Gibran pun bingung saat sang teman yang paling bar barnya menanyakan jawaban. Ustadz Mahmud hanya menggelengkan kepala."Loh, gimana Andre. Kok kalah sama Gibran yang santri pindahan ini. Harusnya kamu lebih pro dong, dari Gibran," sindir Ustadz Mahmud."Ya gimana ya Ustadz. Saya ini kan santri istimewa. Sebenarnya saya juga sudah pro, cuma ya gak enak lah sama teman lain," ungkap Andre sambil menahan tawa.Semua teman satu kelasnya tertawa mendengar celoteh Andre. Memang benar jika suatu perkumpulan akan ada seseorang yang menjadi tukang buat kelucuan. Sebab tanpa ada yang seperti itu maka terlalu serius juga tak baik."Kamu ini, dasar santri aneh. Ya sudah Gibran kamu sebutin macam-macam hadits Ahad," pinta Ustadz Mahmud."Baik Ustadz, macam-macam hadits Ahad itu iala Hadits Masyhur yang dimana perawinya ada tiga yang meriwayatkan hadits. Kemudian hadits Aziz yang perawinya ada dua dan hadits Garib yang hanya ada satu perawi saja," jawab Gibran dengan sangat lancar."Nah, bagus ini
Tasya menatap kamarnya yang terang, sangat menyilaukan matanya yang baru terbuka. Perlahan dia menatap sekeliling, itu benar kamarnya. "Aakhh." Tasya meringis, kepalanya begitu pening.Pikiran nya kembali ke kejadian tadi, untung ada seseorang yang segera menolongnya. "Kak, gimana keadaan nya?" Tanya Intan, dia begitu panik saat tau Tasya pingsan di tengah jalan tadi."Tasya udah mendingan Ma. Tasya kok bisa ada disini, siapa yang nolong Tasya?" Tasya menatap lekat sang Mama yang tampak khawatir."Nak Delvan, dia sudah pulang barusan saja ini. Nak Delvan sudah cerita semuanya, Kamu kalau mau diantar lain kali mau ya, jangan sok berani kayak tadi. Untung Nak Delvan ngikutin kamu loh Kak." Peringat Mama Intan memijat lengan Tasya yang sedikit berisi itu."I-iya Ma." Tasya meringis saat sang Mama berceloteh. Kesalahan yang sangat fatal, jika sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jika Tasya tadi tidak ada yang menolong.Esok paginya, Tasya berangkat sekolah seperti biasa. Hari ini
Delvan memberenggut, menatap Tasya semakin dalam. "Gak ada tapi-tapian Sya." Pungkasnya.Mama Intan membawa nampan berisi dua gelas susu rasa vanilla dan strawberry. Tak lupa juga kue dessert yang baru dibuatnya. "Silakan di dinikmati ya nak Delvan.""Eh Tante, gak usah repot-repot segala." Delvan merasa tidak enak, pasalnya dia datang untuk bertemu dengan Tasya."Ini gak repot kok Nak. Ouh iya Kak, diminum ya susu strawberry nya. Biar badan kakak segera fit." Lalu Mama Intan meninggalkan mereka berdua lagi.Keduanya kembali hening, tanpa ada yang ingin melanjutkan pembicaraan yang belum usai. Tatapan mereka menyendu, entah apa yang sedang mereka pikirkan lagi.Tapi yang jelas, keduanya dalam kebimbangan. Bullying yang Tasya rasakan kembali membawa trauma, entah sampai kapan dia akan terbebas dengan hal yang begitu berdampak kurang baik dalam hidupnya. Haruskan dia pindah sekolah lagi?"Yang bully Lo Gisel kan?" Tanya Delvan tepat sasaran. Dia sudah menduganya dari kemarin, tapi sedi
"Tasya jebak gue digudang, terus main Jambak rambut gue, Thur." Bela Gisel dengan memelas."Heh, Lo dan kedua teman Lo yang jebak gue. Dasar fitnah." Tasya semakin erat menjambak rambut Gisel. Emosinya sudah tidak stabil. Dia semakin membenci pembullyan. Sudah cukup bersikap sabar, karena akan tetap saja menyakitkan."Diam, kalian semua ikut ke ruang BK. Biar Bu Nada yang bakal hukum kalian!" Arthur menatap tajam ke empat perempuan yang sudah acak-acakan. Ke empat siswi itu sudah berada di ruang BK yang sangat misterius. Bagaimana tidak begitu, suasananya begitu hening dan sekarang di depan mereka sudah ada guru killer yang selalu mengurus siswa yang bermasalah.Perempuan berumur setengah abad itu yang disebut Bu Nada, menatap ke empat siswi itu bergantian. Pandangan nya seolah-olah ingin membunuh."Tasya! Kamu itu siswa baru disini. Harusnya jangan membuat masalah." Ucapnya.Tasya menelan ludah, susah payah dia membuka suara dengan terpaksa. "Maaf Bu, tapi memang bukan saya pelakun
Tasya melihat perempuan itu semakin mendekati Delvan. Namun laki-laki yang sedang berpakaian santai itu terlihat acuh tak acuh. "Kamu kenapa kok diluar sih?" Tanyanya sekali lagi."Bukan urusan Lo." Jawab Delvan ketus. Mengikis jarak dengan perempuan yang dipanggil mama itu."Gak boleh gitu Delvan, kita harus sering berbincang agar hubungan kita semakin dekat." Senyuman nya manis menatap lekat ke arah Delvan."Gila Lo ya." Delvan beralih mendekat ke Tasya."Dia siapa Van? Biasa banget tampilan nya. Gak cocok banget deket sama kamu." Perempuan itu menunjukkan ekspresi tidak sukanya saat menatap Tasya.Tasya yang hanya berdiri memaku di tempat, di hadapannya sekarang terlihat percakapan kedua insan. Lalu Tasya beranjak dan menghidupi motor pink maticnya itu. "Sya." Delvan memanggil namun yang dipanggil sudah tancap gas. Tanpa melihat ke belakang lagi. Tasya meninggalkan rumah Delvan dengan sejuta pertanyaan."Lo apa-apa an sih kesini! Pergi sekarang sebelum gue panggilin Lo satpam." Uc
Delvan hanya geleng-geleng, ada baiknya memang dirinya berada di perkumpulan temannya. Meskipun konyol, setidaknya selalu menghibur. Daripada dirumahnya yang tak ada ketenangan. Semuanya seakan terasa mencekam.***Di lain tempat, Tasya sedang melamun. Memikirkan nasibnya yang kadang selalu tidak ada kejelasan. Entah tentang sekolah, pertemanan, maupun kisah asmara. Sama-sama kacau.Masalah sekolah yang tak berjalan dengan mulus. Nilai yang tak berlebihan, kadang setara dengan KKM. Bahkan Tasya tak pernah mengikuti lomba apapun, saking gak adanya bakat dalam diri Tasya.Tasya sangat ingin mengikuti suatu olimpiade yang dimana bisa membawa piala dan membuat semua orang bangga, apalagi tadi melihat mamanya yang kegirangan kala tau Delvan baru saja memenangkan olimpiade matematika."Pasti seru ya, jadi orang pintar. Gak pusing waktu ngerjain soal, gak ketakutan waktu ditanyain guru, terus bisa dipuji banyak orang dan banyak yang bangga." Ucap Tasya seorang diri."Eh, kalau pengen dipuji