Share

3|Lamaran Gila

~Lima belas tahun kemudian~

“Ayo, kita menikah,” ajak Galang dengan serius.

Aku memuncratkan kopi yang belum sempat aku teguk. “Fay! Kamu ini jorok amat!” pekiknya kesal. Cairan hitam pekat itu membasahi wajah arogannya. Biar tahu rasa. Bicara tidak pakai otak, apa dia pikir aku suka dengan candaannya tadi?

“Mamamu mendesak kamu untuk menikah, apa hubungannya denganku? Ada banyak perempuan di kafe ini, kamu pilih saja satu.” Aku mengusap bibirku yang basah dengan tisu.

“Bukannya mamamu juga memaksa kamu untuk menikah secepat mungkin?” ejeknya, tidak mau kalah. Aku menahan tawa melihat wajahnya masih basah dengan kopi. “Kita sama-sama sudah empat puluh tahun, tetapi mereka masih saja berisik seperti kaset rusak. Tidak sabar amat.”

Aku juga capai mendengar omelan dan desakan Mama. Setiap hari pasti ada saja omongannya yang mengarah ke sana. Namun bukan berarti aku akan menyerah begitu saja. Sama seperti wanita lain, aku juga mau membina rumah tanggaku sendiri, tetapi aku belum siap.

“Kamu bertahan selama tujuh belas tahun terakhir, lalu mengapa kamu ingin menyerah sekarang?” tanyaku heran. “Apa mamamu mengancam akan bunuh diri?”

“Aku hanya mau hidup tenang dan damai. Sebentar lagi akhir tahun, jadi kami akan berkumpul sekeluarga. Kalau aku masih sendiri, mereka pasti akan menyerang aku selama liburan itu.” Dia mengacak-acak poninya dengan frustrasi.

“Maaf, Sobat. Aku tidak bisa menikah denganmu. Geli. Kamu itu sudah aku anggap seperti saudara kandungku sendiri.” Aku bergidik ngeri.

Itu bukanlah alasan yang sebenarnya, karena menikah dengan orang yang sudah aku kenal dengan baik justru sangat menguntungkan. Aku tidak perlu belajar untuk mengenal sifatnya, kebaikan, kelemahan, atau apa yang dia suka dan tidak. Pernikahan kami pasti berjalan dengan baik.

Namun Galang adalah pengecualian. Kami sudah tahu sama tahu mengenai sifat, kesukaan, impian, bahkan masa lalu masing-masing. Memandang dia lebih dari teman adalah hal yang mustahil. Aku juga tidak mau menyeret sahabatku sendiri dalam pernikahan yang tidak bahagia.

“Yakin itu alasannya?” Dia mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. “Bukan karena mantan goblokmu itu? Kamu tahu aku tidak dan tidak akan pernah menyakiti kamu, jadi pernikahan kita akan sama saja rasanya seperti hubungan kita selama ini. Bedanya, kita tinggal satu rumah.”

Tawarannya itu sangat menggiurkan. Mama tidak akan berisik lagi mendesak aku segera menikah. Adik-adik juga tidak akan mengejek aku yang sudah lama sendiri. Sanak saudara juga tidak akan berebut memperkenalkan laki-laki lajang yang mereka kenal kepadaku.

Plus, Galang sudah punya rumah sendiri. Rumah berkamar tiga yang sangat indah dan asri. Aku pikir dia akan segera menikah sehingga membeli rumah dengan kamar sebanyak itu, tetapi sepuluh tahun kemudian, dia masih asyik melajang. Pria yang aneh.

“Entahlah, Lang.” Aku menggeleng pelan. Melihat dia memutar bola matanya, lalu memasukkan jari kelingkingnya ke lubang hidung, aku mual. “Jorok! Bersihkan hidungmu di kamar mandi! Jangan di sini!” Dia malah tertawa senang.

Walaupun kami sudah berteman selama dua puluh lima tahun, aku tidak pernah terbiasa melihat dia dengan kebiasaan joroknya itu. Mungkin itu juga yang membuat aku nyaman bersahabat selama ini dengannya. Kami tidak pernah sungkan menjadi diri sendiri saat bersama.

Galang mengantar aku dengan sepeda motornya ke rumah. Dia selalu mengendarai dengan cepat, karena itu aku harus memeluknya dari belakang. Sebuah kebiasaan yang tidak lagi mengganggu. Aku juga bisa duduk dengan nyaman sambil berpegangan pada tubuhnya.

“Persiapan lamaran adikmu?” tanyanya, melihat barisan kendaraan di sebelah kiri jalan. Dia menolong aku turun dengan memberikan tangannya.

“Iya. Aku harus bersiap mendengar nasihat yang itu lagi, itu lagi dari mereka semua.” Aku melepas helm dan mengembalikan kepadanya.

“Tawaranku masih berlaku kalau kamu mau.” Dia menerima helm dan menggantungnya di setang. “Nyonya Galang Pamungkas. Keren, ‘kan?”

Entah mengapa dia selalu bercanda untuk hal yang seserius itu. Setiap kali aku bertanya mengapa aku, dia selalu menjawab mengapa tidak. Apa dia pikir pernikahan itu hanya permainan dan cara jitu untuk membungkam mulut keluarga kami? Pria ceroboh ini tidak pernah bisa aku mengerti.

“Tidak, terima kasih. Sampai dunia kiamat pun, aku tidak akan menikah denganmu,” kataku dengan tegas. Dia hanya tertawa terbahak-bahak.

Pertemuan keluarga hari ini adalah dalam rangka persiapan lamaran adik bungsuku. Eh, jangan salah. Kami hanya tiga bersaudara, jadi tidak banyak adikku yang sudah melangkahi aku. Hanya dua orang. Adik laki-laki dan perempuan.

Aku sengaja pulang beberapa detik sebelum acara dimulai supaya tidak ada yang kasak-kusuk, memaksa aku untuk segera menikah. Heran. Aku sudah berusia empat puluh tahun, sudah bosan dengan pertanyaan itu-itu saja. Mereka kapan bosannya, sih?

“Kamu dari mana saja?” omel Mama yang berjalan keluar dari dapur. “Cepat ganti bajumu dan duduk di ruang depan!”

Tanpa menjawab, aku ambil langkah seribu ke kamarku di lantai atas. Sejak adik laki-lakiku menikah, aku dan adik perempuanku bisa tidur di kamar masing-masing. Tidak perlu sempit-sempitan tidur berdua lagi. Jadi, aku bisa dengan santai meletakkan baju yang kurang cocok di atas ranjang.

Begitu menemukan pakaian yang pas, aku menyisir rambut dan memulas sedikit riasan. Dengan langkah berjingkat, aku menuju ruang depan. Mama melotot tajam melihat aku bergabung ketika acara sudah dimulai. Ada-ada saja. Ini bukan acaraku, untuk apa aku harus datang tepat waktu?

“Nah, Yola,” ucap Tante, adik kandung Mama, mendekati aku setelah acara usai.

Aku belum sempat kabur, karena dia sudah berdiri di sisiku. Sial. Aku memutar otak untuk mencari alasan mengalihkan perhatiannya. Tante mudah dikibuli, jadi dia tidak akan bisa menginterogasi aku panjang lebar. Aku harus cepat sebelum wanita lain di keluargaku ikut menyerang dan aku terpaksa bicara kasar.

“Dua adikmu sudah punya pasangan. Kamu kapan?” tanyanya. “Jangan ditunda lagi. Umur kamu sudah kepala empat. Masa kakak kalah dengan adik-adiknya? Mamamu saja tidak begitu.”

Tidak adil menyamakan aku dengan Mama. Zaman mereka jelas sudah jauh berbeda dengan zaman kami. Perempuan zaman dahulu memang dituntut untuk cepat menikah, karena usianya dianggap sudah cukup. Wanita zaman sekarang ada banyak pertimbangan sebelum memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya. Itu pun kalau punya pacar. Kalau tidak?

“Iya, Tante. Om sudah keluar, tuh. Tante mau ditinggal?” kataku berbohong. Dia menoleh ke arah pintu, dan kesempatan itu aku gunakan untuk kabur.

“Yola! Kamu ini! Awas, ya!” seru Tante dengan geram.

Aku bergegas ke lantai atas dan masuk ke kamar. Aku tersenyum melihat kotak makanan yang aku bawa bersamaku. Lumayan. Aku tidak perlu menunggu semua orang pulang untuk makan malam. Malas sekali mendengar pertanyaan yang sama dari mereka.

Jika usiaku masih dua puluhan, aku akan termotivasi dengan pertanyaan dan dorongan itu. Berbeda dengan sekarang. Aku sudah lebih matang dalam berpikir dan banyak belajar dari pengalaman orang-orang di sekitarku seputar pernikahan. Jadi, usia tidak menghalangi aku untuk tetap hati-hati.

“Kamu ini membuat aku malu saja,” ucap Mama yang melihat aku memasuki dapur. Dia sedang memasukkan makanan ke kotak agar bisa disimpan di dalam kulkas. Aku berdiri di sisinya dan ikut membantu membereskan semua lauk-pauk tersebut.

“Makanya, Kak, jangan terlalu memilih. Kalau Kakak menunggu cowok yang ganteng dan kaya datang melamar, maka Kakak akan sendiri selamanya,” ejek adikku. “Lihat aku. Pria pertama yang mengajak pacaran kini akan menjadi suamiku. Lima tahun menjalin hubungan, dia sudah sukses besar.”

Adikku cantik dan supel. Rasanya sangat berlebihan untuk membandingkan dirinya dengan aku. Wajahku biasa saja dan cara bicaraku cukup kasar. Laki-laki suka berteman denganku, tetapi untuk menjadi kekasih mereka, temanku sendiri pun berpikir dua kali. Hanya Galang yang agak gila.

“Jangan samakan kamu dengan kakakmu. Usiamu masih tiga puluh, tidak apa-apa berpacaran dengan karyawan biasa. Masa Yola tidak bisa mendapatkan pria yang lebih sukses dari calonmu? Empat puluh tahun itu usia yang banyak,” sindir Mama.

“Ooo. Jadi pria seperti itu yang Kakak cari. Pantas saja masih sendiri,” ucap adikku dengan nada meledek. “Ya, sudah. Kalau Kakak tua nanti, aku akan meminta salah satu anakku untuk merawat Kakak. Jadi, Kakak tidak usah khawatir akan kesepian di masa pensiun.”

Enak saja dia bicara begitu. Apa dia pikir aku tidak punya cukup tabungan untuk membayar seorang perawat yang bisa menemani aku di masa tua? Seorang anak pasti punya impian dan harapannya sendiri. Aku tidak akan sudi membebani keponakanku untuk mengurus aku.

“Memangnya hanya kamu saja yang sudah punya calon suami? Aku juga sudah,” kataku tanpa dapat aku cegah. Aku paling benci jika ada orang yang merendahkan aku, tidak terkecuali bila orang yang melakukannya adalah adik atau anggota keluargaku yang lain.

“Kamu serius??” tanya Mama tidak percaya. Oh. Sial.

“Siapa, Kak?” tanya adikku tidak mau kalah. Dia mengeringkan tangan dengan handuk kecil, lalu mendekati kami. “Aku tidak pernah melihat Kakak membawa pacar ke rumah.”

“Aku sudah empat puluh, apa kamu pikir aku akan berpacaran lama seperti kamu baru menikah?” Sudah telanjur keceplosan, lanjutkan saja, deh.

“Buktikan. Bawa dia ke sini besok sore.” Mama menatap aku dengan tajam.

“Apa, Ma? Besok sore?” tanyaku terkejut.

“Kalau tidak, maka kamu harus mau berkenalan dengan pria ini.” Mama meletakkan selembar foto di atas meja. “Nenekmu sangat menyukai dia.”

Mati aku. Hanya ada satu laki-laki yang bicara pernikahan denganku baru-baru ini. Tidak, tidak, tidak. Masa aku menikah dengan Galang, sahabatku sendiri?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Susiana Margono
ok...ok..good...️
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status