia masih begitu polos untuk memahami masalah orang dewasa."

Megan mengangguk setuju. Tetapi ... "Lalu bagaimana jika dia mulai curiga jika aku bersikap terlalu berlebihan padanya lagi, Jelita?"

Jelita mengambil tangan Megan dan menggenggamnya. "Tidak ada yang berlebihan. Dan dia tidak mungkin mencurigai apa pun itu yang kau khawatirkan. Tuan Matteo tampaknya bersikeras tak ingin anakmu tahu siapa dirimu. Dan kau ... apa kau berniat memberitahunya tentang siapa dirimu?"

Megan pun segera menggeleng dengan cepat. "Tidak mungkin, Jelita. Aku ..." Megan berhenti, menelan gumpalan yang tertahan di tenggorokannya dan rautnya seketika berubah sedih. " A-aku tak mungkin melukai hatinya tentang siapa diriku. Dia pasti akan membenciku jika tahu siapa diriku."

Jelita tak mengatakan apa pun. Kekecewaan yang ia lihat di wajah Kiano ketika Megan meninggalkan ruang pribadi beberapa saat yang lalu tentu masih tergambar jelas di wajah bocah mungil itu. Dan ia tak sampai hati menyampaikan kekecewaan itu pada Megan. Yang pasti akan membuat Megan kehilangan semangat dan kepercayaan diri untuk mendekati anaknya.

"Kalau begitu kau hanya perlu menjadi tante cantik yang diidolakan olehnya, Megan."

"Diidolakan?" Kening Megan berkerut dan kebahagiaan memanjat naik di dadanya.

Jelita mengangguk dengan yakin. "Kau tak mungkin tidak menyadarinya, Megan. Dari tatapannya, dia jelas mengidolakanmu. Dia bahkan mengenalimu. Sejak pertemuan pertama kalian, yang bahkan sangat singkat. Dan apa kau tidak bisa melihat binar di kedua matanya ketika memanggilmu tante cantik?"

Megan tampak termenung, memikirkan kata-kata Jelita. Yang semakin ia pahami, membuat hatinya mengembang oleh kebahagiaan. Dan harapan yang sebelumnya hanya setipis kulit ari, perlahan mulai menguat. "Apakah kau pikir seperti itu?"

"Itu terlihat jelas, Megan. Tidak hanya dalam pikiranku. Bagaimana mungkin kau tidak menyadarinya?"

Megan terdiam. Tentu saja ia tidak menyadarinya, dan sepertinya karena ia sibuk dengan perasaannya yang begitu emosional karena melihat darah dagingnya berda tepat di depan matanya. Namun tak bisa ia sentuh dengan kedua tangannya.

"Jadi, aku hanya perlu menjadi tante cantik untuknya, kan?"

"Ya, kau harus membuatnya bangga melihat dirimu."

Megan mengangguk, dan dengan tekad baru yang kuat, harapan baru membentang luas di hadapannya. "Ya, kau benar, Jelita. Aku harus membuatnya bangga dan tak sia-sia mengidolakanku."

"Juga, kendalikan emosi di wajahmu, Megan. Tahan keharuanmu dan jangan bersikap terlalu emosional tiba-tiba meninggalkannya seperti yang kau lakukan tadi. Hmm ... kau tahu, pikirkan ketika kau terlibat dalam suatu pembicaraan dan tiba-tiba orang itu meninggalkanmu. Kau pasti bertanya-tanya ..."

"Aku mengerti," penggal Megan. Teringat kata-kata Mikail ketika di toilet. Pantas saja Mikail begitu marah. Pria itu pasti takut dirinya membuat Kiano kecewa.

'Kau sudah pernah melukai anakku dan menyisakan luka yang membekas di hidupnya, Megan. Sekali lagi jika kau meninggalkannya tepat di depannya, aku akan membuatmu menyesal.'

Dan Mikail ada benarnya. Ia sudah melukai Kiano. Cukup sekali dan tidak seharusnya ia mengulang kesalahan tersebut untuk kedua kalinya. "Apakah menurutmua aku harus minta maaf padanya?"

Jelita tampak memikirkan pertanyaan Megan sejenak, kemudian mengangguk. "Tidak ada salahnya."

Megan mengembuskan napas, melepaskan kegugupan yang sejak tadi tertahan di pangkal tenggorokannya. Keningnya berkerut, mulai memikirkan permintaan maaf seperti apa yang akan menyenangkan putranya.

"Apa kau tahu kapan lagi aku memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya?"

"Besok adalah pemotretan pertamamu di mall M-King. Jika kita beruntung, kita akan bertemu dengan anakmu."

Wajah Megan seketika berubah diselimuti semringah. Dan ketidaksabaran memenuhi dadanya. Namun, senyum itu tak bertahan lama. Ketika Jelita menyela kebahagiaan yang baru saja didapatkan oleh Megan.

"T-tapi ..."

Megan menoleh, masih dengan senyum yang tersungging di kedua ujung bibirnya. "Tapi apa?"

Jelita mengigit bibir bagian dalamnya. Memastikan tidak ada kendaraan lain di depan mereka sebelum kemudian menoleh pada Megan yang menatapnya dengan kerutan di kening.

"Tapi apa, Jelita?" Megan menyadari ada sesuatu yang serius dari keseriusan yang lebih pekat di wajah sang manager.

"Selain kau, ada satu orang lagi yang menjadi brand ambassador M-King."

Kerutan di kening Megan semakin dalam. Ia tak pernah keberatan dengan siapa pun yang akan menjadi pasangan dalam pemotretannya. "Siapa?"

Jelita masih tampak meragu untuk menjawab.

"Katakan saja, Jelita." Megan tak pernah mempermasalahkannya. Ia tidak pernah kesulitan bersikap professional dengan siapa pun. Pria maupun wanita. Namun, lain ceritanya jika itu adalah. Mata Megan menyipit tajam, menusuk sisi wajah Jelita yang berusaha membagi konsentrasi antara dirinya dan jalanan. "Jangan bilang jika dia adalah Nicholas, Jelita," desisnya dengan penuh penekanan.

Jelita menghela napas rendah dan menoleh ke samping. Memberikan satu anggukan singkat dan mengonfirmasinya. "Yup. Nicholas Matteo. Dan demi apa, Megan. Aku baru mengetahui kalau ternyata dia adalah sepupu tuan Matteo. Mantan suamimu."

Megan menggeram dalam hati, dan menyumpahi pria menjengkelkan itu.

"Besok, kau akan melakukan pemotretan dengannya."

Dan itu tak akan menjadi pemotretan yang mudah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Ibu Untuk Anakku   5. Little Extra Megan Dan Marcel

    Mikail dan Kiano masih menunggu baby Kylie di ruang bayi setelah mengantarkan Megan ke ruang perawatan. Memastikan sang istri untuk istirahat sebelum pergi, tetapi Megan tak bisa tidur. Pun dengan rasa lelah dan letih yang masih membuatnya lemah dan berbaring di tempat tidur. Perutnya terasa lapar setelah semua tenaga yang ia kerahkan saat persalinan. Suara pintu diketuk, Megan menoleh. Sepertinya perawat yang disuruh Mikail untuk membawakannya makanan untuknya. Tetapi wajahnya berubah masam ketika bukan perawat yang muncul, melainkan Marcel. Satu tangan membawa nampan berisi makanan dan satu tangannya disembunyikan di belakang. Membuat Megan berkerut kening akan sikap aneh pria itu. “Kenapa kau di sini, Marcel?” tanya Megan dengan nada tak bersahabat seperti biasa. Marcel tak menjawab, pria itu meletakkan nampan di nakas. “Aku tahu kau tak akan suka jika aku menyuapimu, kan?” Megan hanya mendengus tipis. Tentu saja ia akan menunggu Mikail. Dan ia langsung mengambil ponsel untuk

  • Menjadi Ibu Untuk Anakku   4. Extra Megan Dan Mikail

    Delapan bulan kemudian … Megan memuntahkan seluruh isi perutnya di lubang toilet dengan hentakan yang kuat dari dalam perutnya. Membungkuk dengan kedua tangan bersandar di dinding karena perutnya yang besar membuatnya kesulitan berjongkok. “Kau muntah lagi?” Marcel muncul dari balik pintu yang tak sempat Megan tutup ketika bergegas masuk ke kamar mandi. Berdiri di belakang Megan sembari menggosok pelan punggung wanita itu. Megan yang sudah lemas, tak punya kekuatan untuk menolak perhatian Marcel, apalagi untuk memanggil Mikail yang masih belum turun ke lantai satu. Kedua kakinya melemah dan jatuh bersandar ke tubuh Marcel, sesi muntahan itu akhirnya berhenti dan Marcel mendudukkan Megan di lubang toilet. “Lepaskan dia, Marcel.” Mikail muncul di ambang pintu. Menghampiri Megan dan menarik lengan sang adik untuk menjauh dari istrinya. Marcel hanya mengedikkan bahu dan menuruti keinginan sang kakak meski tidak meninggalkan kamar mandi. Ia mengamati Mikail yang mengambil beberapa lem

  • Menjadi Ibu Untuk Anakku   3. Extra Jelita Dan Nicholas

    Jelita menurunkan ponselnya dari telinga dengan helaan napas yang lolos dari kedua lubang hidung dan bibirnya. Matanya terpejam dengan telapak tangan yang menyentuh perutnya yang masih rata. Pernikahan? Ia tak bisa menolak Nicholas yang ingin menikahinya. Terutama setelah pria itu tahu saat ini dirinya tengah hamil. Ya, seminggu yang lalu. Tiba-tiba ia pingsan di tempat pemotretan Nicholas, pria itu membawanya ke rumah sakit. Dan saat ia terbangun dari pingsannya, pria itu sudah menyelipkan cincin di jari manisnya dengan omong kosong tentang pernikahan. “Apa-apaan ini, Nicholas?” Jelita berusaha melepaskan cincin tersebut dari jari manisnya tetapi ditahan oleh Nicholas. “Menikah? Apa kau kehilangan kewarasanmu? Apa kepalamu baru saja dilempar kamera? Atau kejatuhan lampu?” rentetnya dengan kesal. Bukankah ia yang jatuh pingsan, kenapa malah Nicholas yang kehilangan otaknya. Nicholas hanya menarik seulas senyum sebagai jawaban. “Kita harus menikah. Kita membutuhkan pernikahan ini.”

  • Menjadi Ibu Untuk Anakku   2. Extra Kiano Dan Marcel 2

    Sepanjang perjalanan, Megan sengaja membisu. Matanya terpejam, menahan tangisan kekecewaan dan perasaannya yang campur aduk. Semua ingatan buruknya naik ke permukaan. Keberengsekan Marcel, kehamilannya, pertengkarannya dan Mikail, lalu perceraian mereka. Semua memenuhi benaknya, menekan dadanya. Setelah semua ini, kenapa kenyataan ini harus naik ke permukaan. Menamparnya dengan keras.Setelah setengah jam kemudian, Mikail menghentikan mobil tepat di teras rumah. Belum sempat mematikan mesin mobilnya, Megan sudah membuka pintu mobil. “Tunggu, Megan.” Tangan Mikail tak sempat menangkap tangan Megan yang sudah melompat turun. “Kau harus hati-hati. Kakimu …” Mikail pun menyusul melompat turun dari dalam mobil.Mikail semakin dibuat kebingungan oleh perubahan sikap Megan. Ia setengah berlari mengejar dan berhasil menangkap pergelangan tangan wanita itu di tengah ruang tamu. “Apa yang terjadi, Megan? Kenapa denganmu?”Megan menatap wajah Mikail dengan penuh kekecewaan, tetapi bibirnya tetap

  • Menjadi Ibu Untuk Anakku   1. Extra Kiano Dan Marcel

    Satu bulan kemudian … Setelah satu bulan. Dengan diantar Mikail, akhirnya hari ini Megan kembali ke rumah sakit untuk melepaskan gips di kaki kanannya. Retakan di tulang kaki Megan sudah sembuh, meski harus tetap hati-hati dan menggunakan peyangga demi melatih kaki yang sudah lama tidak digunakan untuk jalan. Sekarang keduanya berada di lift, hendak turun ke lantai basement dan kembali pulang. Megan duduk di kursi roda, meski sudah bersikeras akan berjalan kaki dengan peyangga saja, Mikail malah mendudukkan pantatnya di sana. Mendorong kursi roda dan membungkam protes Megan dengan tegas. “Jam berapa sekarang?” “Dua.” “Kiano sudah pulang?” “Ya, Marcel sudah menjemputnya, dia baru saja sampai di sekolahnya Kiano.” Megan mendesah kesal. Selama satu bulan penuh dan karena kakinya yang butuh perawatan khusus, Mikail menyerahkan semua tentang Kiano pada Marcel. Ya, Megan masih belum sepenuhnya menerima sikap baik Marcel meski pria itu selalu memperlakukannya dengan baik. Seperti yang

  • Menjadi Ibu Untuk Anakku   100. Akhir Untuk Alicia

    Mikail membeku dalam ketercengangannya, kehilangan kata-kata ketika menemukan perut Alicia yang membesar hanyalah sebuah perut palsu yang dililit di pinggang. Sekilas tampak seperti nyata, tapi … itu terbuat dari bantalan kain yang menyerupai perut asli. Bahkan memiliki pusar di tengahnya. Cukup lama bagi Mikail untuk mencerna apa yang disaksikannya saat ini, dalam kebingungannya ia berusaha menemukan pijakannya. Alicia membelalak, terkesiap dengan keras dan wajahnya tertunduk menatap perut palsunya yang sekarang terekspos di hadapan Mikail. Kebohongannya terbongkar, dilucuti habis-habisan tak hanya oleh Mikail, tetapi juga oleh Marcel. Tidak, kebohongannya yang sudah ia bangun mati-matian, tidak bisa terbongkar semudah ini. “M-mi …” bibirnya bergetar hebat, bahkan hanya untuk memanggil nama Mikail. Ia bahkan belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, tetapi kembali dipatahkan oleh kalimat Marcel. “Dia benar-benar menipumu mentah-mentah, Mikail. Aku sudah mengatakan padamu, kan.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status