Share

4|Menjilat Ludah

Mama sudah gila. Nenek juga sudah kehilangan akal. Kalau menyukai seorang pria, mengapa tidak dia saja yang menikah dengannya? Mengapa malah aku yang harus dikorbankan? Katanya, aku diberi waktu sampai sore ini untuk membawa calon suamiku. Mengapa pria itu datang saat makan siang?

Duh, aku sudah lapar. Gara-gara Nenek, aku tidak bisa masuk ke rumahku sendiri. Demi menghindari pertanyaan orang mengenai statusku yang tidak juga berubah, aku beribadah di gereja lain. Kalau tahu begini, aku makan dahulu baru pulang.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” Aku melompat terkejut mendengar suara itu.

“Galang! Dasar bodoh!” pekikku dengan suara tertahan. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Aku pasti sibuk dengan pikiran sendiri sampai tidak mendengar bunyi mesin motornya.

“Kamu pasti belum aktifkan ponselmu sejak pagi tadi.” Dia mengangkat salah satu alis matanya. “Siapa yang datang? Ini bukan mobil keluargamu. Aku rencananya mau ajak kamu makan siang—”

“Ayo!” Aku segera menerimanya.

Dia membawa aku ke sebuah restoran yang tidak ramai. Kami memesan makanan dan minuman, lalu fokus dengan ponsel masing-masing. Dia maupun aku tidak tersinggung sekalipun yang kami lakukan hanya sibuk sendiri setiap kali bersama.

“Bagaimana acara keluarga kemarin?” tanyanya ketika pelayan pergi setelah mengantar minuman.

“Lancar,” jawabku singkat, tanpa mengangkat kepalaku dari layar ponsel.

“Keluarga besarmu pasti mendesak kamu lagi untuk segera menikah,” katanya, mengejek. “Kamu mengikuti acara sampai selesai atau kabur?”

“Bisakah kita berhenti membicarakan ini?” ucapku kesal. Kali ini, aku mengangkat kepalaku dari layar ponsel. “Masa bersamamu pun aku harus mendengar sindiran yang sama??”

“Aku sudah memberi solusi, kamu yang tidak mau,” katanya lagi masih dengan nada mengejek.

Bagus. Itu adalah sinyal yang aku tunggu-tunggu. Tetapi aku tidak menunjukkan rasa senang dan lega mendengar kalimat itu dia ucapkan lagi. Harga diriku bisa jatuh kalau dia sampai tahu bahwa aku membutuhkan bantuannya. Apalagi setelah aku menolaknya.

“Baiklah,” kataku, acuh tak acuh.

“Apa katamu?” Dia menegakkan posisi duduknya.

Aku mendesah pelan, pura-pura bosan dengan pembahasan itu. “Ya, sudah, kalau kamu tidak mau.”

“Oke. Ayo, kita menikah.” Dia segera meneguk habis isi gelasnya, lalu mengajak aku untuk berdiri. Karena aku hanya diam, dia meraih tanganku dan memaksa aku untuk bangun.

“Kita mau ke mana? Aku belum selesai makan,” protesku, melihat piringku masih penuh. Padahal aku sangat senang dia tidak marah atau berpura-pura menjual mahal setelah aku menjawab iya.

“Aku akan membawa kamu makan ke tempat yang kamu sukai. Kita harus menemui orang tuamu sekarang, sebelum kamu berubah pikiran.” Dia memberikan dua lembar uang kertas berwarna merah di atas konter kasir, lalu menarik aku keluar.

Dia benar-benar sudah gila. Aku baru menjawab iya, dia langsung melamar aku di depan orang tuaku. Nenek dan pria yang dia bawa bengong mendengarnya. Papa dan Mama tentu saja bahagia dengan berita itu. Adikku yang cemberut, karena pernikahannya dikesampingkan demi menyiapkan acaraku terlebih dahulu.

Orang tua Galang juga senang sekali mendengar kabar itu dari mulut putra mereka sendiri. Mereka sudah mengenal aku dengan baik, jadi kami tidak kesulitan mendapatkan restu dari mereka. Tanggal pernikahan pun ditentukan bersama. Kami hanya punya waktu satu bulan supaya adikku tetap bisa menikah pada hari yang sudah disepakati.

“Kalian benar-benar serius niat menikah, ‘kan?” tanya Mama. Dia menatap aku lewat cermin besar di depanku. Seorang wanita sedang memeriksa bagian mana dari kebaya yang aku pilih yang perlu diperbaiki. Kami tidak punya banyak waktu, jadi aku membeli kebaya yang sudah jadi.

“Kita sudah melakukan acara lamaran sederhana di depan sanak saudara. Kami kurang serius apa lagi, Ma?” tanyaku, pura-pura tersinggung dengan pertanyaannya itu.

“Siapa tahu kalian menikah hanya demi menutup mulut kami. Kalian sudah lama berteman, aneh rasanya kalian baru memutuskan untuk menikah sekarang.” Dia menatap aku penuh curiga.

“Aku mencintai Galang, Ma.” Air ludahku mendadak pahit sehingga aku kesulitan menelan. Kalimat itu terasa asing di mulutku. “Terlalu lama bersama membuat aku tidak menyadari perasaanku sendiri. Kami berdua serius ingin menikah.” Aku semakin kesusahan menelan.

“Aku senang mendengarnya.” Mama tersenyum bahagia. Tidak peduli dengan wanita yang berada di dekatku, dia memeluk aku dengan erat dari belakang.

Mataku memanas dan darahku berdesir dari kepala ke seluruh tubuhku. Aku terharu sekaligus merasa bersalah telah membohongi mamaku sendiri. Air mata mendesak keluar, aku menahan diri sekuat mungkin. Ada orang lain di sini, dan aku tidak mau ada yang melihat saat sedang menangis.

“Ada yang perlu kita bicarakan sebelum kita menikah,” kataku saat dia mengajak aku makan malam bersama untuk yang terakhir kalinya. Kami tidak boleh bertemu mulai esok hingga hari pernikahan.

“Tanggal sudah ditentukan, apalagi yang perlu kita bahas?” tanya Galang bingung.

“Kamu adalah sahabatku, Lang. Aku tidak punya perasaan apa pun kepadamu. Jadi, aku berharap kamu menepati janjimu bahwa hubungan kita tidak akan berubah,” kataku, mengingatkan.

“Aku selalu menepati janji, Fay.” Walaupun dia mengatakannya dengan santai, aku tahu bahwa dia serius dengan kalimatnya itu.

Semua persiapan berjalan dengan lancar, sekalipun terburu-buru. Galang tidak keberatan berapa pun uang yang kami keluarkan. Pakaian pernikahan kami, seragam keluarga inti, tempat resepsi, hingga detail kecil lainnya ditanggung olehnya.

Mama adalah calon mertua yang sangat bijak. Dia tidak memanfaatkan kebaikan calon menantunya dengan meminta hal-hal yang tidak masuk akal. Justru Galang yang tidak berhenti bertanya, apa lagi pengeluaran yang perlu dia transfer kepada Mama atau orang yang berkepentingan.

“Aku sudah gila,” gumamku pelan melihat pernikahan ini nyata.

Seluruh keluarga besarku menghadirinya. Mereka yang tinggal di pelosok negeri sampai yang tidak diizinkan atasannya untuk pulang ke tanah air pun berbondong-bondong datang. Matilah aku. Tidak sebesar ini pernikahan yang aku bayangkan. Cukuplah keluarga dan sahabat yang tinggal di kota ini yang menyaksikan pengambilan sumpah kami.

“Kak, lihat ini! Anakmu memecahkan ponselku! Siapa yang memindahkan kacamata yang ada di atas meja? Di mana sepatuku yang berwarna putih?? Bulu mata palsuku lepas, tolong! Ma, dasi Papa di mana? Dik, anakmu muntah! Mama, Adik jatuh dari kursi!”

Keributan itu menyambut aku ketika membuka pintu kamar. Sanak saudara yang menginap di rumah kami lalu-lalang di depanku, tidak memedulikan aku. Penata rias dan para asistennya menolong aku menuruni tangga tanpa insiden. Mobil pengantin sudah menunggu di depan rumah.

Upacara pernikahan berjalan lancar, meskipun diwarnai dengan tangisan anak-anak yang tidak mau berhenti menabur bunga. Aku dan Galang mengucapkan sumpah setia kami tanpa ragu. Dia hanya mencium keningku ketika kami resmi menjadi suami istri.

“Akhirnya …,” kata Mama terisak. Kami duduk bersama di sebuah aula setelah makan siang. “Putri sulungku menikah juga. Aku berdoa pagi dan malam agar Tuhan mempertemukan dia dengan pria yang baik, yang pantas mendapatkannya. Aku nyaris putus asa ….”

Tanpa aku sadari, air mata jatuh membasahi pipiku. Aku cepat-cepat menyekanya dengan tisu agar tidak merusak riasan wajahku. Mama biasanya hanya mengomel saja setiap kali menyinggung statusku yang masih lajang. Ternyata dia tidak berhenti berdoa untukku.

“Ketika dia menginjak usia empat puluh tahun, aku tidak menyerah. Aku berdoa lebih lama pada malam hari. Aku tidak percaya putriku tidak diinginkan oleh laki-laki mana pun. Jadi ….” Mama berhenti sejenak. “Itulah sebabnya, aku bersikeras pernikahan ini disiapkan lebih dahulu.”

Mama menoleh kepada adikku sebelum kembali kepadaku. “Kamu lihat semua orang yang hadir? Tidak peduli apa pun yang menghalangi mereka, semua keluarga kita datang untuk menyaksikan kamu menikah. Karena pernikahan kamu sudah lama kami nantikan. Semoga kamu bahagia, Yola.”

Aku mengangguk sambil menyeka air mata yang mengancam jatuh. Mama berpindah melihat Galang. “Terima kasih banyak, Nak. Aku bahagia kamulah jawaban doaku. Kalian sudah lama berteman, jadi aku percaya, kamu akan menjaga putriku dengan baik.”

Setelah semua orang mengucapkan selamat dan memberi nasihat, acara hiburan pun dimulai. Kami berdiri bersama kedua orang tua kami menyambut tamu yang naik ke pelaminan. Masih beberapa orang pertama, aku bisa menggerakkan jemari untuk membalas jabatan tangan mereka. Belakangan, sekadar tersenyum ke arah kamera pun sudah tidak sanggup.

Hanya Galang yang tetap bersemangat dan bahagia sampai seluruh tamu kami pulang. Berfoto bersama keluarga besar kami pun dilakukannya dengan senyum semringah. Aku tidak pernah melihat dia seperti ini sebelumnya.

“Semoga kalian bahagia.” Mama memeluk aku, lalu mendekati Galang. “Jaga putriku.”

Aku akhirnya bisa mendesah lega duduk di dalam mobil pengantin. Setelah berjam-jam berdiri, kakiku nyaris mati rasa dan pinggangku seolah mau copot dari posisinya. Belum lagi otot lengan dan rahangku yang lelah menjabat tangan dan tersenyum kepada semua orang.

“Ternyata ini alasannya orang ogah bercerai. Menikah satu kali saja rasanya selelah ini,” ucap Galang pelan. Dia duduk bersandar sambil memejamkan matanya.

“Kamu keliru. Justru karena rasanya selelah ini, banyak orang tidak mau menikah,” ejekku.

Dia melingkarkan tangannya di bahuku. Aku menuruti gerakan tangannya dan meletakkan kepalaku di dadanya. “Pejamkan matamu. Masih ada waktu beberapa menit sebelum kita tiba di bandara.”

“Bandara?” Aku segera menegakkan dudukku. “Apa maksudmu? Kita sepakat hanya berpura-pura pergi dengan menginap dua malam di hotel sekitar sini. Kamu akan membawa aku ke mana?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status