Share

2|Semoga Bahagia

Para tenaga medis bergerak sangat lambat memeriksa kondisiku. Rasanya aku sudah berbaring berjam-jam, tetapi mereka tidak juga datang menangani rasa sakitku. Ketika aku akhirnya didatangi seorang dokter, barulah aku merasa sedikit tenang.

“Segera pindahkan dia ke ruang operasi,” kata dokter itu memberi perintah. Ruang operasi?

“Apa yang terjadi, Dokter? Bayi saya baik-baik saja, ‘kan?” tanyaku panik. Dia menatap aku dengan prihatin. Aku tahu sebuah berita buruk tanpa perlu dijelaskan dengan kata-kata.

Jiwaku mati ketika bangun dalam sebuah kamar rawat seorang diri, tanpa keluarga dan teman. Ruangan serba putih itu terasa sepi meskipun banyak pasien lain yang berada di kamar yang sama, hanya berbeda bilik. Ponselku terus bergetar, maka aku mengalah dan menyentuh tombol hijau.

“Mengapa kamu tidak menjawab ponselmu dari tadi!? Aku pikir kamu sudah mati!” teriak Galang, memarahi aku dengan nada panik. “Kamu ada di mana? Aku sudah bilang aku akan menjemput dari tempat kerja!”

“Di rumah sakit,” jawabku lemah. Dia terdiam, tidak segera merespons.

“Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan lembut. Aku menggumam. “Rumah sakit mana?”

Karena bangsal ini khusus pasien spesialis kandungan, aku mengerti mengapa mereka menatap aku dengan prihatin. Suster juga pasti sudah memberi tahu alasan aku berada di sini. Syukurlah, operasi yang dimaksudkan hanya sebentar, tetapi dampaknya seumur hidupku.

Galang tiba beberapa menit kemudian dengan wajah khawatir. Aku yakin mukaku sepucat mukanya. Dia duduk di kursi di sisi ranjang dan tidak mengatakan apa pun. Dia pasti sudah tahu apa yang aku alami. Aku tersenyum saat dia memegang tanganku.

“Jangan beri tahu orang tuaku atau siapa pun mengenai ini.” Dia membuka mulut ingin bicara. “Aku mohon. Aku sudah kehilangan segalanya, aku tidak mau kehilangan mamaku juga.”

Dia memejamkan mata, lalu menarik napas panjang. Selama kami berteman, dia mengetahui banyak rahasiaku, walau tidak melebihi yang diketahui Sonya. Aku tahu yang aku lakukan ini jahat, tetapi kepada siapa lagi aku memercayakan rahasia besarku ini?

“Kita naik gunung besok. Jadi, orang tuamu tidak akan curiga bila kamu tidak pulang malam ini,” gumamnya. Aku tersenyum tipis. “Kamu tidak bisa melarang aku untuk membunuhnya sekarang.”

“Kalau kamu mau dipenjara selama dua puluh tahun dan membiarkan aku sendiri selama itu, silakan.” Dia diam mendengar kalimatku itu. Maka aku pun tidak bicara lagi.

Lima hari dirawat di rumah sakit, aku menginap selama satu malam di hotel. Orang tuaku akan curiga jika aku pulang lebih cepat dari rencana. Pulang ke rumah, aku bersikap seperti biasanya. Mereka memeluk aku, menghibur karena mereka sudah tahu Doddy akan menikah.

Aku berangkat kerja pada hari Senin pagi agar mereka tidak curiga aku telah dipecat. Sudah cukup pandangan kasihan yang mereka tujukan kepadaku. Jangan sampai bertambah lagi hanya karena aku sekarang seorang pengangguran. Aku masih punya harga diri. Lagi pula, pekerjaan masih bisa dicari.

“Sudah aku duga. Aku pasti akan menemukan kamu di sini.” Seorang wanita duduk di kursi kosong di depanku dengan santai. “Jus jeruk saja satu. Minuman yang aman untuk bayiku.” Dia melirik aku saat mengatakan kalimat itu.

“Baik. Mohon tunggu sebentar, Bu.” Pelayan yang mengantarnya meninggalkan kami.

“Wah, karyawan panutan akhirnya dipecat juga,” ejeknya melihat catatan di depanku. “Kamu tidak curiga mengapa mereka memecat kamu?”

Aku mengangkat kepala dari layar ponsel dan menatapnya. Tidak mungkin. Dia tersenyum bahagia cukup menjadi jawaban atas kecurigaanku itu. Dia adalah sahabatku yang sangat baik. Sama seperti Galang yang selalu ada untukku dan aku untuknya. Mengapa dia jadi begini?

“Menjadi tunangan Doddy sangat menguntungkan. Dia punya kekuasaan yang tidak terbatas. Aku hanya perlu sedikit merengek, dia mengabulkan apa pun yang aku minta. Cukup satu kata, orang mau melakukan apa saja untuknya.” Dia tertawa kecil sambil menatap cincin pertunangannya.

“Haah, Yola. Kamu sudah menyia-nyiakan kekuasaan yang bisa kamu dapatkan lewat dia. Kamu selalu membuat aku geregetan dengan sikap naifmu. Lihat aku. Semua yang menghalangi jalanku dengan mudah bisa aku singkirkan.” Dia mengangkat dagunya dengan sombong.

“Kalian sudah lama bersama, tetapi kamu tidak hamil juga.” Tangannya mengelus perutnya yang masih rata. “Doddy kini mengerti. Hanya aku yang bisa membuat dia bahagia.”

Dadaku sesak mendengar semua hinaan itu, tetapi aku menahan diri. Aku tidak mau menjadi rendah sama seperti dia. Aku memikirkan setiap kata yang akan aku ucapkan. Doddy memang pacarku, ah, mantan pacarku. Namun aku tidak mau menunjukkan kepadanya bahwa pria itu masih punya arti.

“Lakukan saja apa yang kamu mau, Sonya. Jika masih ada lagi yang kamu inginkan, lakukanlah. Kamu sudah merebut pacarku, pekerjaanku, silakan kalau kamu mau mengambil Galang dan keluargaku juga. Ambil nyawaku bila kamu belum puas,” kataku, menantangnya.

“Galang? Aku tidak akan mengambil laki-laki miskin begitu darimu. Untuk apa?” Dia tertawa gugup. “Keluargamu bukan urusanku. Aku punya keluarga yang jauh lebih baik darimu. Ibuku tidak kolot seperti ibumu yang akan memarahi kamu kalau tahu kamu tidur dengan laki-laki di luar nikah. Atau ayahmu yang memanfaatkan relasinya dengan ayah Doddy dengan meminjam modal usaha.”

Aku memasukkan buku, peralatan menulis, dan ponsel ke tas, lalu meletakkan selembar uang kertas berwarna merah di atas meja. Ada banyak hal yang bisa aku lakukan selain bicara dengannya. Mulai dari hari ini, aku perlu mencari kafe baru sebagai tempat pelarianku.

“Semoga bahagia dengan Doddy dan anak kalian. Selamat menikmati laki-laki bekasku,” kataku sambil tersenyum tulus.

“Berengsek!” Dia segera berdiri menyebabkan bunyi meja dan kursinya yang bergeser memenuhi ruangan. Orang-orang dari meja lain menoleh ke arah kami. “Dia bukan bekasmu! Fayola! Jangan pergi! Kamu akan menyesal sudah berani melawan aku! Aarrgghhh!”

Aku benar-benar terkejut. Sonya yang aku kenal bisa sejahat itu. Siapa Sonya yang selama ini telah menjadi sahabat baikku? Kami adalah teman sebangku sejak SMU. Apa yang telah terjadi selama sepuluh tahun kami bersama? Apakah dia hanya berpura-pura menjadi temanku?

Melihat Galang memasuki areal parkir kafe, aku menghindar saat dia berhenti di dekatku. Bila Sonya tega mengkhianati aku, mungkinkah Galang juga tidak tulus berteman denganku? Apa yang terjadi? Bagaimana aku bisa salah memilih kekasih dan sahabat?

“Fay! Apa-apaan kamu ini?” Dia mengejar, lalu meraih tanganku sehingga aku terpaksa berhenti. “Kamu sedang sakit. Mengapa kamu malah tidak ada di rumah?”

“Orang tuaku tidak tahu aku dipecat,” akuku dengan jujur.

“Apa? Kamu dipecat? Atas alasan apa?” tanyanya terkejut.

Aku tidak sempat memberi tahu dia karena sedang dirawat di rumah sakit. Tidak ada hal lain yang aku pikirkan selain kehilangan besar itu. Walaupun berhari-hari dia setia menemani aku sepulang kerja, kami sama sekali tidak bicara.

“Mengapa kamu tidak bilang? Aku bisa membantu kamu,” katanya dengan lembut.

“Membantu aku? Apa kamu pikir aku tidak bisa mencari pekerjaan sendiri?’ ucapku ketus.

“Apa salahnya aku membantu teman?” tanyanya bingung.

“Sekarang kamu membantu, lalu kamu akan ungkit-ungkit hal itu sampai aku mati.”

“Hei, sebentar. Apa kamu pikir aku sepicik Sonya? Aku teman suka dukamu, tidak ada pamrih atau syarat. Jangan samakan aku dengan pengkhianat itu,” ujarnya tersinggung. “Ayo, pulang. Kamu jadi tidak waras gara-gara belum pulih.”

Aku tidak melawan lagi dan mengikuti dia mendekati sepeda motornya. Dadaku mendadak terasa sesak, aku tidak bermaksud bicara kasar kepadanya. Dia mendesah pelan melihat air mataku. Aku semakin kesulitan untuk berhenti menangis. Dasar lemah!

“Wah, wah. Mesra sekali,” kata Sonya yang masih belum mengerti juga. “Doddy selalu curiga kalian berdua berselingkuh di belakangnya. Melihat ini, dugaannya itu benar.”

Galang memasang helm di kepalaku, lalu menaiki sepeda motornya. Dia membantu aku menaiki kendaraan itu, lalu menstarternya. Aku memeluk sahabatku dari belakang dan hanya diam melihat Sonya tersenyum sinis. Aku tidak peduli apa yang dia pikirkan tentang kami.

Air mataku akhirnya kering. Hatiku masih sakit setiap mendengar namanya, apalagi Mama tidak berhenti memaki dan mengutukinya. Namun aku tidak menangis lagi untuknya, walau jauh di lubuk hati, aku masih berharap kami bisa kembali bersama.

“Kamu sudah gila,” kata Galang yang ada di sisiku. Kami duduk di barisan paling belakang gereja, menyaksikan Doddy dan Sonya mengucapkan sumpah setia mereka.

“Aku mau melihat langsung dua orang bau busuk itu menikah. Aku tidak akan membiarkan mereka bahagia di atas penderitaanku. Mereka pasti terkejut melihat aku berani hadir di sini,” ucapku.

“Masalahnya, untuk apa aku ikut juga?” protesnya. Dia melihat ke sekeliling kami yang dipadati dengan tamu undangan. Orang tua Doddy adalah orang yang terpandang, jadi aku tidak heran.

Di mata semua orang, mereka adalah pasangan yang serasi. Doddy yang tinggi dan tampan, berasal dari keluarga yang berada dan disegani, menyelesaikan pendidikan di kampus bergengsi di luar negeri, bersanding dengan Sonya. Wanita itu juga bertubuh tinggi dan cantik, serta kaya raya.

“Kamu temanku atau bukan? Bagaimana kalau aku mendadak pingsan? Kamu tidak mau menolong?” tantangku, mengingatkan semua janjinya kepadaku. Dia mengomel sendiri.

Sekali berkhianat, selamanya akan berkhianat. Doddy sudah melakukan hal bodoh dengan memilih perempuan itu menjadi istrinya. Lihat saja, aku akan hidup lebih baik dari mereka. Rasa sakit ini akan selalu aku ingat.

Tidak sudi makan dari uang haram mereka, aku mengajak Galang makan di kafe yang kini menjadi tempat favoritku. Aku memesan banyak makanan dan minuman untukku sendiri. Dia malah hanya memesan satu paket menu. Aneh. Biasanya dia makan lebih banyak dariku.

“Ada apa? Kamu tidak selera makan setelah melihat pernikahan tadi?” ejekku. Wajahnya semakin serius. Ketika dia tiba-tiba berdiri, lalu berlutut di dekatku, jantungku berdebar dengan cepat.

“Galang?” tanyaku dengan bingung. Apa yang sedang dia lakukan? Oh, Tuhan. Jangan-jangan—

Meina H.

Terima kasih sudah membaca~ Jika menyukai cerita ini, bantu vote dan beri review di "Tentang buku ini", ya. ♡ Aku sangat menghargai dukungan teman-teman.

| 2

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status